Tak Ada Batang, Akar Pun Jadi
Harum wangi pedas kayu manis segera tercium saat kaki melangkah memasuki gudang milik CV Kerinci Sari Putra di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.
Dua pekerja bahu-membahu memasukkan batang-batang kayu manis ke dalam karung berukuran 20 kilogram. Setelah penuh, mereka mengikatnya erat-erat dan meletakkannya bersama dengan puluhan karung lain yang berisi kayu manis. ”Akan dibawa ke Padang,” ujar salah seorang dari mereka.
Padang, atau tepatnya Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang, Sumatera Barat, menjadi salah satu lokasi pengiriman kayu manis yang dihasilkan di Kabupaten Kerinci. Dari pelabuhan itu, kayu manis dalam bentuk stick dan broken dikirim ke pasar dalam negeri atau diekspor ke Amerika, Eropa, dan Australia. Petani yang sekaligus pedagang pengumpul dan eksportir kayu manis umumnya memiliki gudang-gudang penyimpanan di Padang.
Sebelum dibawa ke Padang, kayu manis atau disebut juga kulit manis dijemur di bawah terik matahari lebih kurang satu minggu. Setelah kering, lalu disortir. Hasil penyortiran dikelompokkan menjadi tiga: dahan, ranting, dan kulit batang. Kayu manis yang dihasilkan Kerinci dikenal dengan nama ”kayu manis Koerintji”.
Kategori kayu manis
”Kayu manis dari Kerinci dibedakan jadi grade KM, KF, KS, dan KA,” ucap Arsad, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Jambi. ”Kalau yang jenis stick (ranting), grade-nya VAA, VA, dan cutting,” lanjutnya. ”Saat ini sedang diupayakan membuatnya dalam bentuk bubuk. Pasar mulai minta bubuk kayu manis,” ujarnya.
Mengutip data buku Persyaratan Indikasi Geografis Kayumanis Koerintji Jambi yang dibuat Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kayumanis Koerintji, produk kulit kayu manis kering merupakan produk yang dihasilkan petani untuk dijual kepada pedagang. Petani membedakan beragam produk kayu manis sesuai dengan umur kayu manis itu. Semakin tinggi umur kayu manis, semakin mahal harganya. Kulit kayu manis yang baik berwarna coklat kemerahan, dengan rasa manis dan pedas serta bersih.
Jika kulit batang kayu manis kerap dipasarkan ke luar negeri, stick kayu manis kerap dijumpai di pasar-pasar tradisional dalam negeri. Di sana ia dikelompokkan dekat rempah-rempah lain, seperti merica, ketumbar, bunga cengkeh, dan lada. Stick kayu manis diambil dari ranting pohon kayu manis dan mengalami proses produksi yang sama dengan kulit kayu manis. Umumnya dimanfaatkan sebagai ”pengaduk”.
Sama seperti kulit batang, stick kayu manis juga punya tingkatan. Tingkat tertinggi grade VAA. Kelompok ini memiliki gulungan ganda yang menggulung dari kedua tepi. Jenis ini biasanya mejeng di kafe atau restoran besar. Jenis lain, grade VA, memiliki gulungan tunggal. Hanya salah satu tepi yang menggulung ke dalam. Tingkat terendah grade cutting, merupakan potongan yang diperoleh dari stick grade VAA dan VA dengan ukuran yang bervariasi.
Rantai pemasaran
Dalam perdagangan, beragam jenis dan kualitas kayu manis terserap pasar. Bahkan, untuk yang reject (sisa potong) pun ada pembelinya, misalnya Malaysia yang menggunakannya untuk bahan kosmetik. Pabrik jamu dalam negeri pun memanfaatkannya. Di dalam negeri, jenis kayu manis seperti itu 1 kilogram dihargai Rp 40.000.
Damhuri, petani sekaligus pedagang pengumpul dan eskportir kayu manis, menuturkan, pada era 1960 hingga 1980-an, kayu manis Koerintji menjadi komoditas andalan dengan harga yang masih tinggi. Keuntungan usaha tani kayu manis lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biaya sekolah anak, pembelian kendaraan bermotor, pembangunan rumah, hingga biaya untuk berangkat haji dipenuhi dari penjualan kayu manis.
Seluruh ladang di Kabupaten Kerinci ditanami kayu manis. Kayu manis terbaik berasal dari Kecamatan Gunung Raya, Kecamatan Batang Merangin, dan Kecamatan Bukit Karman. ”Bukan cuma di lereng-lereng Gunung Kerinci, pohon-pohon kayu manis tumbuh di pekarangan, di pinggir-pinggir jalan,” ujar Musnardi Moenir. ”Hampir setiap penduduk di sini punya tanaman itu,” lanjutnya.
Cerita berbeda terjadi pada 1990-2007. Kala itu harga kayu manis turun drastis. Per kilogram hanya dihargai Rp 2.000-Rp 2.500. Akibatnya, banyak petani yang tidak lagi melirik kayu manis. Tidak jarang mereka menelantarkannya, bahkan menggantinya dengan tanaman semusim, seperti kopi, cabai, kentang, tomat, dan bawang, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Rendahnya harga di tingkat petani disebabkan rendahnya produk kayu manis yang dihasilkan. Rendahnya produk yang dihasilkan karena rendahnya kandungan minyak atsiri. Pangkal sebabnya adalah kesalahan dalam pemrosesan di tingkat petani dan pedagang sehingga kadar airnya tinggi dan banyak campuran benda asing. Penurunan mutu produk di tangan petani akibat penanganan pascapanen yang masih sangat sederhana, pemanenan sebelum waktunya, peralatan panen yang tidak steril, serta cara pengeringan yang asal-asalan.
”Saya tidak tahu sebenarnya berapa harga kayu manis di konsumen akhir,” kata Pak Nopi (52) yang menjual kayu manisnya ke Padang. ”Tahun ini, jenis KF dihargai Rp 33.000 per kilogram, yang grade KA Rp 24.000 per kilogram,” ucapnya. Kayu manis yang dia kirim ke Padang dikemas dalam karung dengan berat masing-masing 60 kg. Pasar kayu manis memang tidak transparan.
Informasi pasar yang tidak sempurna serta rantai pemasaran kayu manis di tingkat lokal dan internasional yang terlalu panjang mengakibatkan harga sangat ditentukan pedagang, sedangkan petani hanya sebagai penerima harga. Perbedaan kemakmuran antara petani dan pedagang jelas terlihat. Rumah-rumah petani tampil bersahaja, berbanding terbalik dengan pedagang yang rumahnya magrong-magrong (besar-besar).
Dari zaman penjajahan hingga saat ini hampir tak ada petani yang menjual kayu manis langsung kepada konsumen. Dari lokasi pengambilannya di ladang-ladang di sekitar Gunung Kerinci, kayu manis berpindah tangan berkali-kali. Hampir 70 persen hasil kayu manis dijual petani kepada pedagang atau pengumpul tingkat desa.
Sekitar 25 persen petani menjualnya kepada pedagang di kecamatan atau kabupaten. Hanya sedikit, sekitar 5 persen, petani yang menjual langsung kepada pedagang eksportir di Padang. Nah, pedagang pengumpul desa sebagian besar, sekitar 75 persen, menjualnya lagi kepada pedagang pengepul di kecamatan atau kabupaten.
Pola pemasaran kayu manis hingga saat ini masih sangat tradisional. Pemasarannya berjenjang: petani-pedagang pengumpul-pedagang besar-eksportir. Cara pemasaran seperti itu mengakibatkan harga kayu manis cenderung rendah. Selain pemasaran yang berjenjang, kesulitan lain adalah harga bergantung atau ditentukan oleh tengkulak.
Belum ada koordinasi dan kerja sama antarpetani, padahal jumlah petani banyak dan tersebar di berbagai wilayah. Belum ada rantai distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri atau lembaga yang menampung atau membantu memasarkan kayu manis petani dengan harga yang wajar.
Di Desa Siulak Kecil, Kecamatan Siulak, misalnya, terdapat 505 petani yang menggarap ladang tanaman kayu manis. Rata-rata setiap petani mengusahakan sekitar 2,9 hektar ladang yang minimal ditanami seribu batang. Setiap batang umurnya tidak sama. Para petani kayu manis di desa ini sangat bergantung kepada pedagang pengumpul, terutama petani yang mengandalkan hasil penjualan kayu manisnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pedagang pengumpul setiap hari melayani penjualan kayu manis apa pun kualitasnya. Kayu manis yang berasal dari ranting atau batang pohon yang belum dewasa pun tetap laku dijual. Oleh sebab itu, kayu manis yang dijual kepada pedagang desa umumnya kualitas rendah. Pedagang pengumpul di desa memberikan uang tunai yang dapat digunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
Sebenarnya, pedagang pengumpul yang beroperasi di desa-desa juga seorang petani kayu manis yang tinggal di desa itu. Modal usaha pedagang pengumpul bervariasi, berkisar Rp 1 juta hingga Rp 10 juta. Sebagian modal juga diperoleh pedagang pengumpul dari pedagang di kota, tetapi ada juga yang meminjam dari bank.
Sering kali, pedagang pengumpul di desa bertindak sebagai tengkulak: membeli hasil kayu manis lebih dulu sebelum dipanen karena petani memerlukan uang mendesak. Kayu manis yang ditampung bervariasi kualitasnya, mulai dari dahan kayu manis sampai kayu manis yang berumur di atas 15 tahun.
Ketergantungan petani kayu manis kepada pedagang desa membuat harga kayu manis di tingkat desa ditentukan pedagang desa. Patokan harga beli di tingkat petani diambilkan berdasarkan perkembangan harga pasar di Padang dengan melakukan penyesuaian dan besarnya keuntungan yang ingin diperoleh.
Namun, tidak selamanya pedagang pengumpul untung. Terkadang menderita kerugian, terutama jika terjadi perubahan harga dan kesalahan menaksir kadar air yang terkandung di dalam kayu manis. Ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul mencerminkan tidak ada kontribusi koperasi unit desa (KUD) ataupun lembaga formal lainnya dalam membantu pendapatan petani.
Selain panjangnya rantai pemasaran, penguasaan ladang kulit manis bagi petani Kerinci tidak identik dengan penguasaan lahan tempat tanaman tumbuh, tetapi penguasaan atas tanaman yang tumbuh di atasnya. Beragam cara dilakukan pengusaha kayu manis di Kabupaten Kerinci untuk memiliki lahan kayu manis. Ladang milik sendiri umumnya diperoleh dari membeli, warisan, atau membuka hutan. Bisa juga hasil menyewa dari petani pemilik lahan.
Bagi penyewa lahan, diatur bagi hasil 50 persen untuk penggarap dan 50 persen untuk pemilik ladang. Bagi hasil itu bisa juga diberikan sebelum ladang kayu manis menghasilkan, dan penyewa ladang dapat membayar uang sewa di muka sebelum ladang digarap.
Seberapa sering atau seberapa luas jual beli lahan kayu manis sulit diperoleh karena tidak ada catatan tertulis. Pemerintah desa tidak mengontrol jual beli ladang kayu manis yang terjadi di desanya sehingga pemindahtanganan lahan tidak tercatat dalam buku administrasi desa.
Aturan ekspor
Dalam perdagangan, kayu manis Indonesia dikenal dalam bentuk gulungan dan pecahan (broken). Kayu manis dalam bentuk gulungan diproses terlebih dahulu dengan pengikisan untuk menghilangkan kulit luar, kemudian dibersihkan dan dikeringkan hingga berbentuk gulungan tunggal atau ganda.
Adapun kayu manis bentuk broken diproses dengan cara pengikisan untuk menghilangkan kulit luar, setelah itu dibersihkan. Jika sudah kering, dihancurkan sehingga berbentuk kepingan. Berdasarkan keputusan sidang internasional ISO TC 34/SC 7 yang ke-18 pada November 1992 di Jakarta, ditetapkan nama dagang untuk kayu manis Indonesia yang berasal dari kulit tanaman Cinnamomum burmannii BL.
Jika sebelumnya disebut batavia cassia, java cassia, padang cassia, korintji cassia, dan cassia vera, diganti dengan nama ”cassia Indonesia”. Produknya terdiri dari kulit batang, kulit dahan, dan kulit ranting yang telah diolah lebih lanjut sesuai dengan standar. Untuk menjamin mutu kayu manis Indonesia, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri telah merevisi standar cassia Indonesia melalui ketetapan tanggal 11 Desember 1989, berlaku pada 2 Januari 1991.
Penggolongan ini berdasarkan bentuk penyajian dan kandungan minyak atsirinya. Jenis mutu kayu manis Indonesia terdiri dari:
- Indonesia Cassia AA Stick
- Indonesia Cassia AA Cut and Washed
- Indonesia Cassia AA Cut Unwashed
- Indonesia Cassia AA Cuttings
- Indonesia Cassia A Stick
- Indonesia Cassia A Cut Unwashed
- Indonesia Cassia A Brokens
- Indonesia Cassia B Sticks
- Indonesia Cassa B Brokens
- Indonesia Cassia C Brokens
Setiap jenis mutu dapat diidentifikasikan lebih lanjut dan disebutkan daerah asalnya, misalnya Indonesia Cassia A (Korintji A). Harum dan mutu kayu manis dari Indonesia bisa menjadi daya tarik dalam perdagangan tingkat dunia. Sayangnya, tetesan keharuman itu tidak serta-merta dirasakan petani di desa-desa di sekitar Gunung Kerinci. Nasib mereka ditentukan oleh para pedagang pengumpul dan eksportir. Merekalah yang ”berkuasa” menentukan harga. (LITBANG KOMPAS)