Mendulang Emas dari Kayu Manis
Seorang lelaki berkemeja kotak-kotak ungu bergaris merah tampak duduk di kursi kayu yang kusam. Ia sedang berbicara dengan beberapa lelaki di samping dan di depannya. Di atas meja berserakan potongan kayu manis, dua telepon genggam, sebungkus rokok, dan sebuah mesin electronic data capture (EDC).
Laki-laki itu, Indra Bangsawan, tidak sedang berada di toko atau mal. Ia sedang bercengkerama bersama beberapa kawan di depan warung makan sederhana di Desa Pasar Kerman, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Di depan warung terparkir mobil Toyota Fortuner warna putih milik Indra. Di seberang warung terdapat bangunan kayu berbentuk gudang yang dipenuhi gunungan kayu manis setinggi atap. Dua laki-laki tampak mengambil batang kayu manis, memeriksanya sejenak, lalu melemparkannya ke tumpukan kayu manis di depannya.
Dalam salah satu percakapan, Indra mengisahkan pengalamannya di awal 2017 berwisata selama tiga hari ke Jakarta bersama anak dan istrinya. Di Jakarta, mereka menginap di hotel bintang lima dan berbelanja menghabiskan uang hampir Rp 10 juta di Grand Indonesia. Ia juga telah pergi umrah serta membayarkan biaya untuk naik haji Rp 32 juta.
Indra Bangsawan merupakan potret pedagang pengumpul kayu manis yang sukses dari Desa Pasar Kerman. Tiga gudang penampung kayu manis dimiliki Indra saat ini. Indra membeli kayu manis dari para petani di Kecamatan Bukit Kerman lalu menjualnya ke eksportir di Padang.
Rata-rata transaksinya sebulan mencapai Rp 3-Rp 4 miliar dengan keuntungan yang diperoleh Rp 60 juta-Rp 100 juta. Mesin EDC itulah yang selalu menemaninya seharian untuk bertransaksi.
Kayu manis atau cassiavera telah menjadi komoditas yang memakmurkan keluarga Indra, bahkan masyarakat Kerinci. Rumah tembok dua tingkat dengan pilar-pilar model Romawi merupakan pemandangan umum di Kabupaten Kerinci.
Para pedagang kayu manis rata-rata memilki 2-3 mobil pribadi dan beberapa motor. Selain berdagang, mereka juga memiliki kebun kayu manis antara 5-20 hektar. Tak hanya petani dan pedagang kayu manis, pegawai negeri sipil banyak yang memiliki kebun rempah tersebut seluas antara 1-3 hektar.
Kayu manis (cassiavera) telah menjadi komoditas yang memakmurkan masyarakat Kerinci.
Rempah utama
Kayu manis (cinnamomum burmannii) merupakan komoditas ekspor rempah terbesar ketiga di Indonesia setelah lada dan pala. Dalam neraca perdagangan rempah Indonesia, kayu manis menyumbang surplus terbesar ketiga pada periode 2011-2016, dengan nilai rata-rata sumbangan surplus sebesar 77,3 juta dollar AS.
Pada 2014, kontribusi kayu manis terhadap surplus perdagangan rempah mencapai 106,41 juta dollar AS, meningkat 36,5 juta dollar AS dibandingkan dengan tahun 2013 dan 47,8 juta dollar AS dibandingkan dengan tahun 2011.
Catatan Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa komoditas rempah berwarna coklat tersebut memiliki kinerja ekspor terbesar ketiga setelah lada dan pala. Kinerjanya terus meningkat pada periode 2011-2014 dan turun sedikit pada tahun berikutnya. Peningkatan sejak 2011 -2014 mencapai 76,2 persen.
Kayu manis bersifat aromatik dan mengandung minyak atsiri yang biasa digunakan untuk industri kosmetik, makanan, farmasi, dan rokok. Khasiat itu membuat kayu manis populer di negeri Paman Sam. Selama ini, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor terbesar kayu manis Indonesia, menguasai hampir 80 persen pasar ekspor kayu manis Indonesia.
Data Kementerian Perindustrian memperlihatkan nilai ekspor kayu manis ke Amerika Serikat selama 2016 mencapai 32,9 juta dollar AS, naik 108 persen dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya. Nilai ekspor tersebut disumbang oleh perkebunan kayu manis yang tersebar di 16 provinsi di Indonesia.
Luas areal kebun kayu manis di Indonesia memiliki dinamika tersendiri. Pada periode 2000 hingga 2004, luas areal kebun terus meningkat. Akan tetapi, sejak 2005 hingga 2010 luasannya terus menyusut dan baru meningkat kembali mulai tahun 2011. Pada 2015, luasan kebun kayu manis mencapai 110.400 hektar.
Dari 16 provinsi yang memproduksi kayu manis, Provinsi Jambi, khususnya Kabupaten Kerinci, merupakan pemasok terbesar (58 persen) komoditas rempah ini. Tanah yang subur dan gembur, dengan solum yang tebal dan tata air yang baik karena berbukit-bukit, menjadikan tanah Kerinci sebagai pusat produksi kayu manis Jambi.
Angka produksi kayu manis Kerinci pada 2016 mencapai 53.818 ton dari lahan seluas 40.762 hektar. Areal seluas itu dikelola oleh 12.733 petani kayu manis.
Awal perniagaan
Tanaman kayu manis telah dikenal di Kerinci sejak masa kolonial. Kisah pembudidayaan kayu manis mirip tanaman rempah cengkeh dan pala di Maluku yang sebelum kedatangan bangsa Barat dianggap tanaman ”biasa” dan cenderung dibiarkan tumbuh liar.
Saat itu, tanaman kayu manis yang bisa mencapai tinggi 15 meter ini belum dijadikan komoditas perdagangan, tetapi telah banyak terdapat di hutan-hutan wilayah Kerinci. Perniagaan kayu manis baru dijalankan Belanda sekitar tahun 1800-an. Masyarakat Kerinci belum membudidayakannya, hanya sebatas mengambil di hutan-hutan wilayah Kerinci.
Budidaya kayu manis diperkirakan baru dilakukan pada 1930-an sebagai dampak sistem Tanam Paksa abad ke-19 (Moenir, 2005). Selama periode kolonial, pasar kayu manis telah merambah Eropa, terutama Inggris dan Belanda. Pada masa itu kayu manis Kerinci dikenal luas dengan sebutan ”Koerintje Kaneel”.
Pada masa setelah kemerdekaan, perdagangan kayu manis semakin berkembang terutama pada periode 1980-1990-an. Saat itu terjadi perluasan areal penanaman kayu manis karena harga yang meningkat tajam dari Rp 400 menjadi Rp 3.000 per kilogram.
Pada masa kolonial, kayu manis Kerinci dikenal luas dengan sebutan ”Koerintje Kaneel”.
Konsumen utama komoditas ini adalah pasar global, terutama Amerika Serikat. Publik Amerika mengenal kayu manis dengan sebutan ”Kerinci Cinnamon”.
Harga kembali meningkat tajam pada saat krisis ekonomi menerpa Indonesia tahun 1997. ”Zamannya Habibie itu harga kayu manis naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 12.000. Petani jadi bergairah menanam kayu manis kembali,” ujar Musnadi Moenir, pegiat pengembangan petani Kerinci dari Korintji Heritage.
Gairah menanam kayu manis diperlihatkan oleh data luas areal kebun di Kerinci ataupun jumlah produksi kayu manis yang dipanen. Pada 1997 luas areal kebun kayu manis di Kerinci 47.177 hektar. Lima tahun kemudian, luas areal meningkat menjadi 50.778 hektar. Tanaman ini mulai dapat dipanen pada usia 8-10 tahun.
Saat pohon ditanam pada 1997, satu dasawarsa (10 tahun) kemudian bisa mulai dipanen. Peningkatan angka produksi yang signifikan tampak dari data Kementerian Pertanian ketika terjadi peningkatan produksi kayu manis di Kerinci satu dekade setelah 1997, yakni dari 17.886 ton menjadi 53.645 ton atau naik sekitar 200 persen.
Namun, luas areal kebun tidak bertambah dan cenderung turun setelah tahun 2010. Petani hanya membiarkan tumbuh tunas pohon di sekitar pohon kayu manis yang telah ditebang tanpa membuka lahan baru. Menurut Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Kerinci Efrawadi, kondisi tersebut dipicu dominasi perdagangan kayu manis oleh sejumlah perusahaan pengekspor di Padang.
”Ada sekitar enam perusahaan di Padang yang menentukan harga kayu manis dari Kerinci untuk ekspor. Ketika gudang kosong, mereka menaikkan harga kayu manis petani. Sebaliknya, ketika gudang penuh, harga dibuat anjlok sekali,” tutur Efrawadi. Akibatnya, gairah petani menanam kembali pohon cassiavera pun surut.
Indikasi geografis
Perubahan terjadi pada 2013. Ketika itu, mulai ada perusahaan asing yang mencari langsung kayu manis di Kerinci tanpa melalui pengekspor di Padang. Selain itu, dua perusahaan lokal Kerinci telah cukup mampu untuk bertransaksi langsung dengan kolega pembeli mereka di luar negeri.
Jalur masuk ke pasar dunia tak lagi bergantung ke Padang. Saat itu juga internet mulai dimanfaatkan para pedagang lokal Kerinci untuk mengetahui harga kayu manis di pasar. Dampaknya, harga kayu manis di Kerinci melonjak signifikan dari sekitar Rp 8.000-Rp 10.000 per kg menjadi antara Rp 27.000-Rp 36.000 per kg di tingkat petani.
Harga semakin tinggi ketika kayu manis telah dibuat dalam bentuk stick ukuran 8-10 sentimeter. Produk semacam ini bisa dijual dengan harga Rp 65.000 per kilogram. Maka, gudang-gudang para pedagang penampung kayu manis seperti milik Indra Bangsawan pun kembali penuh.
Para petani bergairah menebang dan menguliti kayu manis usia panen untuk kemudian mengurus tunas baru yang mulai tumbuh. Pemerintah Kabupaten Kerinci pun mengeluarkan Indikasi Geografis (IG) bagi kayu manis Kerinci. IG merupakan pengakuan atas hak kekayaan intelektual sebuah produk di wilayah tertentu yang memiliki kualitas, karakteristik, dan reputasi khusus terkait faktor alam dan praktik produksi tradisional.
Dengan adanya IG, nama-nama produk lokal bisa terlindungi dari praktik pelanggaran atas reputasi mereka. IG juga memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi dengan mendorong para produsen meningkatkan kualitas dan harga, terutama dalam berhadapan dengan pasar internasional. Maka, mesin EDC para pedagang lokal dan petani seperti Indra Bangsawan pun kembali aktif digunakan bertransaksi.... (BI Purwantari/BE Julianery/Litbang Kompas)