Banjir, Tanah Longsor, dan Puting Beliung Masih Mendominasi
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Badan Nasional Penanggulan Bencana memperkirakan bencana alam yang terjadi di Indonesia masih akan didominasi bencana hidrometeorologi.
Menurut Sutopo Purwo Nugroho dari bagian Humas dan juga Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), bencana hidrometeorologi yang masih akan mendominasi meliputi banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
”Kejadian bencana terus meningkat setiap tahunnya. Dalam periode yang sama, tahun ini lebih banyak kejadian bencana dibandingkan tahun lalu,” kata Sutopo.
Ada daerah-daerah yang sebelumnya jarang bencana, tetapi kemudian terjadi bencana, seperti banjir bandang di Belitung Timur baru-baru ini. Banjir yang merendam di beberapa wilayah di Belitung Timur ini adalah terbesar dalam sejarah banjir yang pernah terjadi di daerah tersebut.
Ada juga kejadian serupa seperti banjir di Kota Bandung, Pangkal Pinang, Garut, dan beberapa daerah lainnya yang sebelumnya jarang banjir dengan intensitas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa risiko bencana meningkat dari tahun ke tahun.
Dari data BNPB, hingga pertengahan Juli 2017 tercatat ada 1.417 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan korban 216 orang meninggal dan hilang, 410 luka, dan lebih dari 1,7 juta jiwa yang terpaksa mengungsi dan terdampak bencana.
Tak hanya itu, bencana yang terjadi juga mengakibatkan 19.368 rumah tinggal penduduk rusak serta 243.298 rumah terendam.
Dampak banjir, tanah longsor, ataupun puting beliung juga merusak fasilitas-fasillitas sosial dan fasilitas-fasilitas umum. Tak kurang dari 432 fasilitas pendidikan, 289 fasilitas peribadatan, serta 40 fasilitas kesehatan rusak terdampak bencana.
Sementara itu, di antara jenis-jenis bencana tersebut di atas, bencana banjir merupakan penyebab dominan yang memakan korban jiwa dan hilang.
Persoalan mendasar yang menyebabkan bencana di negeri ini sering kali memakan banyak korban adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat bagaimana hidup di kawasan rawan bencana.
Masih adanya kesenjangan pemahaman terhadap bencana terutama terkait mitigasi bencana.
Pemahaman terhadap bencana masyarakat saat ini masih mengandalkan pemahaman tradisional jaman nenek moyang dahulu. Padahal, kondisi dan fonemena alam belum banyak berubah seperti saat ini.
Salah satu contohnya adalah cara pikir masyarakat bahwa bencana memiliki kaitan dengan hukuman dari ”atas” sebagai akibat tindak tanduk perilaku. Sementara aras mitigasi modern mendalilkan bahwa bencana semata-mata fenomena alam yang kerapkali tak terprediksi.
Selain itu, dengan semakin padatnya jumlah penduduk segenap tindakan antisipasi masyarakat terhadap kejadian bencana seringkali juga tidak tepat. Jumlah penduduk yang semakin padat, apabila masih mengandalkan pada pemikiran lama, langkah antisipasi bencana menjadi kurang sesuai lagi.
Kendala koordinasi
Tren semakin tingginya kejadian bencana dari tahun ke tahun seperti yang terjadi sekarang ini berdampak langsung terhadap meningkatnya korban baik nyawa dan harta benda termasuk infrastruktur daerah.
Hal ini menyebabkan para pemangku kepentingan yang ikut berperan dalam penanggulangan bencana seperti pemerintah daerah, BNPB kiprahnya menjadi semakin vital.
Meski demikian, dalam melaksanakan fungsinya BNPB mempunyai banyak kendala di lapangan. Tugasnya, yaitu merumuskan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi, tak maksimal dijalankan.
Menurut Sutopo, kendala sangat kompleks karena terkait dengan kebijakan publik, tata ruang, kemiskinan, kepemilikan lahan, ekonomi, dan lainnya. Tak hanya itu, saat ini penanggulangan bencana juga belum menjadi prioritas pembangunan di daerah.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) di sejumlah wilayah, penanggulangan bencana banyak yang tidak menjadi program prioritas. Konsekuensinya, anggaran untuk penanggulangan bencana untuk penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat minim.
”Rata-rata anggaran untuk penanggulangan bencana hanya 0,02 persen dari total APBD. Idealnya minimal 1 persen,” kata Sutopo.
Selain persoalan anggaran yang minim, persoalan lain yang menyebabkan semakin besarnya jumlah korban saat terjadi bencana adalah persoalan kekisruhan dalam tata ruang. Pada umumnya, penyusunan tata ruang di daerah belum berazas pada peta rawan bencana.
”Di atas peta mungkin sudah mengaitkan tata ruang dengan peta rawan bencana, tetapi dalam praktiknya masih sangat minim sehingga banyak permukimam dibangun di daerah-daerah rawan bencana. Permukiman dibangun di jalur sesar gempa, lereng-lereng perbukitan, dan bantaran sungai. Ini menyebabkan saat bencana timbul banyak korban,” ujar Sutopo.
Antisipasi kemarau
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika belum lama ini merilis prakiraan cuaca, yakni awal musim kemarau 2017 di sebagian besar (45,9 persen) daerah akan mundur dibandingkan terhadap rata-rata selama 30 tahun (1981- 2010).
Sementara itu, awal musim kemarau sebagian besar (58,2 persen) diprakirakan mulai Mei dan Juni 2017. Melihat kondisi tersebut diperkirakan musim kemarau tahun ini akan normal. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Juni dan September.
Melihat kondisi tersebut, daerah-daerah rawan kekekeringan endemik, seperti Kulon Progo, Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Subang, Indramayu, dan daerah-daerah lainnya, akan mengalami kekurangan air baik untuk pertanian ataupun untuk keperluan domestik (rumah tangga).
Selain itu, daerah-daerah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Selatan, juga Papua, perlu diwaspadai karena berpotensi mengalami kebakaran lahan dan hutan. Seperti yang terjadi belakangan ini titik api sudah mulai mengancam beberapa wilayah di Sumatera, mulai dari Aceh, Riau, hingga Jambi.
Untuk mengantisipasi berbagai bencana yang mungkin akan terjadi di musim kemarau ini, menurut Sutopo, BNPB dan BPBD sudah melakukan langkah antisipasi dengan melakukan droping air melalui tanki air untuk dibagikan ke masyarakat yang kekurangan air.
Di samping itu, juga antisipasi terhadap kebakaran hutan dan lahan dengan menempatkan helikopter water bombing dan melakukan hujan buat di beberapa tempat.
Paparan di atas memerlihatkan penanganan bencana di Indonesia menghadapi persoalan yang kompleks. Penanganan bencana tidak bisa hanya dibebankan kepada satu instansi, seperti BNPB atau BPBD di daerah.
Tanggung jawab penanganan bencana ada pada seluruh pemangku kepentingan baik itu dari pihak pemerintah maupun seluruh komponen di masyarakat. Sektor bisnis, industri, lembaga swadaya masyarakat, hingga penduduk setempat terlibat dalam tanggung jawab itu.
Kebijakan tata ruang yang sudah mendasarkan pada peta rawan bencana tidak akan berhasil mana kala setiap pihak yang berkepentingan tidak patuh dan tak konsisten menerapkannya. Rencana tata ruang wilayah hanya akan menjadi dokumen di atas meja sementara bencana-bencana yang memakan korban akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. (Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)