Mencari Kemilau Pala Patani
Hasil penelusuran dengan memetakan daerah-daerah utama penghasil pala berdasarkan data Kementerian Pertanian menunjukkan, untuk wilayah Indonesia bagian timur, Maluku Utara dan Maluku masih dominan dalam luasan area maupun produksi pala.
Kabupaten Halmahera Tengah di Provinsi Maluku Utara merupakan sentra rempah pala yang luas area tanamannya sebanding dengan Kabupaten Maluku Tengah di Provinsi Maluku, berkisar 11 ribu hektare.
Jika di Provinsi Maluku konsentrasi pala terletak di Kepulauan Banda, maka di Provinsi Maluku Utara sentra utama pala terletak di wilayah Patani, Halmahera Tengah. Di Halmahera Tengah, pusat perkebunan pala terbesar berada di Patani.
Konsentrasi pala di Provinsi Maluku Utara terletak di wilayah Patani, Halmahera Tengah
Wilayah yang terdiri dari Kecamatan Patani, Patani Utara, Patani Barat, dan Patani Timur tersebut memiliki tingkat produksi pala yang hampir mirip dengan Pulau Banda di Maluku Tengah yang kesohorannya sudah mendunia sejak berabad-abad lalu.
Seluruh area tanaman di Patani menghasilkan 1.809,80 ton pada tahun 2015, sedangkan Banda 1.508,5 ton. Bedanya adalah, Banda lebih fokus dalam tanaman pala, sedangkan di Patani selain pala masyarakat juga hidup dari hasil tanaman cengkih, kelapa dan kakao.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara yang meneliti karakter pala Patani, menemukan bahwa ciri khas dari pala Patani adalah jenisnya hampir homogen, satu varietas dengan 3-5 tipe yakni Pala Halteng Hijau, Bulat Kecil, Bulat Besar, Lonjong Kecil, dan Lonjong Besar.
Kadang, ke lima tipe ini dikelompokkan hanya ke dalam tiga tipe saja, yakni Pala Hijau, Bulat, dan Lonjong. Kandungan minyak atsiri fuli (salut biji pala) bisa mencapai 14,17 persen, safrol (kandungan komponen yang bisa digunakan sebagai pestisida alami) 0,09 persen, miristisin (senyawa utama minyak atisiri pala) 4,26 persen, dan metil eugenol (senyawa kimia yang bersifat sebagai penarik serangga) 0,06 persen.
Menurut BPTP Maluku Utara, rendemen minyak fuli dari pala Patani 14,17 persen, lebih tinggi sedikit dibanding pala Banda yang 14 persen. Sedangkan biji palanya memiliki karakter berat jenis 0,91 dengan indeks bias 1,5 dan kandungan miristisin mencapai 20,17 persen dan minyak atsiri 26,61 persen.
Aroma minyak atsirinya tajam dan sesuai standar bahan baku industri parfum dan kosmetika. Sementara, di dalam kandungan daging buahnya terdapat protein 0,86 persen, karbohidrat 2,95 persen, lemak 0,5 persen dan gula 1,19 persen. Keunggulan lainnya adalah keadaan pohon di lapangan relatif lebih toleran terhadap serangan hama dan penyakit.
Wilayah Patani berada di ujung semenanjung tenggara pulau Halmahera. Jika Halmahera adalah pulau yang berbentuk huruf “K” maka Patani berada di kaki kanan bawah. Ia berhadapan langsung dengan wilayah laut Kabupaten Sorong, Papua Barat. Sejauh ini masih kurang publikasi mengenai perkebunan pala di Patani membuat kami memilih melakukan perjalanan ke Patani.
Menuju Patani
Senin, 10 April 2017, pagi-pagi saya dan rekan sudah berada di Pelabuhan Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, setelah hari-hari sebelumnya menempuh perjalanan yang cukup panjang di wilayah Provinsi Maluku. Sehabis menjelajah sentra-sentra cengkih di daratan “Tanah Leihitu” Pulau Ambon lalu ke Pulau Saparua dan Pulau Seram, kemarin kami terbang ke Ternate.
Dari ibukota Maluku Utara ini, kami menyeberang menggunakan perahu boat, menuju Pelabuhan Sofifi di Pulau Halmahera. Setiba di Sofifi, perjalanan dilanjutkan dengan travel dari sisi barat pulau menembus ke sisi tengah menuju Weda, Ibukota Halmahera Tengah.
Kota kecil –yang hanya ramai jika ada kapal singgah ini– baru setengah perjalanan yang akan kami lalui. Selanjutnya kami harus menggunakan jalur laut ke Patani. Wilayah Patani sejauh ini masih terisolasi dari jalur darat, belum ada jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat dari ibukota kabupaten menuju Patani.
Sehingga, transportasi laut menjadi satu-satunya pilihan bagi pengunjung yang akan ke sana. Beberapa tahun lalu sempat ada penerbangan menuju Pulau Gebe yang berdekatan dengan Patani, tetapi kini sudah berhenti beroperasi.
Di Pelabuhan Weda, perahu motor Aditya dengan kapasitas 46 penumpang telah sandar sejak subuh. Seharusnya berangkat jam 07.00, tetapi hingga pukul 08.00 tak jua berangkat. Nahkoda kapal tampak ragu. Kami sudah membeli tiket seharga Rp 200.000, namun ternyata hanya enam penumpang yang akan berangkat menggunakan speedboat kayu ini.
Jika tidak sampai 10 penumpang, kami harus menunggu dua hari sampai Rabu baru akan ada Kapal Feri Cantika menuju Patani. Patokan minimal 10 penumpang ini tampaknya merupakan syarat bagi nahkoda untuk dapat membeli bahan bakar bagi kapal cepat bermesin tempel tiga buah ini, agar dapat sampai ke Patani.
Sepertinya kami harus menunggu selama dua hari lagi di Weda, ketika tiba-tiba ada telepon dari pemilik perahu itu di Patani yang mengharuskan nahkoda memberangkatkan kapal hari ini karena suatu keperluan. Kapal yang hanya memuat enam orang itu pun segera melaju ke Patani.
Waktu tempuh empat jam terasa singkat karena kami berkenalan dengan Pak Ade Haji Hanan (50), seorang petani asal Patani Utara yang cukup memberikan gambaran kondisi pertanian dan akomodasi di Patani. Di Patani tidak ada penginapan atau hotel.
Itu yang cukup membuat kami harus berpikir mencari pemecahan. Beruntung Pak Ade cukup berbaik hati menawarkan kepada kami agar menginap di rumahnya. Tiba di Pelabuhan Patani pukul 12.30, kami langsung naik travel menuju ke rumahnya di Desa Maliforo, Kecamatan Patani Utara. Rindang pohon pala menjadi aura khas yang sangat kental mewarnai desa ini.
Berkah Pala
Memasuki perkampungan-perkampungan di Kecamatan Patani Utara segera terasa gambaran kemakmuran sebuah wilayah terpencil. Berbeda dengan berbagai daerah yang pernah saya kunjungi, desa-desa di sini merupakan relung kehidupan yang menampilkan asa di sejumlah sudutnya.
Masjid-masjid berukuran sangat besar berdiri di sejumlah tempat, puskesmas berdiri dengan bangunan yang cukup luas dan bersih, sekolahan-sekolahan mulai dari tingkat dasar hingga menengah, menampilkan kesan sebagai tempat pendidikan yang sangat memadai.
Perkampungan di Kecamatan Patani Utara menggambarkan kemakmuran sebuah wilayah terpencil
Di satu kecamatan ini, bahkan terdapat empat sekolah setingkat SLTA, sebuah kemewahan yang jarang ditemui di daerah pertanian terpelosok lainnya. Sebuah perkampungan baru di Desa Pantura Jaya menjadi simbol lain dari gaya hidup patani Patani. Di sini, rumah-rumah baru dibangun dengan pilar-pilar bergaya Romawi, kontras dengan perkampungan-perkampungan lama di Maliforo atau Tepeleo.
Biji pala menjadi berkah yang menyebar ke semua kelompok masyarakat. Ia seolah datang dari langit dan manusia tinggal memungutnya. “Bahkan pohon pala bisa tumbuh di atas batu-batu karang. Hasilnya malah bagus,” kata Pak Ade.
Rezeki tak hanya milik orang dewasa, anak-anak kecil pun turut menikmatinya. “Tiap pagi, bangun tidur anak-anak langsung pergi ke kebun, memungut biji pala. Bisa dapat sekilo-dua kilo, dijual waktu mereka berangkat sekolah...lumayan buat jajan. Kalau mereka mau dapat banyak, malahan lebih suka tidur di kebun agar pagi-pagi dapat banyak biji pala,” lanjut Pak Ade.
Buah pala yang sudah jatuh dari pohon boleh diambil oleh siapa saja. Dengan harga pala kering saat ini sekitar Rp 53.000, anak-anak memiliki uang saku yang berlimpah untuk berbagai keperluan mereka sendiri, tanpa harus meminta kepada orang tua.
Haji Saudi (51) tahun 1988 masih berjualan es keliling kampung dan istrinya berjualan kue terang bulan. Tahun 1989 ia berkenalan dengan seorang pedagang pengumpul di Patani, yaitu Haji Ahmad Cina. Darinya ia mendapat order untuk mencarikan cengkih dengan pembagian 2 persen dari keuntungan.
Dari situlah ia mengetahui lika-liku perdagangan cengkih dan pala, termasuk bagaimana mendapatkan modal usaha untuk pembelian rempah itu. Usahanya terus berkembang, awalnya ia menyuplai untuk Ahmad Cina, tetapi sekarang sudah berhubungan langsung dengan pedagang besar di Kota Ternate, Haji Hama Daeng Barang.
Sekarang ia menjadi salah satu pedagang kaya di Patani Utara. Selain memiliki toko besar, ia juga mampu menyekolahkan anak-anak dan keponakan-keponakannya kuliah di kota besar. Rumahnya di Patani Utara juga selalu menjadi tempat tinggal bagi tokoh-tokoh politik nasional, seperti Abdul Gafur, Fadel Muhammad, Akbar Tandjung, dan lain-lain.
Rustam Iola (54) asal Gorontalo, sebelumnya merupakan pedagang kelontong di Tobelo. Usahanya bangkrut, lalu pindah ke Patani Utara. Selama enam tahun di sini, ia kini menjadi salah satu pedagang besar pala, cengkih, dan kopra.
Berusaha dari nol, ia kini memiliki empat buah kapal, beberapa mobil, dan sekarang ia sedang membangun sebuah rumah besar di dekat tokonya, di Kampung Tepeleo. Rustam juga menjadi satu-satunya pedagang yang menyewa gudang besar milik Pelabuhan Patani Utara. Jika sedang musim panen, sekali angkut ia bisa mengirimkan dua ton pala dan satu ton fuli ke Ternate atau Manado. Bila bukan musim panen, dua minggu sekali ia tetap mampu mengirimkan sekitar satu ton pala.
Saat musim panen besar tiba di Patani Utara, padagang lokal pun kerap tak sanggup membeli semua hasil pala dan cengkih. Luapan berkah dari Patani Utara, kadang harus diberikan kepada orang-orang dari daerah lain. “Saat panen besar seperti itu, pedagang-pedagang dari Manado, Tobelo, dan lain-lain banyak sekali yang datang. Mereka membeli hasil panen langsung dari petani,” tutur Haji Saudi. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)