Awas, Pulau Jawa Terhitung Paling Rawan Bencana
Rekapitulasi kejadian bencana tahun 2017 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana baru-baru ini memperlihatkan bahwa daerah-daerah di Pulau Jawa paling banyak mengalami bencana.
Dari 1.417 kejadian bencana yang ada di Indonesia sepanjang tahun 2017, 854 atau sekitar 60 persennya terjadi di tiga provinsi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang paling banyak mengalami bencana, yakni 404 kejadian, kemudian disusul Provinsi Jawa Timur 264 kejadian, baru berikutnya Provinsi Jawa Barat dengan 186 kejadian.
Sebagaimana kejadian bencana yang terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia, karakteristik bencana yang terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti tanah longsor, banjir, dan puting beliung.
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Humas dan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Pulau Jawa menjadi daerah yang paling banyak terjadi bencana karena sebagian besar (59 persen) penduduk di Indonesia tinggal di pulau ini. ”Daya dukung dan daya tampung lingkungan di Jawa sudah terlampaui sehingga rentan bencana,” kata Sutopo.
Kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Jawa dibandingkan di daerah atau pulau lain mengakibatkan banyak permukiman penduduk terpaksa dibangun di daerah-daerah yang rawan bencana.
Tak hanya itu, penduduk juga banyak mengolah lahan untuk pertanian di daerah-daerah dengan tingkat kecuraman tinggi yang seharusnya tidak layak karena memperbesar potensi terjadinya bencana, seperti tanah longsor ataupun banjir.
Zona rawan
Menurut Junun Sartohadi, peneliti senior Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada, ada tiga faktor yang pendukung yang menyebabkan wilayah-wilayah di Pulau Jawa lebih rentan bencana tanah longsor, banjir, ataupun puting beliung.
Tiga faktor itu adalah faktor geologis, faktor iklim, dan faktor sosio-kultural penduduk Jawa.
Dilihat dari kondisi geologisnya, Pulau Jawa terbagi menjadi tiga zona alam, yakni Zona Utara, Zona Selatan, dan Zona Tengah. Daerah yang paling rawan bencana adalah di wilayah transisi antara Zona Selatan dan Zona Tengah.
Hal ini disebabkan kondisi litologis batuan dasar. Wilayah ini terdiri dari lapisan batuan marin yang berumur tersier atau lapuk lanjut. Lapisan itu tertumpangi material vulkanik atau gunung api dari Zona Tengah yang terdiri dari material abu vulkanik yang juga mudah lapuk.
”Jadi, kondisinya adalah abu gunung api yang lapisannya tebal dan mengembang menumpang pada batuan yang sudah lapuk lanjut,” papar Junun yang juga tercatat sebagai Guru Besar di Fakultas Geografi UGM.
Ada bagian-bagian tertentu di zona transisi Tengah dan Selatan yang pada masa pengangkatan zaman dulu disertai dengan proses intrusi. Hal ini membentuk banyak batuan lapuk dengan kondisi sangat lanjut yang hasil prosesnya berupa lapisan batuan Clay (lempung) yang licin.
Lapisan lempung itu kemudian tertumpangi oleh lapisan abu gunung api yang sangat tebal yang sifatnya porous. ”Nah, ketika hujan, air hujan bisa meresap sangat dalam sampai di lapisan batuan clay atau lempung,” kata Junun.
Proses berikutnya, apabila lapisan lempung yang terbentuk tersebut dalam kondisi mampat atau padat, akan bisa menjadi bidang gelincir. Akibatnya, lapisan abu yang tebal akan sangat mudah tergelincir di bidang gelincir dari lapisan lempung. Hal ini yang berpotensi menjadi bencana tanah longsor, seperti yang banyak terjadi di zona Jawa bagian Selatan, baik itu Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur.
Sementara itu, karena kondisi lapisan batuan yang terbentuk di wilayah zona Utara Jawa berbeda, daerah-daerah dengan potensi bencana longsor tidak sebanyak di wilayah zona peralihan Selatan-Tengah.
Meski demikian, ada beberapa wilayah di zona Utara Jawa yang juga berpotensi rawan lonsor, di antaranya daerah Semarang Selatan, Kendal, dan Batang yang fenomena alamnya hampir serupa dengan wilayah-wilayah di zona peralihan Selatan-Tengah Pulau Jawa.
Faktor iklim dan kultural
Faktor kedua penyebab daerah-daerah di Pulau Jawa lebih rentan terhadap bencana adalah iklim. Kondisi iklim yang relatif basah di Jawa atau memiliki curah hujan dengan intensitas yang tinggi membuat daerah-daerah tersebut rentan terhadap bencana banjir, tanah longsor, ataupun puting beliung.
”Jawa Barat lebih basah daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka, potensi bencana di Jawa Barat dari sisi iklim seharusnya lebih tinggi daripada wilayah di Jawa Tengah dan Timur. Jadi, potensinya paling tinggi Jawa Barat, kemudian Jawa Tengah, baru kemudian di urutan berikutnya Jawa Timur,” papar Junun.
Faktor ketiga adalah faktor sosio-kultural masyarakat, bagaimana masyarakat setempat mengolah dan memanfaatkan lahan untuk pertanian, perkebunan, ataupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengolahan lahan dengan metode yang tidak tepat atau tidak disesuaikan dengan kondisi yang ada bisa menjadi pemicu bencana.
Salah satunya adalah program pengolahan lahan yang digalakkan oleh pemerintah waktu itu di akhir tahun 1970-an, yakni pembuatan teras atau terasering di lahan-lahan miring.
”Kalau terasering diterapkan di Zona Selatan dan Tengah wilayah Jawa, sebenarnya tidak sesuai. Sebab, sistem teras ini akan meningkatkan infiltrasi tanah yang disebabkan proses penggemburan tanah. Maka, apabila infiltrasi air tanah tersebut bertemu dengan lapisan clay, akan memperbesar potensi longsor,” tutur Junun menjelaskan.
Sistem teras ini, apabila diterapkan di Zona Tengah, yang didominasi oleh batuan vulkanik muda karena banyak aktivitas gunung api yang masih aktif, tidak akan menjadi masalah.
Di Zona Tengah, batuan vulkanik masih baru dan masih sangat fresh. Jadi, materialnya masih padat, secara mineralogis batuannya belum lapuk dan butir-butir pasir atau batu masih berbentuk ireguler atau belum rounded karena bentuknya masih tidak beraturan dan kasar.
Akibatnya, material dengan kondisi seperti itu masih saling mengunci sehingga, apabila kena aliran air, material tersebut akan tetap stabil atau tidak mudah bergerak. Alhasil, lapisan batuan vulkanik muda relatif tidak rawan longsor.
Terasering berbahaya
Menurut Junun Sartohadi, sistem terasering diadopsi dari Amerika Serikat. Di tempat asalnya itu, terasering diterapkan di daerah dengan kemiringan lereng kurang dari 25 persen. Sementara di Indonesia diterapkan di daerah-daerah dengan kemiringan sangat tinggi, bahkan di beberapa tempat dengan kemiringan 100 persen.
Oleh karena itu, bahaya longsor sekarang ini menjadi semakin intensif selain karena, selain punya potensi dari sisi iklim ataupun keadaan alamnya, juga diperparah dengan penerapan teknik pengolahan lahan (contoh: sistem terasering,) yang justru meningkatkan potensi longsor.
Untuk mengurangi potensi dan dampak bencana di Jawa, mengingat potensi bencananya yang tinggi, perlu dilakukan langkah antisipasi. Langkah-langkah antisipasi tersebut antara lain dengan pengaturan ruang atau alokasi ruang kembali.
Aliran air dan sedimen harus diberi ruang di sepanjang aliran sungai. Selain itu juga perlu diatur perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Menghindari pemanfaatan lahan yang menyebabkan lahan menjadi gembur di bagian hulu sungai.
Langkah terakhir apabila kondisi sudah kritis adalah dengan membangun infrastruktur bangunan untuk mempertahankan kapasitas aliran, seperti membangun tanggul dan melakukan pengerukan aliran sungai. Tentu saja, untuk melakukan langkah terakhir ini, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dibandingkan dengan dua langkah sebelumnya. (Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)