Membaca Arah Keberpihakan Negara soal Rokok
Upaya pembatasan tembakau terus mendapat perlawanan dari industri rokok. Polemik Rancangan Undang-Undang Pertembakauan menjadi ujian bagi negara untuk menunjukkan keberpihakannya. Politik legislasi menjadi ruang pertarungan antara industri rokok dan gerakan antirokok.
Isu terkait rokok saat ini tidak hanya ditarik pada urusan kesehatan semata. Berbagai penelitian menunjukkan relasi antara industri rokok dengan masalah sosial dan ekonomi. Mayoritas negara yang populasi perokoknya tinggi rata-rata adalah negara miskin dan negara berkembang.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir 80 persen dari 1 miliar perokok di dunia berasal dari negara-negara yang pendapatannya rendah atau menengah. Menurut WHO, beban yang ditanggung negara terkait penyakit dan kematian akibat rokok menjadi masalah paling berat untuk negara-negara tersebut. Perokok yang mati pada usia produktif meningkatkan beban ekonomi keluarga yang ditinggalkan, penghasilan keluarga pun terhambat.
Lebih jauh, beban biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah meningkat dan berpotensi menghambat pembangunan perekonomian negara. Berdasarkan data WHO, jumlah kematian akibat rokok sekitar 7 juta orang per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 6 juta kematian adalah dampak langsung dari rokok, sementara sekitar 890.000 korban adalah perokok pasif.
Indonesia menduduki peringkat keempat negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Data yang dilansir laman tobacoatlas.org menyebut konsumsi rokok orang Indonesia sebanyak 239,15 miliar batang per tahun.
Jika diasumsikan harga rata-rata per batang rokok Rp 500, tak kurang dari Rp 119,6 triliun dibakar per tahun. Jumlah rupiah yang sangat fantastis jika digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sekadar memberi gambaran, uang negara yang dialokasikan untuk subsidi listrik tahun ini nilainya ”hanya” Rp 52 triliun. Atau, alokasi subsidi pupuk tahun 2017 nilainya Rp 32 triliun.
Masyarakat perdesaan lebih banyak merokok dibandingkan masyarakat perkotaan. Uang yang dihabiskan untuk membeli rokok lebih banyak dikeluarkan oleh masyarakat perdesaan. Padahal, angka kemiskinan masyarakat desa lebih tinggi. Kelompok masyarakat perdesan pula yang berpotensi paling besar menerima jatah subsidi negara.
Sebanyak 25 persen dari masyarakat perdesaan adalah perokok, sedangkan masyarakat perkotaan yang merokok tercatat 22,6 persen. Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 mencatat, konsumsi rokok rata-rata penduduk perkotaan usia di atas 15 tahun sebanyak 76 batang per minggu per orang, sedangkan bagi masyarakat perdesaan rata-rata 80 batang per minggu per orang.
Jadi, untuk membeli rokok, masyarakat perkotaan menghabiskan uang Rp 1,8 juta per tahun. Sementara masyarakat perdesaan mengalokasikan Rp 1,9 juta per tahun.
Yang lebih memprihatinkan, masyarakat lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli rokok ketimbang membeli pangan. Meski selisihnya cukup tipis, hasil Susenas mencatat alokasi pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia untuk belanja rokok lebih tinggi ketimbang belanja beras. Alokasi belanja rokok tercatat Rp 64.769 (6,79 persen) per kapita sebulan, sementara alokasi belanja beras per kapita per bulan Rp 64.759 (6,79 persen).
Pengeluaran konsumsi rokok masyarakat Indonesia jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Jika melihat perbandingan alokasi pengeluaran rumah tangga, tampak kecenderungan masyarakat Indonesia lebih memprioritaskan konsumsi rokok ketimbang pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Pengeluaran untuk rokok jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan pakaian. Melihat fakta ini, rokok boleh dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat peningkatan kualitas hidup masyarakat di negeri ini. Filipina dan Vietnam, yang proporsi populasi perokoknya juga cukup tinggi tetapi alokasi pengeluaran rokok per kapitanya tidak terlau signifikan dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan dasar lainnya.
Keberpihakan negara
Keberpihakan negara kerap dipertanyakan dalam menentukan kebijakan terkait pengendalian tembakau dan produk tembakau. Sebagai komoditas ekonomi yang selama ini memberi pemasukan cukup tinggi bagi negara, tarikan kuat dan kontroversi tak pernah lepas dalam setiap proses pembuatan kebijakan pengendalian tembakau. Argumen ekonomi selalu menjadi landasan untuk memberi ruang lebih pada industri rokok.
Hingga saat ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang masih memberi izin iklan rokok di media. Negara ASEAN lain sudah menerapkan kebijakan anti-iklan rokok di media. Lebih jauh, negara lain, seperti Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam, sudah ketat memberlakukan larangan memasang iklan (poster, pamflet, dan lain-lain) di tempat penjualan rokok.
Di Indonesia, pelaku industri rokok terus memperjuangkan upaya untuk mementahkan substansi pengendalian tembakau. Politik legislasi menjadi ruang pertarungan antara industri rokok dan penggerak antirokok. Kontroversi RUU Pertembakauan yang menobatkan rokok kretek sebagai warisan budaya nasional masih terus berlanjut.
Mengutip Emil Salim (Kompas, 29/6/2017), jika klausul dalam RUU tersebut lolos, rokok kretek dan tembakau sebagai bahan bakunya akan diperlakukan secara khusus. Jika demikian, rokok kretek akan diperlakukan secara khusus dalam UU tersendiri. Kelompok gerakan antirokok jelas menuntut RUU pertembakauan digugurkan.
RUU pertembakauan dirancang dan diarahkan menjadi UU lintas sektoral. Artinya, jika nanti RUU ini disahkan, aturan-aturan dalam UU sektoral lain harus menyesuaikan RUU Pertembakauan. Padahal, sejauh ini sudah ada sedikitnya 14 UU yang mengatur komoditas tembakau dan peredarannya.
Sejumlah polemik terkait substansi dalam RUU Pertembakauan antara lain soal definisi rokok (Pasal 3) yang tidak menyebutkan rokok sebagai produk tembakau yang mengandung zat adiktif. Padahal, dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan dengan tegas bahwa rokok adalah zat adiktif. Karena itu, produksi dan distribusi serta promosi produk tembakau harus diawasi secara ketat.
Polemik lainnya adalah soal pengelolaan industri rokok. Disebutkan dalam RUU ini bahwa pengelolaan pertembakauan antara lain bertujuan meningkatkan produksi tembakau dan mengembangkan industri pertembakauan nasional (Pasal 3). Aturan ini membuka celah pemerintah akan dipaksa dan memiliki kewajiban untuk menggunakan sumber dayanya, termasuk APBN, untuk memfasilitasi industri rokok.
Klausul yang tidak mengatur peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok juga menuai protes. Pasal 26 RUU ini hanya menyebutkan bahwa setiap kemasan produk tembakau wajib mencantumkan label mengenai kadar kandungan tar dan nikotin, peringatan kesehatan, serta kode produksi. Hal ini dianggap bisa menghilangkan kewajiban untuk memasang peringatan bergambar di bungkus rokok, cukup dengan peringatan tertulis.
Hal lain yang diprotes adalah upaya untuk membebankan tanggung jawab jaminan kesehatan akibat rokok kepada pemerintah. Pasal 45 RUU ini menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi tersedianya layanan kesehatan untuk diagnosa, konseling, pencegahan, dan perawatan dalam rangka rehabilitasi bagi penderita ketergantungan terhadap konsumsi produk tembakau.
Begitulah, sikap akhir pemerintah dalam proses perancangan RUU Pertembakauan akan menjadi tolok ukur komitmen negara dalam mengatur pembatasan tembakau. Keputusan disahkan atau digugurkannya RUU ini dapat mencerminkan arah keberpihakan negara terhadap peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, atau pro-industri rokok. (Suwardiman/Litbang Kompas)