Menakar Penerimaan Pajak dan Utang
Pajak masih menjadi penopang utama pendapatan nasional. Namun, realisasi penerimaan pajak yang acap kali tidak mencapai target masih menjadi persoalan hingga kini. Di tengah defisit anggaran yang terus melebar dan menumpuknya utang, pemerintah perlu mengoptimalkan berbagai potensi pendapatan, sekaligus mengefisiensikan belanja.
Jika mencermati perilaku anggaran sejak 2015, tampak realisasi penerimaan pajak jauh lebih rendah daripada target (shortfall). Tahun 2015, pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp 1.240,4 triliun, tetapi realisasi hanya Rp 1.024 triliun atau hanya 83 persen dari target.
Sebaliknya, realisasi belanja mencapai 91 persen dari target. Akibatnya, defisit APBN membengkak dari 1,9 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,6 persen PDB. Meski pertama kali menembus angka Rp 1.000 triliun, realisasi pajak 2015 terhitung terendah sejak 1998.
Pola serupa kembali terjadi pada 2016. Realisasi penerimaan pajak tidak beranjak dari 83 persen seperti tahun sebelumnya. Bahkan, jika tidak memasukkan penerimaan denda dari program pengampunan pajak (tax amnesty), realisasi penerimaan pajak hanya 77 persen. Sementara realisasi belanja tetap lebih tinggi, yaitu 89,5 persen dari target.
Tahun 2017 diperkirakan target penerimaan pajak kembali tidak tercapai meskipun di APBN-P 2017 sudah dipangkas Rp 71 triliun dari target pajak di APBN 2017. Hingga Juli 2017, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 46,8 persen dari target APBN-P 2017. Jika realisasi tidak mencapai target, tidak menutup kemungkinan defisit anggaran akan mendekati ambang batas 3 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.
Dalam postur RAPBN 2018, pemerintah memproyeksikan penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.609,4 triliun dari total target pendapatan negara Rp 1.878,4 triliun. Target penerimaan pajak di RAPBN 2018 meningkat 12,7 persen dibandingkan dengan APBN-P 2017 senilai Rp 1.472,7 triliun.
Jika ditelisik lebih jauh, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, penerimaan pajak acap kali tidak sesuai target. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dalam kurun waktu 1998-2016, target penerimaan pajak hanya dua kali tercapai, yaitu pada 1998 dan 2008. Selebihnya, target penerimaan pajak senantiasa meleset.
Jika ditelisik lebih jauh, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, penerimaan pajak acap kali tidak sesuai target.
Selain realisasi pajak, menurunnya kinerja pemungutan pajak juga diindikasikan dengan menurunnya rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia. Periode 2014-2016, rasio pajak terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 10-12,7 persen.
Dibandingkan dengan negara lain, rasio pajak Indonesia masih di bawah standar negara-negara ASEAN dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Rasio pajak Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam berada di kisaran 13-14 persen. Adapun Thailand sudah mencapai kisaran 16-17 persen.
Defisit anggaran dan utang
Penerimaan pajak yang tidak sesuai target berimbas pada defisit anggaran negara yang terus melebar. Tahun 2014, defisit anggaran masih sebesar 2,26 persen, kemudian meningkat menjadi 2,46 persen (2016). Tahun 2017, defisit anggaran diperkirakan mencapai 2,92 persen, selisih 0,08 persen dari batas defisit aman yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit sebesar itu merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Peningkatan defisit APBN berdampak pada naiknya kebutuhan pembiayaan atau utang pemerintah. Alhasil, sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, nilai utang Indonesia cenderung meningkat. Periode 2015 hingga Juli 2017, utang bertambah hampir Rp 1.170,2 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 2.608,8 triliun pada tahun 2014.
Adapun pembiayaan utang pada APBN-P 2017 dipatok Rp 397 triliun atau meningkat 20 persen dibandingkan dengan APBN 2017 yang mencapai Rp 330 triliun.
Jika dicermati lebih jauh, membubungnya beban utang yang harus ditanggung saat ini tidak terlepas dari beban utang sejak krisis ekonomi 1998.
Penambahan utang pada 2015-2017 dimaksudkan untuk mendukung kenaikan belanja produktif di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dana alokasi khusus, dan dana desa. Belanja infrastruktur pada tahun 2015-2017 meningkat dua kali lipat dibandingkan periode 2012-2014.
Kebijakan tersebut berpengaruh pada meningkatnya beban pembayaran utang luar negeri yang terdiri dari cicilan pokok dan bunga. Beban tersebut secara akumulatif telah membuat pembayaran utang semakin memberatkan keuangan negara.
Pada 2015, pembayaran bunga menyedot 8,6 persen dari pengeluaran total. Beban bunga naik menjadi 9,8 persen pada 2016 dan naik lagi menjadi 10,9 persen pada APBN 2017. Pada 2017, pembayaran bunga utang telah menyamai belanja modal, yaitu Rp 221 triliun, empat kali lipat ketimbang pengeluaran sosial yang hanya Rp 56 triliun.
Jika dicermati lebih jauh, membubungnya beban utang yang harus ditanggung saat ini tidak terlepas dari beban utang sejak krisis ekonomi 1998. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, 20 tahun berlalu sejak krisis, total dana yang masih harus dibayarkan pemerintah untuk memulihkan sektor jasa keuangan setelah krisis moneter masih mencapai Rp 244 triliun (13/3/2017).
Jika dicermati lebih jauh, membubungnya beban utang yang harus ditanggung saat ini tidak terlepas dari beban utang sejak krisis ekonomi 1998.
Selanjutnya, sejak era Presiden BJ Habibie sampai Presiden Joko Widodo, utang terus bertambah. Jumlahnya terus bergulir hingga posisi utang pemerintah saat ini.
Meski utang pemerintah cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan PDB, rasionya relatif turun. Saat krisis moneter melanda Indonesia, rasio utang terhadap PDB melonjak hingga 85,4 persen pada 1999. Rasio sempat membengkak menjadi 88,7 persen sebelum akhirnya secara bertahap turun. Rasio utang terhadap PDB berada di titik terendah, sebesar 23 persen, pada 2012.
Hambatan
Belum optimalnya penerimaan pajak tersebut tidak terlepas dari sejumlah hambatan yang dihadapi pemerintah. Salah satunya, basis pajak yang masih sangat terbatas. Hal itu terindikasi dari masih rendahnya jumlah SPT dibandingkan jumlah potensial wajib pajak di Indonesia, baik wajib pajak badan atau wajib pajak orang pribadi.
Adapun rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak diindikasikan dengan tax coverage ratio yang masih rendah. Dari total perbandingan antara besarnya pajak yang dipungut dengan besarnya potensi pajak (tax coverage ratio), hanya tercapai 55 persen, jauh dari angka maksimal 70 persen. Pada 2017, Kementerian Keuangan menargetkan rasio kepatuhan penyampaian SPT tahunan sebesar 75 persen.
Situasi perekonomian global saat ini sedang dalam kondisi perekonomian dengan pertumbuhan rendah.
Menurut Lars P Feld dan Bruno S Frey (2007), rendahnya kepatuhan wajib pajak antara lain karena ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, dan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat tinggi. Masyarakat kurang tertarik membayar pajak karena tidak adanya insentif langsung dari negara. Pajak yang telah dibayar juga tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Di sisi lain, situasi perekonomian global saat ini sedang dalam kondisi perekonomian dengan pertumbuhan rendah. Masa keemasan pertumbuhan ekonomi China yang pernah dua digit akan sulit ditemukan kembali. Perekonomian negara-negara maju di Eropa dan Amerika pun belum akan menggeliat cepat.
Kondisi ini mengakibatkan harga komoditas sumber daya alam yang selama ini menyumbang cukup besar bagi PNBP pun sedang mengalami penurunan. Sebagai contoh, realisasi penerimaan sumber daya alam hanya Rp 64,9 triliun atau 72,6 persen dari APBN-P 2016 sebesar Rp 90,5 triliun.
Peningkatan pajak
Setidaknya ada sejumlah terobosan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak, yaitu program pengampunan pajak (tax amnesty) dan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (automatic exchange of information/AEOI).
Inisiatif pemerintah melakukan program pengampunan pajak merupakan bagian dari strategi untuk memperluas basis pajak sehingga diharapkan penerimaan pajak ke depan akan meningkat secara signifikan. Lewat program amnesti pajak, pemerintah berharap WNI mau membawa pulang dananya yang selama ini disimpan di luar negeri (repatriasi).
Hasilnya, dari sisi deklarasi harta dan uang tebusan, total uang tebusan terhitung paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang pernah melaksanakan program itu. Bahkan, angkanya melampaui perkiraan berbagai kalangan dan pemerintah.
Total harta yang dideklarasikan mencapai Rp 4.813 triliun atau melampaui target senilai Rp 4.000 triliun. Dari total deklarasi tersebut, repatriasi sebesar Rp 147 triliun, jauh lebih rendah ketimbang target senilai Rp 1.000 triliun.
Namun, dari segi partisipasi, peserta program sekitar 972.000 terhitung rendah apabila dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang sekitar 36 juta atau sekitar 60 juta keluarga, yang semestinya mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Selain amnesti pajak, untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, Menteri Keuangan melakukan kebijakan reformasi perpajakan. Kebijakan itu untuk memperbaiki bisnis proses, perbaikan sistem informasi dan teknologi, hingga mengekstensifikasi pajak. Selain itu, penerimaan pajak juga akan ditingkatkan dengan memperkuat komitmen Indonesia dalam melaksanakan keadilan pajak internasional.
Kebijakan pemerintah lainnya adalah keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan perppu ini, Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia bisa mengakses secara langsung rekening wajib pajak di bank, asuransi, sekuritas, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Ditjen Pajak juga bisa mendeteksi wajib pajak yang belum membayar pajaknya secara benar. Di sisi lain, bank dan lembaga keuangan lainnya wajib melaporkan rekening dengan saldo minimal Rp 1 miliar (semula minimal Rp 200 juta) kepada Ditjen Pajak. Pemerintah berharap langkah ini bisa mengoptimalisasi penerimaan pajak. (LITBANG KOMPAS)