Membaca Jejak Kolonialisme lewat Cengkeh Afo (2)
Kawasan Maluku Utara sampai saat ini masih menjadi daerah penghasil rempah-rempah, terutama cengkeh, meski pohon ini sempat dimusnahkan secara massal oleh VOC pada abad ke-17 hingga ke-19 melalui kebijakan extirpatie.
Reputasinya sebagai kawasan penghasil rempah tetap bersinar melalui pohon cengkeh dan pala yang tumbuh subur di kaki Gunung Gamalama Ternate, Gunung Kie Besi di Pulau Makian, dan sebagian kawasan dataran tinggi di Kabupaten Halmahera Barat.
Kualitas kesuburan tanah di pegunungan ini tidak pernah berkurang sehingga menghasilkan pohon cengkeh dengan kualitas kelas dunia sebagaimana yang pernah dialami beberapa abad silam.
Pohon cengkeh di Maluku Utara pernah mengalami masa suram ketika Belanda menerapkan kebijakan extirpatie untuk menjaga stabilitas harga cengkeh dunia. RZ Leirissa dalam buku Halmahera Timur dan Raja Jailolo (1996) menyebutkan, extirpatie merupakan perwujudan yang nyata dari sistem monopoli rempah-rempah VOC di Maluku Utara.
Belanda menerapkan kebijakan extirpatie untuk menjaga stabilitas harga cengkeh dunia.
”Extirpatie”
Dalam extirpatie ini Belanda mendapat hak dari Sultan Mandarsyah dari Ternate dan para sultan di Maluku Utara untuk memusnahkan pohon cengkeh yang dibudidayakan tanpa izin atau yang dianggap terlalu banyak bagi VOC.
Belanda hanya menetapkan tiga area sebagai kawasan produksi cengkeh, yaitu Hitu, Leitimor, dan Oeliassers yang berada di sebelah selatan. Di luar ketiga area tersebut, semua pohon cengkeh harus dimusnahkan, entah dengan cara ditebang atau dibakar.
Konsekuensi dari kebijakan ini adalah perdagangan cengkeh di kawasan utara menyusut total karena semua pohon cengkeh harus dimusnahkan.
Pada masa inilah Hamadal yakin pohon cengkeh Afo yang masih bisa hidup sampai sekarang lantaran perjuangan kakek buyutnya menjaga dan menyelamatkannya dari penebangan atau pembakaran yang dilakukan oleh prajurit Belanda.
”Saya tidak tahu bagaimana cara mereka menyelamatkan pohon ini, tetapi mereka berhasil menjaganya tetap hidup sampai sekarang,” kata Hamadal. Artinya, meski Belanda secara ketat mengontrol produksi cengkeh di Maluku Utara melalui pelayaran hongi (hongi tochten), masih ada upaya negosiasi dari warga untuk menyelamatkan pohon mereka.
Di daerah-daerah yang dulu dikenal sebagai penghasil cengkeh, petani diam-diam kembali menanam, memelihara, dan menuai cengkeh. Mereka mengerjakan itu dalam sebuah lembah tersembunyi yang tidak mungkin didatangi patroli pelayaran hongi. Jika perlu, mereka menyuap para pemusnah untuk tidak menghancurkan pohon mereka.
Pelayaran hongi dihentikan pada 1824 atau 20 tahun lebih setelah VOC dinyatakan bubar. Meski demikian, warga di Maluku Utara masih enggan untuk membudidayakan lagi cengkeh di lahan kebun mereka.
Petani diam-diam kembali menanam, memelihara, dan menuai cengkeh.
Banyak yang trauma lantaran pengalaman memilukan selama dua abad lebih pohon cengkeh mereka menjadi bulan-bulanan Belanda untuk dimusnahkan. Sementara untuk menanam dan merawat hingga berbuah membutuhkan waktu puluhan tahun.
Penanaman kembali
Sebetulnya pemerintahan Hindia Belanda sudah mengizinkan penduduk untuk menanam kembali cengkeh dan produksinya dibayar dengan harga yang tinggi pada 1864 dan 1937. Namun, kebijakan tersebut tidak mampu mengembalikan Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil cengkeh rakyat.
Upaya serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Hasilnya tetap sama, tidak berhasil mengangkat komoditas cengkeh seperti yang berlangsung pada masa kolonial.
”Upaya penanaman kembali cengkeh baru memperlihatkan tanda-tanda keberhasilan pada 1970-an yang dimulai dari Tidore. Perlahan-lahan Tidore bangkit kembali sebagai salah satu produsen cengkeh di Maluku selain Sulawesi, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat,” kata Jafar Nani.
Pohon-pohon cengkeh yang ditanam kembali di Maluku Utara pada era 1970-an berasal dari bibit cengkeh yang didatangkan dari Pulau Jawa.
Selain cengkeh Afo, masih ada satu varietas cengkeh asli asal Makian, yaitu cengkeh Raja yang tumbuh di Gunung Kie Besi, Pulau Makian. Sayangnya, cengkeh jenis ini sudah tidak ada wujudnya lagi lantaran punah bersamaan dengan meletusnya Gunung Kie Besi beberapa puluh tahun silam.
Saat ini cengkeh yang dihasilkan dari Pulau Makian dan kawasan Maluku Utara merupakan cengkeh Zanzibar yang bibitnya berasal dari negara Zanzibar. Cengkeh jenis inilah yang sekarang paling populer di kalangan petani cengkeh di Maluku Utara. Nama cengkeh Raja dan Afo hanya tinggal kenangan bagi mereka. (LITBANG KOMPAS)