Tarik Ulur RUU Penyiaran
Tarik ulur kepentingan dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyiaran tampak semakin jelas arahnya.
Semangat awal untuk menciptakan penyiaran yang lebih demokratis termentahkan oleh draf rancangan undang-undang (RUU) yang disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR. Draf revisi versi Baleg dianggap mengerdilkan kepentingan publik sebagai pihak yang menjadi sasaran atau obyek siaran.
RUU Penyiaran yang sedang disusun saat ini akan menggantikan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.
Aktivis dan kalangan masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Koalisi Pencinta Penyiaran Sehat Indonesia, dan Yayasan Pengembangan Media Anak meminta Baleg DPR membahas kembali draf revisi UU Penyiaran untuk memastikan sistem penyiaran lebih demokratis.
Draf revisi UU Penyiaran versi Baleg DPR tertanggal 19 Juni 2017 belum bersifat memperbaiki undang-undang sebelumnya. Sebaliknya, draf RUU ini malah meniadakan demokratisasi dalam penyiaran dengan mengedepankan kepentingan pemilik modal. Salah satu substansi yang dipersoalkan dari draf RUU versi Baleg tersebut adalah tidak diatur secara tegas mengenai pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran.
Draf RUU ini malah meniadakan demokratisasi dalam penyiaran dengan mengedepankan kepentingan pemilik modal.
Draft RUU yang disusun Baleg menyebutkan porsi siaran lokal atau siaran daerah ditentukan minimal 10 persen. Persentase tersebut dianggap sangat kecil. Aturan tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada minimnya representasi konten budaya daerah dalam siaran lokal.
Sebaliknya, porsi dominan siaran Jakarta dikhawatirkan akan menutupi muatan budaya dan kearifan lokal. Aturan ini mempertahankan semangat lama UU Penyiaran yang berlaku sampai saat ini, masyarakat lokal dipaksa menonton tayangan ”Jakarta”.
UU Penyiaran yang baru idealnya mencerminkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman isi berita (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership). Saat ini, beberapa stasiun televisi justru dikuasai segelintir orang.
Salah satu konsekuensi dari kondisi yang berlangsung seperti saat ini adalah menguatnya potensi media penyiaran dikuasai oleh kelompok terbatas. Dengan demikian, media penyiaran berpotensi dijadikan alat perjuangan kepentingan politik tertentu.
Frekuensi publik
Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan kuat mengapa RUU Penyiaran harus terus diawasi dalam penyusunannya. Faktor pertama terkait prinsip bahwa frekuensi adalah milik publik. Lembaga penyiaran pada dasarnya hanya meminjam frekuensi untuk mentransmisikan konten atau isi siarannya kepada khalayak (audiens).
Karena frekuensi itu sifatnya milik publik, isi siarannya pun seharusnya membuat nyaman bagi publik. Siaran hiburan harus betul-betul menghibur dan sehat, demikian pula siaran berita harus memiliki nilai informasi yang bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi publik.
Faktor kedua, frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas. Spektrum frekuensi yang bisa digunakan untuk mentransisikan gelombang siaran pada dasarnya sangat terbatas. Diperlukan regulasi yang ketat untuk mengatur jumlah stasiun radio atau televisi yang bisa mengudara.
Sebenarnya jumlah stasiun televisi atau radio yang mengudara bisa bertambah 12 kali lipat dari yang ada sekarang dengan adanya siaran digital. Namun, lagi-lagi pengaturan sistem penyiaran digital dalam RUU ini menuai protes banyak kalangan. Antara lain karena RUU yang disusun cenderung mengokohkan peran lembaga penyiaran swasta yang ada saat ini.
Lembaga penyiaran dianggap bisa mengambil keuntungan dengan makin lebarnya pita frekuensi yang bisa digunakan untuk menambah siaran stasiun televisi dan radio. Selain itu, dalam RUU ini lembaga swasta berpeluang menjadi operator penyelenggaraan siaran digital. Padahal, di sejumlah negara lain, penyelenggaraan siaran digital dipegang oleh negara atau komisi independen.
Di sejumlah negara, penyelenggaraan siaran digital dipegang oleh negara atau komisi independen.
Rencana regulasi penyiaran digital yang disusun sebelumnya sudah cukup bagus, yaitu memberikan semangat demokrasi dengan memberlakukan single multiplexer (MUX) sebagai operator tunggal siaran digital. Dalam hal ini, pemerintah bisa berperan memaksimalkan bonus frekuensi digital untuk menyajikan konten atau tayangan yang betul-betul sehat bagi publik.
Tidak seperti saat ini ketika nuansa kompetisi penyiaran menjadikan khalayak menjadi ”korban” persaingan industri dengan dicekoki tayangan yang sifatnya mendulang iklan sebanyak mungkin, tanpa disertai kualitas konten yang bermutu.
Iklan rokok
Hal krusial lain yang menjadi sorotan adalah penghilangan kata ”rokok” pada pasal pelarangan iklan rokok dalam draf RUU Penyiaran versi Baleg. Padahal, dalam RUU Penyiaran yang disusun Komisi I DPR sebelumnya, kata ”rokok” masih tercantum dalam pasal pelarangan iklan rokok. Hal ini tetap membuka peluang iklan rokok masih bisa ditampilkan di televisi.
Yayasan Pengembangan Media Anak mengkritisi mengapa iklan rokok masih berpeluang muncul di televisi dalam draf RUU tersebut. Di banyak negara, iklan rokok sudah lama dilarang tayang di televisi atau menjadi sponsor kegiatan publik, apalagi sponsor tim olahraga dan kegiatan olahraga. Dalam pasal yang baru tersebut hanya disebutkan pelarangan iklan minuman keras dan zat adiktif lainnya.
Aroma kental yang menjadikan RUU ini pro kepada lembaga penyiaran swasta juga tampak pada kuota iklan spot sebesar 30 persen. Hal ini menjadi polemik karena dalam ketentuan yang disusun sebelumnya, kuota 30 persen adalah per program, tetapi Baleg mengubahnya 30 persen dari seluruh waktu siaran per tahun. Hal ini membuka celah bagi lembaga penyiaran swasta main akal-akalan karena tidak semua program rata jumlah pemasukan iklannya.
Masih banyak pekerjaan rumah untuk menjadikan RUU Penyiaran yang lahir menjadi UU Penyiaran yang baru nanti benar-benar demokratis. Ruang lingkup RUU Penyiaran sangat luas sebab penyiaran sudah menjadi industri yang menghasilkan ribuan konten dan mempekerjaan ribuan tenaga kerja.
Tarik-menarik kepentingan jelas akan terus terjadi. Namun, dibutuhkan kearifan semua pihak untuk mewujudkan cita-cita sistem penyiaran yang mampu melahirkan konten yang sehat dan berpihak kepada khalayak. (LITBANG KOMPAS)