Pindah Ibu Kota, Belajar dari Keberhasilan Negara Lain
Pemindahan ibu kota bukan hal yang baru. Sejumlah negara telah melakukannya didorong alasan pemerataan ekonomi, perkotaan, bencana alam, hingga pertimbangan politik dan keamanan.
Wacana pemindahan ibu kota negara mencuat kembali saat ini setelah Presiden Joko Widodo menyebutkan rencana pemindahan ibu kota. Sejumlah masalah perkotaan di ibu kota Jakarta, seperti kemacetan, banjir, penurunan muka tanah, daya dukung lingkungan, dan pemerataan, menjadi alasan pemindahan ibu kota Jakarta.
Sejauh ini, lokasi pemindahan yang paling sering disebut ialah Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pertimbangannya, Palangkaraya bukan daerah rawan gempa dan berlokasi di tengah-tengah Indonesia. Selain itu, jika ibu kota pindah ke luar Pulau Jawa, masih dimungkinkan bisa memperoleh lahan yang luas.
Pemerintah provinsi dan kota setempat kabarnya menyediakan lahan hingga 500.000 hektar untuk calon ibu kota baru ini. Meski demikian, bulan-bulan terakhir ini kabar tentang pemindahan ibu kota tampaknya memicu daerah-daerah lain untuk mengajukan diri menjadi ibu kota negara.
Selain Palangkaraya di Kalimantan Tengah, diajukan juga Provinsi Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan atau Samarinda. Kedua kota tersebut dinilai memiliki semua kebutuhan penunjang untuk sebuah ibu kota, termasuk kebutuhan karakter masyarakat yang bersifat plural dan terbuka.
Dalam perayaan Lebaran Betawi Juli 2017, permintaan kepada Presiden Jokowi agar ibu kota negara tetap berada di Jakarta juga dilontarkan tokoh masyarakat Betawi. Dari munculnya aspek-aspek politis pemindahan ibu kota Jakarta semacam itu, tampaknya kendala pemindahan ibu kota bakal bertambah selain semata pertimbangan teknis perencanaan dan pembiayaan pembangunan.
Politik dan keamanan
Sebenarnya, Indonesia sudah berpengalaman dengan pemindahan ibu kota, bahkan dalam waktu yang singkat. Faktor politik dan keamanan pernah menjadi pencetus pemindahan lokasi ibu kota Jakarta. Hal ini dialami Indonesia pasca-kemerdekaan pada 1945-1948.
Indonesia sudah berpengalaman dengan pemindahan ibu kota, bahkan dalam waktu yang singkat.
Pada 4 Januari 1946, ibu kota RI terpaksa dipindah ke Yogyakarta karena Belanda yang membonceng tentara Sekutu telah menduduki kembali Jakarta. Pemindahan tersebut atas saran Sultan Hamengku Bowono IX. Ibu kota berkedudukan di Yogyakarta sampai 27 Desember 1949.
Namun, ternyata Yogyakarta tidak aman sehingga pada 22 Desember 1948, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menyiapkan lokasi cadangan ibu kota, yakni Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat itu, Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Syarifudin Prawiranegara untuk membentuk PDRI di Bukittinggi.
Bukittinggi menjadi ibu kota Indonesia sampai 13 Juli 1949. Setelah itu, ibu kota kembali lagi ke Jakarta seiring dengan perginya Belanda.
Di negara anggota ASEAN, cerita pemindahan ”paksa” ibu kota juga dialami Myanmar tahun 2005. Pemerintahan junta militer Myanmar memaksa ibu kota Myanmar dipindah dari Yangon ke Naypyidaw secara otoritatif. Pemindahan hanya diberikan waktu dua hari kepada pegawai pemerintahan.
Kota Naypyidaw berada di tengah hutan dan berjarak sekitar 321 kilometer dari Yangon. Awal pemindahan, infrastruktur kota tersebut minim tanpa listrik dan air serta jalan tak beraspal. Sepuluh tahun kemudian, 2015, Naypyidaw sudah penuh dengan infrastruktur pendukung, seperti hotel, pusat perbelanjaan, serta jalan beraspal yang memiliki 20 lajur dan dirancang untuk mobil dan motor.
Negara besar seperti Amerika Serikat pada tahun 1800-an ternyata juga pernah melakukan pemindahan ibu kota karena faktor keamanan. Saat itu, pemerintahan AS menginginkan ibu kota negara yang mempunyai standar tingkat keamanan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keamanan negara biasa.
Ibu kota negara kemudian dipindah dari Philadelphia ke Washington DC. Philadelphia akhirnya menjadi pusat bisnis dan keuangan, sedangkan Washington DC menjadi pusat administratif pemerintahan. Saat itu, Kongres AS menyetujui pembentukan distrik khusus untuk digunakan sebagai ibu kota nasional permanen sebagaimana diizinkan oleh konstitusi.
Distrik federal tersebut dibentuk di atas tanah sepanjang Sungai Potomac yang disumbangkan oleh Negara Bagian Maryland dan Virginia. Akhirnya sebuah ibu kota baru yang diberi nama George Washington didirikan pada tahun 1791 di sebelah timur Pelabuhan Georgetown.
Washington tumbuh menjadi pusat pemerintahan baru AS yang lebih tertata. Berbagai infrastruktur, seperti kanal, jaringan transportasi rel, bendungan, jalan, serta permukiman dan fasilitas pendukungnya, dibangun bertahap sejak tahun 1810 sampai sekitar tahun 1935.
Kasus luar negeri
Tak hanya untuk memecahkan masalah perkotaan di lokasi ibu kota lama. Korea Selatan juga memakai pertimbangan pemerataan ekonomi untuk relokasi pusat pemerintahan negara. Korsel berencana memindahkan ibu kota ke Sejong.
Kota yang berjarak 120 kilometer arah selatan dari Seoul itu dipilih untuk menggantikan Seoul. Diharapkan jika Sejong telah berkembang, bisa menjadi pusat pertumbuhan baru di Korsel bagian selatan karena selama ini perkembangan cenderung ke wilayah utara.
Pembangunan Sejong dilakukan sejak tahun 2003 dan saat ini dalam tahap pengembangan kota. Nantinya, Sejong akan menjadi kota administratif pemerintahan, pendidikan, dan pusat riset. Adapun Seoul akan menjadi pusat bisnis dan kebudayaan.
Kota Sejong direncanakan ditempati 16 dari total 20 kantor kementerian dan sejumlah kantor pusat badan-badan negara. Lebih dari 10.000 pegawai pemerintahan akan berkantor di Sejong. Meski demikian, kantor 10 lembaga tinggi negara, termasuk kantor presiden, parlemen, dan kementerian, akan tetap berada di Seoul.
Alasan yang sama pernah dilakukan Malaysia pada 1995. Kuala Lumpur sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat bisnis mengalami banyak masalah perkotaan, seperti macet, banjir, dan mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi.
Akhirnya, Putrajaya dipilih sebagai lokasi pusat pemerintahan baru dengan tetap mempertahankan pusat bisnis dan keuangan di Kuala Lumpur.
Sebelumnya, kawasan yang berjarak sekitar 24 kilometer dari Kuala Lumpur ini merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit. Kemudian, kawasan ini dirombak menjadi pusat pemerintahan dengan kawasan pendukungnya, seperti permukiman, fasilitas umum dan sosial, serta kawasan komersial.
Putrajaya dibangun menjadi kota kebun yang memiliki ruang terbuka hijau 38 persen. Lahan sisanya untuk kantor pemerintahan, komersial, serta permukiman dan fasilitas pendukungnya yang dikelilingi danau buatan seluas 400 hektar.
Aksesibilitas transportasi kawasan ini didukung oleh jalan tol dan angkutan massal (ERL transit). Biaya pembangunan kota baru tersebut menghabiskan biaya sekitar Rp 85 triliun, yang semuanya menggunakan anggaran negara.
Nigeria
Persoalan yang sama dihadapi Nigeria. Lagos telah menjadi ibu kota sejak Nigeria merdeka tahun 1914. Wilayah Lagos telah menjadi pusat hiburan utama di Nigeria. Sebagian besar perusahaan multinasional memiliki kantor pusat di Lagos. Berbagai fasilitas premium berkumpul di Lagos.
Tak heran jika Lagos menjadi tujuan migrasi seluruh penduduk Nigeria sehingga membuat Lagos menjadi kawasan sangat padat penduduk. Jumlah penduduk yang demikian padat berdampak pada masalah perkotaan, antara lain kemacetan, banjir, kekumuhan, dan kriminalitas.
Akhirnya, pada 1980-an, Pemerintah Nigeria membangun kota Abuja yang dirancang untuk menggantikan ibu kota Nigeria. Posisi Lagos cukup jauh dari Abuja, sekitar 482 kilometer ke arah timur laut dari Abuja.
Hampir semua instansi pemerintah, seperti kompleks kepresidenan, gedung parlemen, dan Mahkamah Agung, dipindah ke kota yang mempunyai lanskap kota gunung batu Aso Rock itu. Abuja resmi menjadi ibu kota Nigeria, menggantikan Lagos, pada 12 Desember 1991.
Proses panjang
Indonesia bisa belajar dari Malaysia dan Korea Selatan yang merelokasi pusat pemerintahannya ke lokasi baru. Satu hal yang digarisbawahi, pemindahan tersebut membutuhkan waktu relatif panjang. Malaysia membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk pembangunan dan pemindahannya.
Demikian juga Korsel yang membutuhkan waktu lebih lama, sekitar 10 tahun. Itu belum termasuk waktu untuk kajian perencanaan dan perancangan.
Brasil membutuhkan waktu empat tahun untuk memindahkan ibu kota. Negara itu membutuhkan waktu antara 1956 dan 1960 mulai dari proses perancangan kota Brasilia menggantikan Rio de Janeiro hingga terwujud menjadi ibu kota Brasil. Namun, keinginan dan proses perancangan diperkirakan sudah jauh lebih lama daripada tahun itu.
Dalam paparan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), awal Mei lalu, dinyatakan paling tidak dibutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk proses kajian menentukan lokasi, perencanaan dan perancangan, pembangunan ibu kota baru, sampai tahap realisasi pemindahan aset-aset negara dan pegawai.
Kajian Bappenas untuk memindahkan ibu kota baru dimulai awal Januari 2017. Berarti, jika prosesnya lancar, pusat pemerintahan Indonesia baru akan bisa pindah tahun 2022.
Ketua Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebutkan, kajian penentuan lokasi ibu kota baru akan selesai pada 2019. Setelah itu, baru dilaksanakan proses perencanaan dan pembangunan.
Selain itu, pilihan jika ingin memindahkan pusat pemerintahan harus benar-benar memindahkan semua kantor pemerintahan, kantor presiden, dan kantor pusat badan negara. Tidak seperti Korea Selatan yang masih meninggalkan 10 kantor lembaga tinggi negara, termasuk kantor presiden di Seoul.
Hal tersebut berpotensi membuat sebagian pegawai tetap bermobilitas antarkota, yang ujung-ujungnya bisa mengakibatkan inefisiensi.
Jika ingin memindahkan pusat pemerintahan, harus benar-benar memindahkan semua kantor pemerintahan, kantor presiden, dan kantor pusat badan negara.
Faktor bencana alam
Faktor alam seperti gempa bumi, badai, dan menghindarkan lokasi ibu kota dari pesisir pantai juga menjadi motivasi lain untuk merelokasi ibu kota negara.
Pada 1997, negara Kazakhstan yang wilayahnya terentang luas di Benua Asia bagian utara memindahkan ibu kotanya dari Almaty ke Astana, wilayah dengan risiko gempa lebih rendah. Sebelumnya, Astana dibangun dari lahan kosong sejak tahun 1830 yang merupakan lokasi benteng pasukan suku lokal, Kosak.
Demikian juga dengan Belize, sebuah negara negara kecil di Amerika Utara. Belize City, ibu kota sebelumnya, pada 1961 hancur diterjang badai Hattie. Selanjutnya, pada 1970, Pemerintah Belize memindahkan ibu kota ke Belmopan yang lokasinya di pedalaman, bukan di pesisir pantai seperti Belize City. Belmopan berada pada ketinggian 75 meter di atas permukaan laut dan berjarak 80 kilometer dari Belize City.
Tahun 2015, Iran juga memutuskan untuk merelokasi ibu kota dari Teheran ke Ishafan. Gempa bumi besar membuat Pemerintah Iran mempertimbangkan merelokasi pusat pemerintahan ke lokasi baru.
Selain karena ancaman bencana alam, Australia melakukan antisipasi menghadapi kendala alam dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Sydney ke Canberra. Selanjutnya, Sydney tetap dipertahankan menjadi pusat bisnis, keuangan, dan kebudayaan.
Rencana pemindahan itu dimulai pada 1908. Kemudian, pada 1911, Pemerintah Australia membuat sayembara internasional untuk menetapkan ibu kota baru. Hasilnya, terpilih Canberra yang mempunyai taman kota dengan danau besar di pusat kotanya.
Tahun 1938, pembangunan Canberra sebagai pusat pemerintahan dimulai, tetapi pertumbuhannya sangat lambat. Sepuluh tahun kemudian, Australia National University (ANU) mulai dikembangkan.
Periode berikutnya, pengembangan ANU dan pembangunan pusat-pusat kota berhasil meningkatkan jumlah penduduk sebesar 50 persen per 5 tahun pada periode tersebut.
Becermin dari pengalaman sejumlah negara yang berhasil memindahkan ibu kota negaranya, memindahkan ibu kota bukanlah proses instan dan cepat jadi, kecuali karena ancaman keamanan negara atau bencana alam.
Negara yang merelokasi ibu kota karena faktor pemerataan pertumbuhan ekonomi dan penyelesaian masalah perkotaan cenderung membutuhkan waktu yang lama. Hal ini karena pusat pemerintahan baru diinginkan lebih tertata dan tidak ingin masalah perkotaan yang lama terulang kembali. (LITBANG KOMPAS)