Jarak Senjang Manusia Indonesia
Indikator kualitas kemerdekaan yang dicapai bangsa ini perlu dilihat dari seberapa senjang kualitas pembangunan yang tersebar di antara individu, warga, dan daerah di negeri ini.
Faktanya, apabila rata-rata pendidikan, kesehatan, dan besaran pengeluaran penduduk DKI Jakarta saat ini dijadikan standar pencapaian, diperlukan 36 tahun bagi rata-rata warga Provinsi Papua untuk mengejarnya.
Bahkan, diperlukan waktu 54 tahun bagi rata-rata warga Kabupaten Nduga, Papua, untuk menyamai capaian rata-rata penduduk Kota Yogyakarta atau Jakarta Selatan.
Fakta yang tersingkap dari hasil olahan data Badan Pusat Statistik (BPS) di atas akan semakin mengejutkan lagi jika dielaborasi lebih jauh. Bagaikan langit dan bumi, itulah kiasan yang tepat untuk melukiskan jarak senjang penduduk Indonesia.
Diperlukan 54 tahun bagi Kabupaten Nduga untuk menyamai capaian Yogyakarta.
Sebagai gambaran, di saat rata-rata warga kota Banda Aceh telah menikmati pendidikan formal hingga 12,4 tahun, suatu capaian tertinggi di Indonesia, penduduk Kabupaten Nduga masih kurang dari 1 tahun!
Dari sisi kondisi ekonomi warganya, setali tiga uang. Apabila warga Jakarta Selatan berpengeluaran Rp 22,4 juta per kapita setiap tahunnya, pengeluaran warga Nduga hanya seperenam (Rp 3,6 juta per tahun) pengeluaran warga Jakarta Selatan.
Begitu pula indikator yang merujuk pada aspek kesehatan. Jika warga Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, memiliki angka harapan hidup hingga 77,5 tahun, warga Nduga hanya 53,6 tahun.
Kabupaten Nduga, Kota Jakarta Selatan, Kota Banda Aceh, dan Kabupaten Sukoharjo dengan segenap capaiannya itu adalah wajah riil Indonesia.
Tampaknya, dalam usia 72 tahun kemerdekaan bangsa ini, berbagai kondisi ekstrem yang memilah kualitas warga di satu daerah dengan daerah lainnya di negeri ini masih menjadi pemandangan umum.
Begitu pula kondisi yang terjadi antarprovinsi. Provinsi DKI Jakarta, sebagai pusat ibu kota negara, diperbandingkan dengan apa yang terjadi di Provinsi Papua, merupakan dua titik ekstrem.
Memang tampak tren penyempitan jarak dalam kurun lima tahun terakhir di antara kedua provinsi tersebut. Akan tetapi, jurang perbedaan tetap lebar. Indeks Pembangunan Manusia antara kedua provinsi tetap berjarak di atas 20 (Grafik 1).
Dengan kondisi tersebut, jika hanya bersandar pada gerak pencapaian Papua selama ini, masih diperlukan waktu hingga lebih dari tiga dekade bagi provinsi ini untuk mencapai kondisi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang dinikmati warga DKI Jakarta saat ini.
Jarak senjang warga tidak hanya terjadi antarprovinsi ataupun antarkabupaten dan kota. Di dalam satu provinsi pun potret ketimpangan tidak jarang dijumpai. Terparah, kondisi antarkabupaten dan kota terjadi lagi di Provinsi Papua.
Dengan mengambil acuan tahun 2016, misalnya, data BPS menunjukkan selisih IPM antara ibu kota Provinsi Papua, Kota Jayapura, dengan Kabupaten Nduga mencapai 52,6. Saat ini, skor Kota Jayapura mencapai 78,56 di atas rata-rata capaian IPM penduduk Indonesia (70,2).
Namun, di Nduga hanya 25,5, paling rendah di antara semua kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Dengan kondisi demikian, bagi warga Kabupaten Nduga yang diperkirakan berpenduduk sekitar 96.000 jiwa itu setidaknya diperlukan waktu lebih dari lima dasawarsa untuk menyamai kondisi sosial ekonomi yang terjadi di Kota Jayapura dan berbagai daerah lain di negeri ini.
Panjangnya rentang waktu yang memisahkan kualitas manusia di berbagai daerah di negeri ini menunjukkan cita-cita kemerdekaan bangsa yang berupaya mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera masih jauh panggang dari api.
Di samping Kabupaten Nduga, beberapa kabupaten di Papua, seperti Kabupaten Puncak, Pegunungan Bintang, Memberamo Tengah, dan Lanny Jaya, juga masuk kategori wilayah dengan kualitas pembangunan manusia terendah. Jika diinventarisasikan, 10 daerah terendah capaian IPM ada di Provinsi Papua (Grafik 2).
Sekalipun termasuk yang terendah, dalam kurun lima tahun terakhir seluruh daerah tersebut menunjukkan peningkatan. Laju peningkatan tergolong variatif, tetapi setiap daerah rata-rata meningkat di atas 0,7 poin setiap tahun.
Kabupaten Tolikara dan Asmat tergolong paling rendah laju peningkatannya, masih di bawah 0,5 poin. Sementara Kabupaten Nduga dan Puncak, yang tercatat paling rendah skor IPM-nya, dalam lima tahun terakhir meningkat hingga 0,9 poin tiap tahun.
Persoalannya, dengan laju peningkatan sebesar itu, seberapa besar peluang kesepuluh daerah terendah itu mampu mengejar ketertinggalan dibandingkan dengan daerah lain di negeri ini?
Di sisi lain, di sebagian wilayah di negeri ini, terutama wilayah perkotaan, juga secara konsisten menunjukkan peningkatan kualitas kesejahteraan, baik dari aspek pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi warganya.
Jika dihimpun, terdapat 10 daerah (kota) dengan pencapaian skor IPM tertinggi selama ini. Kesepuluh kota itu antara lain adalah Kota Yogyakarta, DKI Jakarta, seperti Jakarta Selatan; Banda Aceh, Kota Denpasar, Padang, dan beberapa kota di Pulau Jawa (Grafik 3).
Rata-rata laju peningkatan ke-10 kota tertinggi di Indonesia tersebut mencapai 0,4 poin tiap tahun. Dengan laju peningkatan kualitas pembangunan manusia yang tidak terlalu berbeda jauh dengan daerah-daerah dengan IPM terendah, tergolong kecil peluang bagi daerah terendah untuk mengejar ketertinggalan.
Dalam pandangan yang pesimistis, apabila tidak terjadi suatu perubahan yang radikal, diperlukan waktu berabad-abad bagi daerah terkecil menutup jurang ketertinggalan.
Diperlukan waktu berabad-abad bagi daerah terkecil menutup jurang ketertinggalan.
Jurang yang terbangun lebar di antara berbagai daerah di Indonesia menyisakan pertanyaan, mengapa kondisi demikian dapat terjadi di negeri ini?
Dimana peran negara, terutama pemerintah yang punya kuasa dan peran dalam mewujudkan kemakmuran yang merata bagi tiap-tiap warganya? Dimana pula peran warga, hingga menempatkan mereka pada wilayah dengan pencapaian terkecil?
Dalam perspektif modernisasi, ketertinggalan semata-mata dilekatkan pada faktor internal yang menjadi biang penyebab ketidakmampuan individu, warga masyarakat, ataupun wilayah di dalam memacu pembangunan.
Singkatnya, dalam perspektif demikian, rendahnya pencapaian kualitas pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rata-rata warga di 10 kabupaten terendah akibat dari terlalu lambannya individu, masyarakat, ataupun daerah tersebut dalam membangun dirinya masing-masing.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Mengikuti cara pandang McClelland, hal itu merujuk pada kurangnya dorongan prestasi ataupun pencapaian (N-Ach) individu. Di sisi lain, Weber merujuk pada campur tangan nilai-nilai budaya yang membentuk karakter kerja dan pencapaian.
Atau, dalam kacamata teori pertumbuhan ekonomi, menurut Harrod dan Domar, misalnya, persoalan ketertinggalan semata-mata diletakkan pada aspek investasi dan permodalan. Adapun Inkeles dan Smith merujuk pada karakter manusia modern. Masih terdapat beragam kajian yang menekankan bahwa persoalan ketertinggalan dan keberhasilan ada di dalam diri individu, masyarakat, ataupun wilayah masing-masing.
Di sisi lain, perspektif dependensi hadir sebagai kritik terhadap kegagalan pembangunan. Dalam cara pandang demikian, ketertinggalan ataupun lambannya kemajuan pembangunan manusia di wilayah-wilayah terendah tidak semata-mata karena faktor internal yang melekat.
Hambatan pencapaian dapat disebabkan oleh aspek-aspek eksternal yang justru memperlambat kemajuan. Konsep pembangunan yang merujuk keterbelakangan pada negara satelit (pinggiran) sebagai implikasi eksploitasi negara metropolis (pusat) yang dikenalkan Gunder Frank, misalnya, menunjukkan ketertinggalan bukan suatu kondisi yang terjadi secara alamiah.
Proses-proses sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi selama ini melambatkan gerak kemajuan sekelompok daerah dan di sisi lain justru semakin mempercepat gerak kemajuan daerah yang ditempatkan sebagai pusat.
Berangkat dari dua perspektif yang saling berseberangan tersebut, dapatkah dibenarkan sepenuhnya bahwa ketertinggalan kualitas pembangunan manusia di sebagian wilayah akibat dari persoalan yang melekat pada internal wilayah ataupun penduduk wilayah tersebut? Atau, justru proses sosial, ekonomi, ataupun politik selama ini yang memasung laju pencapaian wilayah tersebut?
Masih terlalu kompleks mengurai akar penyebabnya. Akan tetapi, perdebatan terhadap akar persoalan dengan harapan munculnya strategi kebijakan yang dipandang tepat untuk mengatasinya patut dilakukan. Begitu pun upaya-upaya konkret seperti yang dilakukan pemerintah saat ini dalam membuka sekat-sekat penghambat wilayah-wilayah terdepan (sekaligus tertinggal) di negeri ini.
Provinsi Papua, sebagai wilayah yang paling senjang, kerap mendapat perhatian Presiden Jokowi. Hingga hampir tahun ketiga pemerintahannya, Papua, Papua Barat, ataupun wilayah-wilayah senjang lainnya berkali-kali disambangi.
Pembangunan fisik gencar didorong. Namun, dengan perbedaan jarak ketertinggalan hingga lebih satu generasi manusia itu, tampak seakan teramat mustahil bagi satu generasi kepemimpinan negara untuk dapat mengatasinya. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)