Pemanasan Parpol Menjelang Pilkada 2018 Pulau Jawa
Pilkada serentak 2018 akan diselenggarakan di 171 daerah yang meliputi 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dari 17 provinsi, 3 di antaranya berada di pusat populasi Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pelaksanaan pilkada di tiga provinsi ini akan menjadi medan pertaruhan partai politik dan para tokoh yang akan bertarung, karena ketiga provinsi ini akan menjadi barometer kekuatan parpol untuk menghadapi Pemilu 2019.
Jabar, Jateng, dan Jatim merupakan tiga provinsi di Pulau Jawa yang selalu menjadi lumbung suara bagi partai-partai politik lantaran jumlah pemilihnya yang melimpah. Meskipun partisipasi politik masyarakat secara ril lebih rendah dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT), namun ketiga provinsi ini selalu mengantongi jumlah pemilih yang paling besar.
Jabar, Jateng, dan Jatim merupakan tiga provinsi di Pulau Jawa yang selalu menjadi lumbung suara bagi partai-partai politik.
Pada Pemilu 2014 jumlah DPT gabungan dari Jabar, Jateng, dan Jatim tercatat mencapai 90.266.347 jiwa atau 48,4% persen dari DPT nasional. DPT terbanyak ada di Jabar, yaitu 32.687.337 jiwa atau 17,5%. Di tempat kedua adalah DPT Jatim sebanyak 30.437.363 jiwa atau 16,3% persen. Sementara DPT Jateng jumlahnya lebih sedikit, yaitu 27.141.647 jiwa atau 14,6%.
Sedangkan pada Pemilu 2009 proporsi DPT Jatim tercatat paling besar, yaitu 17,2 persen dari DPT nasional sebanyak 171.265.442 jiwa. Sementara Jabar dan Jateng menempati peringkat kedua dan ketiga dengan proporsi DPT masing-masing sebesar 17 persen dan 15,3 persen. Jika DPT ketiga provinsi ini disatukan, proporsinya bisa mencapai 49,5 persen atau hampir separuh jumlah DPT nasional.
Selain memiliki jumlah pemilih yang masif, konfigurasi politik di Jabar, Jateng, dan Jatim juga beragam sehingga bisa merepresentasikan konfigurasi nasional. Konfigurasi politik ini secara ril bisa dilihat dari hasil pemilu yang menggambarkan struktur politik di masing-masing provinsi. Dari Pemilu 2004 hingga Pemilu 2014 telah membentuk sebuah struktur politik yang mencerminkan karakter sosio politik masyarakat dengan ideologi parpol tertentu.
Secara umum struktur politik masyarakat di ketiga provinsi ini masih didominasi oleh ideologi nasionalisme-sekuler yang ditandai dengan unggulnya partai-partai nasionalis, terutama PDIP dan Golkar. Di sisi lain, kekuatan yang senantiasa membayangi nasionalisme-sekuler adalah agama, terutama Islam, yang saat ini terbagi menjadi Islam tradisional dan Islam moderen. Kedua kubu dalam Islam ini memiliki terpolarisasi dalam partai politik, yaitu PPP dan PKB dari kubu tradisional dan PAN dan PKS dari kubu moderen.
Persaingan kedua ideologi politik ini mendapatkan ruang yang cukup luas di tiga provinsi ini karena keduanya memiliki basis dukungan yang relatif solid dan cukup fanatik. Boleh jadi, persaingan politik tersebut merupakan warisan dari pertarungan politik sejak Pemilu pertama terselenggara di negara ini pada 1955. Kedua ideologi itu adalah Islam dan Nasionalis sekuler yang diwarnai dengan sosialis-komunis.
Pemetaan Politik
Secara umum lanskap politik di tiga provinsi ini bercorak nasionalisme-sekuler di mana partai dengan basis ideologi nasionalisme masih mendominasi perolehan suara dari Pemilu 1999 hingga 2014. Meski demikian, pola penguasaan suara dalam pemilu di tiga provinsi ini memiliki perbedaan yang cukup mencolok di antara partai-partai nasionalis. Fakta ini bisa dilihat pada hasil Pemilu 2004 – 2014.
Lanskap politik di tiga provinsi bercorak nasionalisme-sekuler di mana partai dengan basis ideologi nasionalisme masih mendominasi.
Jawa Barat, jika dilihat dari struktur pemenang tiga pemilu tersebut mencerminkan karakter wilayah yang fleksibel secara politis. Meskipun berciri nasionalis, tidak ada partai yang benar-benar mendominasi suara pemilih di Jabar yang membuat daerah ini menjadi basis politik.
Meskipun Golkar menjadi pemenang dalam Pemilu 1999 dan 2004, Jabar bukanlah basis Golkar. Faktanya, ketika Pemilu 2009 Golkar terperosok di bawah PDIP dan Demokrat menjadi pemenang di sana. Sementara Pemilu 2014, Golkar hanya bisa menambah peringkatnya ke posisi kedua di bawah PDIP.
Sementara partai Islam, posisinya selalu berada di bawah partai nasionalis dengan perbedaan suara yang sangat menyolok. Harus diakui, PKS dan PPP merupakan partai Islam yang mampu bersaing dengan tiga partai besar yang berhaluan nasionalis, yaitu Golkar, PDIP, dan Demokrat. PPP dan PKS meskipun bukan menjadi pemenang pemilu, tetapi tetap bisa mempertahankan posisi mereka di posisi pemenang lima besar dalam Pemilu 2004-2014.
Jawa Tengah juga memiliki watak nasionalisme-sekuler dalam politik. Namun, nasionalisme Jateng coraknya berbeda dengan Jabar, karena pilihan politik masyarakat di provinsi ini tidak pernah jauh dari gagasan Marhaenisme yang dibawa Soekarno. Marhaenisme sekarang ini sudah bertransformasi ke dalam PDI Perjuangan, partai yang dipimpin langsung oleh putri mendiang Soekarno, Megawati Soekarnoputri.
Karena itulah watak politik Jateng dalam politik selalu identik dengan PDIP dan akan selalu memilih PDIP dalam setiap pemilu. Akibatnya, sejak Pemilu 1999 hingga 2014 PDIP selalu mendominasi perolehan suara di Jateng. Watak pemilih Jateng yang mayoritas tetap loyal kepada PDIP membuat provinsi ini selalu menjadi basis pemilih PDIP dari pemilu ke pemilu.
Partai nasionalis lain yang berbeda haluan dengan PDIP kurang diminati karena dianggap elitis dan kurang peduli kepada rakyat kecil. Meskipun Golkar, Demokrat, dan Gerindra sesumbar turut mengemban cita-cita Soekarno, perolehan suara mereka di pemilu terpaut jauh di bawah PDIP.
Partai Islam yang eksis di Jateng adalah PKB dan PKS. Kedua partai ini meskipun memiliki pemilih yang tersebar namun loyalitas pemilihnya sudah teruji. Sejak Pemilu 2004 kedua partai ini selalu eksis sebagai lima besar dalam perolehan kursi di DPRD Provinsi.
Konfigurasi politik di Jawa Timur agak berbeda dari kedua provinsi sebelumnya, di mana warna Islam tradisional yang menjadi salah satu akar budaya masyarakat Jatim sangat berperan dalam membentuk watak politik masyarakat di sini. Pengaruh Nahdlatul Ulama (NU) yang sudah mengakar sejak lama membuat preferensi politik kebanyakan warga Jatim mengikuti sinyal yang diberikan oleh para ulama yang menjadi pimpinan ormas Islam terbesar ini.
Artinya, NU memainkan peran vital dalam membentuk preferensi politik warganya. PKB sebagai partai yang kelahirannya turut dibidani oleh NU sudah tentu akan mendapat berkah dari para kiai yang afiliasi politiknya ke PKB. Pada Pemilu 2004 PKB mendominasi perolehan suara di Jatim. Namun, pada 2009 PKB menempati peringkat ketiga di bawah Demokrat dan PDIP.
Warna Islam tradisional yang menjadi salah satu akar budaya masyarakat Jatim sangat berperan dalam membentuk watak politik.
Pamor PKB kembali bangkit pada 2014 bahkan mengungguli partai kawakan PDIP. PKB merupakan satu-satunya partai Islam yang mampu mempertahankan eksistensinya sebagai pemenang lima besar dari Pemilu 2004 sampai 2014. PKS, PAN, dan PPP berada pada peringkat di bawah lima besar. Partai nasionalis selain PDIP dan Demokrat yang tetap eksis sebagai pemenang lima besar adalah Golkar dan Gerindra.
Menghadapi Pilkada
Peta politik di tiap-tiap provinsi tersebut bukan menjadi indikasi peluang untuk memenangkan pemilihan gubernur berdasarkan tingkat penguasaan suara parpol. Peta politik tersebut menggambarkan pola-pola yang akan digunakan oleh partai politik untuk mengusung calon gubernur dan pasangannya dengan mendasari pada perolehan suara dalam pemilu atau kursi di DPRD.
Sesuai dengan ketentuan UU Pilkada, parpol yang bisa menggenapi 20 persen perolehan suara atau kursi di DPRD boleh mengusung calon kepala daerahnya sendiri. Namun, parpol yang perolehan suaranya tidak mencapai kuota minimal dari yang ditentukan, harus berkoalisi dengan partai lain agar bisa mengusung kepala daerah.
Pola yang akan digunakan partai politik mengusung calon gubernur mendasari pada perolehan suara pemilu atau kursi di DPRD.
Hasil Pemilu DPRD 2014 menunjukkan bahwa PDIP merupakan partai yang paling aman untuk mengusung pasangan calon gubernur dan wakilnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah karena perolehan kursi DPRD-nya mencapai pada titik kuota yang ditentukan oleh UU.
Sementara PKB hanya aman di Jawa Timur dengan perolehan kursi DPRD sebesar 20 persen. Peluang partai-partai lain untuk memajukan calon sendiri agak terhambat sehingga memuluskan jalannya pencalonan, partai-partai ini harus berkoalisi.
PDIP kelihatannya akan berkoalisi dengan partai-partai yang memiliki kesamaan platform untuk mengusung calon, terutama di Jabar dan Jatim, yang selama ini bukan menjadi basis pendukung fanatiknya. Dari dua Pilgub Jabar yang lalu, PDIP selalu tampil sendiri namun kedua-duanya gagal. Kini, PDIP sudah mulai membangun koalisi dengan Golkar untuk memenangkan Pilkada 2018 di Jabar.
PDIP belum memiliki figur yang kuat untuk ditandingkan dengan figure-figur yang sudah beken di Jabar selama ini, antara lain Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, dan Wagub Jabar Deddy Mizwar. Meski demikian, PDIP senantiasa mempromosikan kader-kader potensialnya di Jabar agar layak menjadi calon orang nomor satu di bumi Pasundan pada 2018.
Partai pemenang Pemilu di Jabar ini tampaknya tidak mau kehilangan peluang untuk menang di Pilgub Jabar, apalagi setelah jagoan mereka kalah dalam Pilkada Jakarta pada 2017. Kerjasama dengan Golkar akan menjadi langkah awal partai ini untuk memupuk kemenangan di Jabar.
Sementara, partai pengusung pemerintah yang lain, yaitu Nasdem sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan diri pencalonan Ridwan Kamil sebagai Cagub Jabar 2018. Partai Hanura belum memperlihatkan sikapnya secara jelas.
Golkar, meskipun perolehan kursinya kalah dibanding PDIP, partai ini memiliki kader yang potensial, yaitu Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Melalui gaya kepemimpinannya yang merakyat Dedi mampu mendapatkan perhatian dari sebagian besar masyarakat Jawa Barat sebagai pemimpin yang peduli dengan rakyatnya. Pencitraan ini membuat pamor Dedi kian hari kian kuat. Dengan pamor ini Golkar yakin kader mereka memiliki potensi yang cukup besar untuk memenangkan Pilkada Jabar tahun depan.
Dari kalangan oposisi mulai terbentuk beberapa kelompok dengan jagoan yang akan mereka usung nanti. Gerindra dan PKS tampaknya ingin mengulangi kerjasama yang mereka bangun ketika Pilgub Jakarta, yang sukses menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI yang sosoknya sempat tidak tertandingi popularitasnya dan tingkat elektabilitasnya.
Di Pilkada Jabar kedua partai ini sepakat mengusung Wagub Jabar Deddy Mizwar yang dipasang dengan Ketua Gerindra Jabar Achmad Sjaichu. PAN masih menjagokan Wali Kota Bogor Bima Arya dan anggota DPR Desy Ratnasari, PPP pun masih menggadang-gadang figur unggulannya, Uu’ Ruhzanul Ulum Bupati Tasikmalaya.
Pilgub Jateng masih dibayang-bayangi oleh keperkasaan PDIP yang menjadi partai favorit pilihan masyarakat provinsi ini. Meskipun terkesan lamban dalam merespons manuver partai-partai lain dalam meramaikan bursa cagub, PDIP mampu menunjuk salah satu kader yang bisa menaklukkan ambisi lawan-lawan politiknya. Keampuhan PDIP dalam meramu kader yang akan dipilih untuk dicalonkan sebagai gubernur sudah teruji dalam dua pilkada sebelumnya.
Pada Pilgub 2008 dan 2013 PDIP menghadapi serangan dari sejumlah parpol melalui kader dan tokoh yang diusung. Saat itu PDIP mengeluarkan nama cagub dan cawagubnya belakangan tatkala kandidat dari partai lain sudah lebih dahulu berkampanye dan mempromosikan program-program mereka.
Meski demikian, melalui mesin politik yang digerakkan melalui pengurus di tingkat lokal, popularitas cagub PDIP melesat tajam dalam waktu yang relatif singkat dan berhasil memenangi pilgub.
Saat ini, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sudah mendaftarkan diri melalui PDIP untuk maju kembali dalam Pilgub 2018. Selain Ganjar, sejumlah kader PDIP Jateng baik yangsaat ini menjabat bupati atau kader partai juga sudah menyatakan diri siap untuk mencalonkan diri melalui PDIP.
Baik Ganjar maupun kader lainnya kini harus siap menghadapi pesaing-pesaing mereka, terutama PKB yang sudah sangat gencar mempromosikan kadernya Marwan Jafar yang pernah menjadi menteri pada Kabinet Jokowi. Harus diingat PKB Jateng merupakan partai yang memiliki pemilih tradisional yang militan seperti pemilih PDIP.
Di Jatim justru PKB dikenal sebagai partai pilihan mayoritas pemilih provinsi ini. Pada Pemilu 2004 dan 2014 partai ini berhasil menjadi pemenang pemilu karena mampu meraup dukungan sebagian besar suara para ulama dan para pengikutnya di Jatim. Kepiawaian para kiai ini mampu menggiring suara pemilih sehingga bisa berpaling dari PDIP yang saat itu pamornya sedang meningkat melalui pamor capres Joko Widodo. PDIP di Jatim hanya mampu menempati peringkat kedua.
Sayangnya, soliditas suara para ulama di Jatim gampang terpecah ketika harus memilih figur calon kepala daerah, terutama yang diusung oleh PKB. Hal ini dibuktikan dengan kekalahan calon yang diusung oleh PKB dalam Pilgub Jatim 2008 dan 2013.
Di Pilkada 2008 PKB lebih memilih Achmady-Suhartono sebagai cagub ketimbang kader NU yaitu Khofifah Indar Parawansa yang juga adalah Ketua Muslimat NU. Meski kalah pada putaran kedua, Khofifah yang saat itu diusung oleh PPP dan partai non-parlemen terbukti memiliki dukungan yang luas dari pemilih NU.
Pada Pilgub 2013 PKB kembali mencalonkan Khofifah yang ikut direstui oleh para kiai di Jatim. Sayangnya, PKB justru kalah dalam menghadapi pasangan petahana, Soekarwo dan Syaifullah Yusuf. Pilkada 2018 nanti, PKB sudah mulai memanaskan mesin politiknya sembari mendekati para kiai dan tokoh-tokoh Islam untuk merestui calon yang akan diusungnya kelak.
Karena itulah PKB berharap agar Ketua Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa tidak perlu mencalonkan diri sebagai cagub karena berpotensi memecah suara NU.
Mesin politik PKB akan bergerak lebih efektif karena para pendukung tradisional partai ini sangat identik dengan jamaah nahdliyin Jatim, pengikut NU terbesar di Indonesia. Jika Khofifah jadi mencalonkan diri suara NU dipastikan pecah dan berdampak langsung kepada kekuatan dukungan untuk calon dari PKB.
Partai-partai lain yang sekarang belum bersuara untuk mengajukan calon, bisa saja berubah sikap dan mengajukan calon sendiri dengan harapan, pecahnya suara NU bisa memberi peluang kemenangan kepada mereka.
Artinya, PDIP akan mengusung kadernya yaitu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai cagub dan berpeluang mencuri kemenangan dari pecahnya suara NU. Hal yang sama bisa juga dilakukan oleh PAN dan Demokrat, serta PKS dan Gerindra.
Terlepas dari karakter politik dan pengalaman partai politik selama dua pilkada sebelumnya, pertarungan Pilkada 2018 di tiga provinsi ini merupakan etalase untuk unjuk kekuatan politik dari masing-masing parpol dalam rangka menghadapi Pemilu 2019. Beberapa parpol sudah mengadakan kontrak koalisi “permanen” mengikuti pola koalisi Pemilu 2014, yang diikuti dengan pola koalisi Pigub Jakarta 2017.
Sebut saja Gerindra dan PKS yang sudah mantap dengan pilihan mereka untuk memenangkan Deddy Mizwar – Achamd Syaichu sebagai orang nomor satu di Jabar. Begitu juga dengan PDIP dan Golkar yang siap berkoalisi untuk memenangkan Pilgub dan Pilkada Jabar secara umum. Di Jateng dan Jatim pola koalisi serupa masih dalam penjajakan lantaran karakter politiknya berbeda. Hal ini ditandai dengan tingkat fanatisme pemilih kepada partai tertentu yang merefleksikan garis ideologi mereka.
(SULTANI/LITBANG KOMPAS)