Jejaring Ekspor dan Pemberdayaan Masyarakat
Kekuatan pamor rempah Maluku di kancah dunia tak lepas dari kualitas produk yang dihasilkan dan kemampuan menjangkau pasar konsumen luar negeri.
Hal itu berarti harus memiliki kemampuan mengolah hasil panen pala dan cengkeh sebagai dua produk unggulan rempah Maluku dan kemampuan distribusi ke kawasan yang kebanyakan terletak jauh di wilayah negara-negara Barat.
Kenyataannya, mengirimkan (menjual) hasil cengkeh ataupun lada ke pasar Eropa tak hanya sekadar terkait produk itu sendiri, tetapi juga bagaimana mempertahankan kualitas produk, mendapatkan pendanaan, bahkan negosiasi.
”Prosesnya sangat panjang, butuh waktu dua tahun untuk persiapan hingga akhirnya pengiriman,” kata Imanuel Petra Kastanya, pemimpin PT Kamboti Pusaka Maluku (KPM), awal April lalu. PT KPM adalah salah satu perusahaan pengolah dan pengekspor rempah Maluku.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, Petra lewat PT KPM akhirnya melakukan ekspor perdana biji pala dan fuli (selaput biji pala) ke Belanda lewat Surabaya.
Bagi Petra, ekspor biji pala kali ini sebenarnya bukan untuk pertama kali. Pada tahun 2009, melalui perusahaan lain, CV Mata Air Maluku, Petra pernah dua kali mengekspor biji pala.
”Waktu itu karena pesanan pala tidak sampai penuh satu kontainer. Kebetulan ada pesanan gagang cengkeh juga,” kata Petra menjelaskan. Sayangnya, setelah dua kali ekspor, tidak berlanjut lagi alias vakum.
Setelah sempat vakum, tahun 2013 Petra kembali menjual pala, tetapi hanya untuk dipasarkan ke pasar dalam negeri. Demikian juga tahun 2015-2016, PT KPM yang berdiri sejak 2011 itu menjual pala ataupun fuli untuk keperluan pasar lokal saja.
Tersendatnya ekspor pala ke Eropa, terutama ke Belanda, yang dialami PT KPM lebih karena persoalan pendanaan atau ketersediaan modal. ”Untuk ekspor perdana langsung ke Belanda ini, kami mencoba mencari bantuan pendanaan dari Rabo Bank Foundation, yayasan milik Rabo Bank di Belanda,” ujar Petra.
Untuk mendapatkan order agar bisa mengekspor pala langsung ke Belanda, diperlukan waktu yang tidak sedikit. ”Proses komunikasi, negosiasi dengan pihak Rabo Foundation cukup lama. Dulu kami mengajukannya lewat koperasi, tetapi karena secara manajemen koperasi kurang siap, kami mengajukan lewat perusahaan kami, PT KPM,” tutur Petra.
Dari komunikasi dengan pihak funding Rabo Bank Foundation, akhirnya PT KPM mendapat order dari perusahaan di Belanda sebagai pihak pembeli sebanyak 7 ton biji pala dan 1,5 ton fuli. ”Pihak Rabo (Bank) Foundation yang mencarikan pembeli,” ucap Petra.
Karena PT KMP belum memiliki izin ekspor, ekspor pala perdana ini memakai jasa perusahaan forwarding dari Surabaya, CV Bumi Berkat.
Dukungan Yayasan Titane
Jaringan ekspor yang dibangun oleh PT KPM berawal dari hubungan dengan Yayasan Titane di Belanda. Yayasan Titane yang berdiri tahun 1980-an sejak lama memberikan dukungan pada pembangunan masyarakat di Maluku pascakonflik.
”Mereka mengoordinasi pemberdayaan masyarakat Maluku yang ada di Belanda untuk membantu rakyat Maluku dalam pembangunan ekonomi, bukan politik,” ujar Noel, pegiat Yayasan Titane Belanda. Dukungan itu dalam hal bantuan sosial dan program-program pemberdayaan masyarakat.
Yayasan Titane mendapat dukungan pendanaan dari lembaga-lembaga donor seperti Nofit dan Court Aid ataupun sejumlah pemerintah daerah di Belanda.
Namun, setelah krisis Eropa, lembaga-lembaga tersebut mulai mengurangi dukungan dana ke Yayasan Titane. Lembaga-lembaga itu lebih fokus pada penggalangan dana bagi pengungsi yang masuk ke Eropa.
Melihat kondisi bahwa bantuan dana dari lembaga donor dibatasi setelah terjadi krisis Eropa, Yayasan Titane mulai mencari jalan agar bisa tetap bertahan dan bisa terus memberikan dukungan pada pembangunan Maluku.
Mulai didiskusikan kerja sama tidak hanya di antara organisasi nonpemerintah, tetapi juga kerja sama organisasi nonpemerintah dan perusahaan. Program pertama Titane adalah memberikan bantuan kepada perusahaan yang membuat teknologi tenaga surya ke pelosok-pelosok, tenaga surya untuk penerangan rumah, dan tenaga surya untuk proyek air bersih, menjalankan pompa di Teluk Ambon.
Bantuan dari Yayasan Titane diberikan kepada perusahaan secara profesional yang bergerak di bidang sosial tanpa ada perjanjian pengembalian dana.
”Dalam hal ini, Titane men-support PT Kamboti dengan bantuan teknologi, pendampingan, mesin, dan kalau sangat diperlukan support dana melalui lobi atau mekanisme seperti dengan Rabo Bank,” ujar Noel.
Hal ini bisa terjadi karena selama ini rekam jejak Yayasan Titane cukup baik dan dipercaya oleh lembaga-lembaga keuangan di Belanda untuk menyalurkan dana bagi kepentingan sosial. Titane dalam bahasa Maluku berarti jembatan.
Proses komunikasi, lobi, dan negosiasi yang dilakukan PT KPM dengan Yayasan Titane dan Rabo Bank Foundation hingga dapat pembeli pala (PT Intertaste) memerlukan waktu yang cukup lama, lebih kurang dua tahun.
Selain memberikan bantuan kepada PT KPM dalam hal bisnis, Yayasan Titane juga melakukan pendampingan yang bersifat sosial. Tahun ini Yayasan Titane memberikan bantuan hibah berupa mesin pengering seharga lebih kurang 21.000 euro.
Yang menjadi persoalan, hibah mesin pengering tersebut tidak termasuk biaya pengiriman. Hal ini menimbulkan kendala tersendiri bagi PT KPM karena mereka harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya pengiriman dan bea masuk.
”Kendati mesin pengering tersebut merupakan hibah murni karena merupakan bantuan sosial, kami harus mengikuti prosedur biasa untuk keperluan pengiriman dan bea masuk. Kami harus mengeluarkan dana sekitar Rp 42 juta untuk bea masuk,” tutur Noel.
Mereka berharap mendapatkan keringanan bea masuk dan prosedurnya tidak disamakan dengan biaya memasukkan mesin jenis lain. ”Seharusnya, karena ini ada nilai sosialnya, besar tarif impor jangan disamakan dengan mesin komersial,” kata Noel berharap. (LITBANG KOMPAS)