Menormalkan Prestasi Olahraga Indonesia
Menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar, tetapi capaian prestasi olahraganya dalam arus keterpurukan, tentu menjadi beban bagi bangsa ini. Tiada cara lain, pembenahan total harus diwujudkan. Diperlukan langkah taktis dalam menentukan prioritas cabang-cabang olahraga yang patut dibenahi.
Dengan menggunakan asumsi normalitas, jumlah penduduk yang besar dengan sendirinya melahirkan jumlah individu-individu berprestasi yang juga besar. Dalam acuan tersebut, dari jumlah penduduk Indonesia yang kini sekurangnya mencapai 250 juta, dijumpai sekitar 250.000 individu (0,1 persen) yang karakteristiknya dapat tergolong outlier, jauh di atas rata-rata penduduk. Suatu jumlah yang sangat besar hingga mampu membawa bangsa ini bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya.
Tidak terkecuali dalam persaingan olahraga. Indonesia dalam acuan distribusi normal, dengan posisi menjadi negara yang paling banyak penduduknya, dengan sendirinya paling banyak pula memiliki jumlah olahragawan berprestasi jauh di atas rata-rata. Artinya, dalam tiap-tiap ajang pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games), Indonesia dipastikan menjadi pemenang.
Paling tidak, sekalipun peran tiap-tiap negara yang berposisi sebagai tuan rumah penyelenggaraan SEA Games amat menentukan, serendahnya posisi pemenang kedua diraih.
Akan tetapi, mencermati Indonesia seturut asumsi normalitas, yang didapati kini justru anomali. Terbesar dalam jumlah penduduk tampaknya tidak berarti terbesar dalam jumlah individu berprestasi. Fakta semacam ini pula yang terindikasi dalam kompetisi olahraga SEA Games. Seperti yang diprediksikan sebelumnya (lihat ”Jejak Pudar Prestasi Olahraga Indonesia”), hasil akhir SEA Games 2017 di Malaysia berbuah pahit.
Capaian prestasi Indonesia kali ini justru semakin menggenapkan arus keterpurukan prestasi bangsa Indonesia dalam berkompetisi olahraga.
Kebanggaan apa yang kini masih tersisa? Apabila ditelusuri, kondisi penurunan prestasi Indonesia sudah sangat kronis. Semenjak pertengahan era 1990-an, dominasi Indonesia pudar. Di luar posisi sebagai tuan rumah penyelenggaraan, tren penurunan perolehan medali berlangsung konsisten.
Pada SEA Games 2017 kali ini nyaris tidak ada kejutan yang mengindikasikan titik balik kebangkitan dari jurang keterpurukan. Bahkan, yang tampak semakin parah. Ajang kali ini justru menjadi titik terendah capaian prestasi olahraga selama ini.
Bagaimana tidak, klasemen akhir perolehan medali menempatkan Indonesia pada peringkat ke-5, tidak beranjak dari posisi SEA Games sebelumnya (2015). Namun, dari segi jumlah medali dan proporsi penguasaan medalinya, inilah capaian terburuk sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia dalam SEA Games. Dengan perolehan 38 medali emas, artinya bangsa ini hanya menguasai 9,4 persen dari total medali emas yang diperebutkan.
Jumlah dan proporsi penguasaan medali emas tersebut menjadi yang terkecil sepanjang masa. Di luar posisinya sebagai tuan rumah, capaian terbesar Indonesia, terutama sebelum era 1997, minimal di atas 20 persen dari total medali emas yang diperebutkan. Dengan capaian saat ini, artinya penurunan prestasi lebih dari separuh dibandingkan dengan masa sebelum 1997.
Jika dielaborasi lebih dalam, pola penurunan prestasi terjadi hampir pada semua cabang olahraga. Di satu sisi, bagi cabang olahraga yang dipertandingkan secara beregu, prestasinya tidak menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Bola voli, basket, dan sepak bola, misalnya, tidak juga mampu meraih emas.
Sementara di sisi lain, pada cabang-cabang olahraga dengan nomor individual, seperti atletik, pencak silat, renang, balap sepeda, dan bulu tangkis, dari waktu ke waktu justru cenderung menunjukkan penurunan prestasi. Di tengah laju penurunan, Indonesia sejauh ini hanya bergantung pada cabang-cabang olahraga seperti wushu, angkat berat, dan panahan.
Berangkat dari situasi keterpurukan tersebut, tampaknya tidak ada pilihan lain selain perombakan radikal yang diperlukan. Mencermati berbagai wacana yang hadir pada momen penutupan momen SEA Games 2017 lalu, tidak kurang Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan segenap kalangan masyarakat menyesalkan capaian prestasi Indonesia.
Presiden dalam pelepasan kontingen SEA Games bahkan sempat menargetkan posisi pertama, yang sebenarnya bukan persoalan yang mustahil dicapai jika becermin pada historis capaian olahraga Indonesia pada ajang yang sama. Dengan capaian prestasi saat ini, terlihat benar jauh panggang dari api.
Berbagai usulan perbaikan dimunculkan. Pembenahan total dalam pusat pelatihan nasional, misalnya, mengemuka. Mulai dari persoalan anggaran, ketersediaan sarana dan prasarana pelatihan, sistem pembinaan, kepemimpinan, dan komitmen menjadi persoalan-persoalan yang butuh perombakan. Semua merujuk pada persoalan klasik yang tidak mungkin, apabila dibereskan, dalam sekejap langsung pula menghasilkan buah prestasi yang diimpikan.
Sebenarnya yang menjadi pertanyaan kunci adalah seberapa konsisten bangsa ini mampu mengatasi persoalan tersebut? Sebagai gambaran, belum juga lebih dari dari satu minggu seusai penyelenggaraan SEA Games 2017, gugatan terhadap capaian prestasi Indonesia meredup.
Arus wacana persoalan keterpurukan cepat tergantikan tatkala ucapan penyesalan dan tekad memperbarui keolahragaan pada masa mendatang diungkapkan. Padahal, persoalan tetap menjadi seonggok persoalan. Sejauh ini, apakah langkah strategis dalam mengatasi persoalan keterpurukan olahraga Indonesia berhasil dihimpun dan digeluti secara konsisten perwujudannya, masih menjadi tanda tanya besar.
Dalam situasi semacam ini, ajang Asian Games 2018 semakin dekat, yang mempertaruhkan tidak hanya keberhasilan sebagai tuan rumah penyelenggaraan, tetapi juga capaian prestasi negara di kawasan Asia berpenduduk ketiga terbesar.
Harus diakui, faktor tuan rumah penyelenggaraan turut menjadi penentu keberhasilan menjadi juara umum. Dalam ajang SEA Games, misalnya, sejak keikutsertaan Indonesia (SEA Games 1977) hingga kini sudah empat kali menjadi tuan rumah.
Sebagai tuan rumah, Indonesia selalu menjadi juara umum. Begitu pun negara Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang juga memanfaatkan keuntungan posisi tuan rumah dengan menjadi pemenang SEA Games.
Akan tetapi, dalam ajang Asian Games kondisi menjadi berbeda. Posisi sebagai tuan rumah tidak memberikan jaminan sebagai pemenang, terlebih jika tidak dibangun oleh kekuatan berprestasi para atletnya. Paling tidak, bagi semua negara-negara kawasan Asia Tenggara, belum ada yang membuktikan keberhasilan dalam ajang Asian Games.
Dengan kondisi semacam ini, penciptaan prestasi adalah kunci. Hanya, dalam desakan waktu, prioritas pembenahan cabang-cabang olahraga menjadi langkah taktis yang patut dilakukan. Dalam jangka pendek dan dengan segenap keterbatasan yang dimiliki, skala prioritas menjadi paling relevan dilakukan.
Lain persoalan jika pendekatan paling radikal dilakukan terhadap semua cabang-cabang olahraga tanpa terbeban pada penyelenggaraan Asian Games 2018 mendatang.
Namun, yang menjadi persoalan, jika pendekatan jangka pendek ini dilakukan, terhadap cabang apa prioritas pembenahan diterapkan? Becermin pada historis capaian prestasi olahraga selama ini, prioritas penanganan sudah sepatutnya dilakukan tidak hanya terhadap cabang-cabang olahraga di negeri ini yang paling kompetitif, tetapi juga merupakan cabang olahraga yang menyediakan banyak nomor perebutan medali.
Dengan pendekatan di atas, data historis capaian prestasi SEA Games selama ini menunjukkan, hanya cabang-cabang olah ragaangkat berat, panahan, berbagai cabang bela diri, bulu tangkis, sepeda, dan beberapa cabang olahraga lain yang patut menjadi prioritas pembinaan prestasi yang lebih intensif.
Selain itu, terdapat pula kelompok cabang olahraga yang mempertandingkan banyak medali, hanya sayangnya sejauh ini prestasi Indonesia tidak banyak terandalkan. Kelompok cabang olahraga ini—atletik, renang, menembak, tinju, dan senam—menyediakan banyak medali dipertandingkan.
Sayangnya, minim prestasi. Di samping itu, terdapat pula kelompok cabang olahraga yang memperebutkan sedikit medali. Pada cabang olahraga ini pun prestasi Indonesia hingga kini tidak dapat diandalkan. Terhadap kedua kelompok cabang olahraga yang disebut terakhir, tampaknya tidak ada langkah lain yang perlu dilakukan selain konsistensi pembenahan total yang memerlukan waktu relatif panjang. (LITBANG KOMPAS)