Energi Terbarukan Belum Jadi Arus Utama
Hingga hari ini, pasokan energi Indonesia masih bergantung pada energi konvensional. Minyak dan gas bumi serta batubara masih menjadi andalan. Selain terbatas karena tidak terbarukan, dalam waktu singkat penggunaan energi konvensional juga mencemari lingkungan.
Berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong penggunaan energi terbarukan tampaknya masih majal dalam mengatasi persoalan ini. Dominasi pasokan energi konvensional dalam bauran energi nasional mencapai lebih dari 90 persen.
Sektor transportasi menyedot lebih dari duapertiga pasokan bahan bakar minyak nasional. Berikutnya, 89 persen kebutuhan energi sektor industri juga masih mengandalkan energi konvensional, terutama gas alam, batubara, dan BBM. Sisanya adalah listrik, yang separuh bahan bakar produksinya adalah juga batubara.
Kondisi tersebut mendorong munculnya kekhawatiran bahwa Indonesia akan mengalami krisis energi. Salah satunya dikemukakan pada pertengahan tahun lalu oleh pemerintah bahwa Indonesia akan menghadapi ancaman krisis energi pada satu dekade mendatang. Hal ini didasarkan masih rendahnya pasokan listrik bagi masyarakat.
Faktor lainnya ialah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari ekspolrasi dan eksploitasi sumber-sumber energi konvensional. Di wilayah hulu, proses pengambilan dan pengolahan migas serta batubara ditengarai masih mencemari lingkungan sekitarnya, baik air, udara dan tanah.
Dalam kasus migas, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), kegiatan eksplorasi migas dan pengilangan menghasilkan berbagai macam emisi pencemar udara, yang ekuivalen dengan 7,3 juta ton CO2 setiap tahunnya.
Dari jumlah tersebut, pengilangan migas menjadi sumber penghasil emisi utama, yakni ekuivalen dengan 6,7 juta ton CO2 atau sekitar 92 persen dari total emisi yang dihasilkan.
Hal serupa juga terjadi dalam penambangan batubara. Salah satu persoalan yang paling nyata ialah rusaknya vegetasi akibat pembukaan lahan untuk penambangan dan kegiatan pendukungnya. Selain itu, batubara berpotensi menyebabkan kontaminasi radioaktif yang dapat membahayakan manusia serta pencemaran udara yang menimbulkan penyakit pernapasan.
Sementara di wilayah hilir, setiap penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi energi setara 1,5 liter minyak setiap harinya. Energi tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari penerangan, transportasi, hingga kegiatan produksi.
Dengan kondisi umum yang masih mengandalkan migas dan batubara, pencemaran lingkungan masih tetap terjadi sejalan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat. Dalam sepuluh tahun terakhir, sektor industri dan transportasi mendominasi konsumsi energi hingga 71-78 persen.
Terutama untuk sektor transportasi, kebutuhan energinya meningkat relatif tinggi. Pada tahun 2015, konsumsi energi sektor ini mencapai setara 69 juta kiloliter minyak. Angka ini tiga kali lipat lebih tinggi dibanding 15 tahun sebelumnya, yang tercatat setara 22,1 juta kiloliter minyak.
Kebijakan belum optimal
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan energi ini. Di antaranya cetak biru pengelolaan energi nasional 2005-2025. Cetak biru ini memuat milestone dari pengembangan sumber-sumber energi alternatif, termasuk di dalamnya energi terbarukan.
Pemerintah, dalam cetak biru tersebut, menargetkan konsumsi energi per kapita pada tahun 2025 setidaknya 10,6 setara barrel minyak (SBM) per tahun. Artinya, konsumsi energi setiap penduduk diharapkan mencapai 4,6 setara liter minyak setiap harinya.
Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan sekitar 284,8 juta jiwa, pemerintah harus bisa mencukupi kebutuhan konsumsi energi final setidaknya 3 miliar SBM. Untuk itu, kebutuhan penyediaan energi primer bakal mencapai 4 miliar SBM.
Sebagaimana ditetapkan dalam cetak biru, pemerintah mencanangkan dominasi ketiga sumber energi konvensional turun hingga 82 persen pada 2025. Sisanya dipenuhi dengan energi baru dan terbarukan, terutama bahan bakar nabati (BBN) dan panas bumi.
Berbagai program sebenarnya telah dirancang untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, misalnya pengembangan BBN, seperti biodiesel, yang didukung dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2016.
Kemudian, dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian ESDM 2015-2019 telah dinyatakan bahwa pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi akan menjadi arus utama mereka. Hal ini didasari pada menipisnya cadangan energi serta terbatasnya infrastruktur energi. Di masa lalu, pendapatan dari sumber daya energi tidak diinvestasikan secara maksimal untuk membangun infrastruktur energi.
Kebijakan yang terbaru, Menteri ESDM telah menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Peraturan ini ditetapkan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional sekaligus mengatur pengelolaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Sumber energi terbarukan yang diatur dalam peraturan ini antara lain tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, biomassa, biogas, sampah kota, dan panas bumi.
Pemerintah telah memiliki peta potensi energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ketidaksinkronan antara perencanaan dan implementasi di lapangan sering kali menjadi kendala dalam mempercepat pengembangan energi ini. Belum lagi soal skala ekonomis yang membuat pengusahaan energi terbarukan yang masih jauh dari efisien. Hal ini membuat pengembangan energi ini terlihat seperti berjalan di tempat.
Pengalaman dari sejumlah negara memberikan pembelajaran bahwa pengembangan energi terbarukan membutuhkan waktu dan perhatian yang serius. Misalnya, Amerika Serikat yang memberikan insentif pajak bagi pengguna BBN sejak akhir era 1970-an dan Brasil yang terus mengembangkan bioetanol sejak sembilan dekade silam.
Pada dasarnya, semangat dari kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Renstra dan peraturan untuk mengembangkan energi terbarukan telah sangat jelas. Tinggal menunggu konsistensi pemerintah, pelaku usaha, serta masyarakat dalam mengarusutamakan energi ini untuk ketahanan energi dan kehidupan yang lebih ramah lingkungan.
(LITBANG KOMPAS)