Jejak Ketimpangan Pembangunan di Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan saat ini sedang mendandani diri. Derap pembangunan di provinsi ini bergerak terus dalam rangka meningkatkan kapasitasnya sebagai pusat perdagangan, layanan kesehatan, pendidikan, dan keuangan di kawasan timur Indonesia.
Langkah ini harus ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai konsekuensi penguatan perannya sebagai simpul kawasan timur Indonesia yang tersebar di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hingga saat ini, pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang paling maju di kawasan Indonesia timur masih terpusat di Sulsel, terutama Kota Makassar, yang menjadi ibu kota provinsi.
Kegiatan ekonomi yang berbasis transaksi perdagangan kebutuhan sehari-hari ataupun kebutuhan sekunder dan tersier sangat terasa dengan hadirnya pusat perbelanjaan di kawasan Panakkukang dan sekitarnya. Gerai otomotif berbagai merek tumbuh di antara pusat perbelanjaan dan perkantoran di Kota Makassar.
Kehadiran sarana perbelanjaan ini mampu menyedot masyarakat di sekitar Kota Makassar untuk datang berbelanja. Bahkan, masyarakat yang ada di Pulau Sulawesi atau kawasan Indonesia timur mulai menjadikan Makassar sebagai destinasi belanja di luar Jawa.
Pilihan semakin diperkuat dengan kehadiran Pasar Sentral dan Pasar Butung sebagai pasar besar yang mulai mengambil alih peran Jakarta dan Surabaya sebagai pemasok utama kebutuhan sandang di kawasan timur.
Pembangunan pasar berskala besar ini merupakan langkah strategis pemprov dalam mempromosikan peran Sulsel sebagai simpul perdagangan dan belanja di Indonesia timur.
Seiring dengan berkembangnya sektor perdagangan, Pemprov Sulsel ingin memperpendek layanan keuangan dengan menjadikan Makassar sebagai basis perbankan Indonesia timur. Pemerintah daerah mendorong perbankan untuk membuka kantor pusat regional di Makassar sehingga kebutuhan keuangan masyarakat bisa langsung ditangani tanpa harus ke Jakarta atau Jawa.
Dalam bidang kesehatan dan pendidikan, pemprov mulai merintis visi untuk menjadikan Makassar sebagai pusat layanan terpadu untuk kedua sektor ini di luar Jawa. Saat ini pemerintah sudah merampungkan pembangunan Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo sebagai Rumah Sakit Pusat Jantung Terpadu yang pengelolaannya berada di bawah Kementerian Kesehatan.
Rumah sakit ini diproyeksikan menyaingi rumah sakit sejenis di Jakarta yang akan dilengkapi dengan peralatan yang lebih baru dan modern. Sementara itu, untuk meningkatkan kapasitas Sulsel sebagai pusat pendidikan tinggi di kawasan timur, saat ini pemprov sudah menata sistem pendidikan tinggi yang tersebar di 200 perguruan tinggi negeri dan swasta di Sulsel.
Derap pembangunan Sulsel dinakhodai oleh Gubernur Syahrul Yasin Limpo selama sepuluh tahun terakhir. Syahrul berupaya meningkatkan kapasitas Sulsel untuk memperkuat peran strategisnya di Indonesia timur. Namun, laju pembangunan tersebut tidak semuanya berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat.
Konsekuensi langsung dari daerah dengan derap pembangunan yang cepat adalah meningkatnya ketimpangan pendapatan. Inilah salah satu problem pembangunan yang dihadapi oleh Sulsel selama ini. Pada Maret 2017, Badan Pusat Statistik merilis rasio gini yang mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat di 34 provinsi Indonesia.
Rasio gini Sulsel mencapai 0,407. Artinya, terdapat kesenjangan yang cukup besar antara penduduk yang berpendapatan tinggi dan penduduk berpendapatan rendah. Angka tersebut menempatkan Sulsel pada peringkat tertinggi keempat di Indonesia.
Namun, angka rasio gini tersebut relatif lebih baik jika dibandingkan dengan data periode yang sama pada Maret 2016 yang mencapai 0,426. Artinya, selama setahun ini Pemprov Sulsel mampu memperkecil celah ketimpangan pendapatan masyarakat sebesar 0,019.
Kepala BPS Sulsel Nursam Salam menyebutkan, angka rasio gini Sulsel yang masih berkisar pada 0,4 ini dipicu oleh kegiatan ekonomi yang terpusat pada sektor-sektor tertentu sehingga perputarannya tidak merata.
Sektor investasi dan jasa yang denyutnya semakin cepat hanya menguntungkan kelompok pemilik modal karena sektor-sektor tersebut merupakan kegiatan padat modal. Masyarakat yang menjadi sumber tenaga kerja sangat sedikit terserap dalam kegiatan ini sehingga pendapatan dari sektor investasi dan jasa tersebut mayoritas mengalir ke pemilik modal.
Fakta ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya peran investasi swasta selama 2015-2016. Tahun 2015, peran swasta dalam sektor investasi tercatat 37,02 persen dan meningkat menjadi 37,26 persen pada 2016. Konsekuensi dari peningkatan peran swasta ini adalah terjadinya pergeseran signifikan dalam kegiatan ekonomi atau struktur lapangan usaha di Sulsel.
Pada 2007, lapangan usaha yang bergerak di sektor pertanian masih mendominasi struktur kegiatan ekonomi masyarakat Sulsel. Data sebaran penduduk di atas 15 tahun yang bekerja menunjukkan sektor pertanian masih menyerap 53,78 persen penduduk usia kerja tersebut.
Namun, proporsi penyerapan sektor pertanian ini merosot tajam selama satu dasawarsa terakhir. Dari tahun 2013-2016 tercatat keinginan penduduk untuk bekerja di sektor pertanian terus menurun, yang ditunjukkan dengan proporsi penyerapan yang terus turun secara konsisten.
Hingga Agustus 2016, sektor pertanian hanya menyerap 39,73 persen penduduk yang bekerja. Sebaliknya, sektor lain, terutama industri pengolahan dan perdagangan/hotel/rumah makan, memperlihatkan peningkatan.
Penyebaran penduduk bekerja pada sektor non-pertanian di satu sisi menunjukkan bahwa pembangunan di Sulsel selama ini bisa menyerap tenaga kerja sehingga angka pengangguran tidak bertambah secara signifikan. Namun, di sisi lain, penyerapan ini tidak memberikan dampak terhadap berkurangnya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Agussalim, mengungkapkan bahwa konsentrasi terbesar pendapatan masyarakat di Sulsel masih berada di kalangan penduduk berpenghasilan tinggi. Dari data produk domestik bruto Sulsel 2016 terungkap 49,40 persen PDRB provinsi ini ada pada 20 persen penduduk terkaya.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan pendapatan pada 2014 yang mencapai 49,12 persen. Sebaliknya, 20 persen penduduk terbawah pada 2016 hanya menyerap 6,05 persen PDRB Sulsel. Angka ini justru turun dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 6,22 persen.
Artinya, ketimpangan pendapatan yang tecermin dari angka rasio gini yang cenderung tinggi di Sulsel selama ini dipicu oleh adanya perbedaan dalam orientasi konsumsi penduduk berpendapatan tinggi dengan berpendapatan rendah. Pertumbuhan konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah cenderung lebih rendah dibandingkan pertumbuhan konsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor jasa membuat penduduk berpenghasilan rendah merasa tidak perlu melakukan konsumsi di sektor jasa. Sebaliknya, penduduk berpenghasilan tinggi justru menganggapnya sebagai kebutuhan sehingga meningkatkan pengeluaran/konsumsi di sektor ini.
Dengan kata lain, meski warga miskin memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi Sulsel, orang kaya memperoleh manfaat jauh lebih besar. Inilah yang membuat angka rasio gini Sulsel selalu terbilang tinggi meski parameter perekonomian Sulsel, seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, trennya selalu meningkat yang ditopang oleh berkurangnya penduduk miskin dan pengangguran.
Menanggapi tingginya angka rasio gini Sulsel, Gubernur Syahrul Yasin Limpo menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan bisa terjadi pada daerah-daerah dengan laju pembangunan yang berjalan cepat dan bisa memicu pertumbuhan ekonomi. Sulsel, menurut Syahrul, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang pembangunannya sangat maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Syahrul menganggap rasio gini Sulsel tersebut sebagai hal yang normatif karena logikanya memang wajar kalau pembangunan berjalan cepat dan pertumbuhan ekonomi meningkat sudah pasti akan ada yang tertinggal. Pemprov Sulsel menyiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi ketimpangan perekonomian warga di daerah itu.
Selain optimalisasi sektor unggulan, terutama pertanian, juga mendorong hilirisasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (Kompas, 21/7). Laju pembangunan yang melambungkan angka rasio gini Sulsel bukanlah sinyal yang buruk bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejauh ini, tren pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita Sulsel selalu meningkat, sementara angka kemiskinan dan pengangguran pun sudah bisa dikikis sedikit demi sedikit. Prioritas Pemprov Sulsel mengoptimalisasi sektor pertanian merupakan langkah yang tepat untuk mengimbangi laju pertumbuhan sektor investasi dan jasa yang padat modal.
Sektor pertanian yang padat karya lebih membuka peluang menyerap tenaga kerja sekaligus memberi dampak pada penambahan penghasilan bagi lebih banyak masyarakat. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan keterampilan yang lebih baik akan membuka peluang kerja lebih baik dan juga penghasilan yang lebih baik. (Sultani/Litbang Kompas)