Tembakau: Melihat dari Dalam (2)
Tembakau adalah komoditas yang disikapi dengan penuh ambivalensi sejak awal sejarah perkembangannya hingga kini. Bersama tumbuh dan meluasnya penggunaan tanaman ini, mau tidak mau, harus diakui, tembakau juga turut membentuk historiografi kesukubangsaan di Indonesia.
Tembakau telah ditanam orang Indian Amerika sebelum orang Eropa datang dari Inggris, Spanyol, Perancis, dan Italia ke Amerika Utara. Penduduk asli Amerika mengisap tembakau melalui pipa untuk tujuan keagamaan dan pengobatan tertentu. Meski begitu, mereka tidak merokok setiap hari.
Pada 15 Oktober 1492, Christopher Columbus, seorang penjelajah dari Italia, ditawari daun tembakau kering sebagai hadiah dari Indian Amerika yang ia temui (Vernellia R Randall, History of Tobacco, 1999). Segera setelah itu, para pelaut yang datang ke sana membawa bibit tembakau kembali ke Eropa, menanamnya dan perkebunan tembakau pun berkembang luas di seluruh Eropa.
Alasan utama meningkatnya popularitas tembakau di Eropa adalah khasiat penyembuhannya. Awalnya, orang Eropa percaya bahwa tembakau bisa menyembuhkan hampir semua hal, mulai dari bau mulut hingga kanker. Karena itu, pada 1571, seorang dokter Spanyol bernama Nicolas Monardes menulis buku tentang sejarah tanaman obat dari dunia baru.
Ia mengklaim bahwa tembakau bisa menyembuhkan 36 masalah kesehatan (Randall, 1999). Randall juga mencatat, pada 1588, seorang Virginia bernama Thomas Harriet mempromosikan merokok agar mendapatkan satu dosis harian tembakau. Ironisnya, ia meninggal karena kanker hidung.
Setelah rempah pala, lada, dan cengkeh menjadi primadona perdagangan yang setara emas, tembakau pun menyusul menjadi ”logam mulia” berikutnya. Bedanya, jika rempah menjadi bumbu, obat, dan bahan pewangi, tembakau menjadi penunjang gaya hidup ekstase.
Di Jawa, tembakau yang dicampur dengan kemenyan dan klembak juga kerap menjadi bagian dari sesaji ritual, penghubung alam wadag dengan alam gaib. Jenis rokok ini sangat populer di daerah Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, dengan merek Sintren dan Bang Djo.
Tembakau juga turut membentuk kehadiran sebuah kelompok etnis baru di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Pada era tanam paksa (1830-1870), ribuan etnis Madura dipaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menjadi buruh di perkebunan tembakau daerah Tapal Kuda: Besuki, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan sekitarnya.
Perlakuan VOC yang menerapkan kontrak seumur hidup menjadikan para buruh tersebut harus menetap di daerah perkebunan beserta anak cucunya. Hal inilah yang merupakan cikal bakal tumbuhnya kelompok etnis Pendalungan, yaitu etnis campuran Madura dan Jawa yang banyak dijumpai di daerah Tapal Kuda perkebunan tembakau di Pulau Jawa (M Syaiful Rizal, Sejarah Perkebunan Tembakau di Nusantara, 2015).
Di Sumatera Utara, suku Jawa Deli merupakan suatu kelompok masyarakat yang terbentuk dari buruh kontrak di perkebunan-perkebunan sejak zaman penjajahan. Mereka adalah pekerja yang diangkut dari Pulau Jawa. Pada 1863, Jacobus Nienhuiys, seorang pengusaha Belanda, membuka perkebunan tembakau Deli Maatschappij di Sumatera Timur (Deli).
Setelah kesulitan mendapatkan tenaga kerja dari China, Malaysia, India, dan Tamil (Penang), ia pun mendatangkan ribuan pekerja dari Jawa pada 1880, sebagai buruh kontrak. Sistem kontrak yang dibuat memaksa para buruh itu terus terikat di sana, sulit untuk kabur atau kembali ke Jawa. Seiring berjalannya waktu, komunitas Jawa Deli atau Jadel pun berkembang, mengimbangi etnis Melayu dan berbagai kelompok etnis Batak lainnya.
Produksi dunia
Sejak 1980, luas perkebunan tembakau di dunia relatif stabil, kadang berkurang sedikit, terkadang naik sedikit. Pada 1980, luas area panen tanaman tembakau mencapai 3.897.572 hektar (ha), sempat menurun hingga menjadi 3,599,386 ha pada 2007. Namun, pada 2013, luasnya kembali menjadi 4.238.149 ha (www.statista.com). Luas perkebunan tembakau Indonesia 4,5 persen dari total luas area tembakau dunia.
China Daratan adalah penyumbang terbesar produksi tembakau, meliputi 2.995.400 ton dengan total nilai 4.771 juta dollar Amerika Serikat pada 2014. Indonesia dengan produksi 196.300 ton dan total nilai 312,66 juta dollar AS, berada di urutan kelima setelah China, Brasil, India, dan Amerika Serikat.
Peta Indonesia
Tembakau sudah dikembangkan di Nusantara sebelum zaman tanam paksa. VOC telah membuka perkebunan tembakau di daerah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta sejak tahun 1820.
Kemudian, pada periode 1870 hingga 1940, penanaman tembakau berkembang di sejumlah tempat, seperti Kedu, Kediri, dan wilayah antara Semarang dan Surabaya. Selain di wilayah Vorstenlanden (wilayah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, serta Kadipaten Pakualaman), perkebunan tembakau juga merambah ke wilayah Besuki dan Jember di Jawa Timur.
Menurut catatan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, pada 1856 VOC melakukan penanaman tembakau secara meluas di daerah Besuki, Jawa Timur, dan lewat balai penelitian yang didirikan di Indonesia lalu menghasilkan tembakau jenis cerutu. Kekuatan Jawa Timur sebagai produsen tembakau terbesar di Indonesia masih bertahan hingga sekarang.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 15 provinsi yang dicatat oleh Kementerian Pertanian sebagai daerah penghasil tembakau. Daerah-daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Setelah Jawa Timur, produsen terbesar berikutnya adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Barat.
Di Jawa Timur, daerah utama penghasil tembakau adalah Pulau Madura, terutama di Pamekasan dan Sumenep. Pamekasan bahkan merupakan kabupaten penghasil tembakau terbesar dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di Indonesia. Daerah penghasil tembakau di Jawa Timur lainnya adalah Jember, Probolinggo, Bojonegoro, Bondowoso, Lamongan, dan Jombang.
Di Jawa Tengah, daerah utama penghasil tembakau adalah Temanggung, Kendal, Rembang, Boyolali, Magelang, dan Klaten. Di Jawa Barat, sentra utama tembakau terletak di Garut dan Sumedang. Sementara itu, di Nusa Tenggara Barat, Pulau Lombok adalah penghasil utama tembakau, khususnya di Lombok Timur dan Lombok Tengah.
Sumbangan tembakau
Sumbangan dari cukai tembakau pada 2016 mencapai Rp 141,7 triliun dan pada 2017 diprediksi naik menjadi Rp 149,9 triliun, dua kali lipat lebih dibandingkan dengan tahun 2011. Angka tersebut juga hampir 1,5 kali dari anggaran kesehatan dalam APBN 2017 yang Rp 104 triliun.
Selain dari cukai, pemerintah juga masih mendapatkan pemasukan lain dari tembakau atau rokok, seperti dalam bentuk PPn, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang besarannya 10 persen dari cukai, dan dari pajak industri serta para pekerja di dalamnya.
Nilai yang begitu besar yang disumbangkan dalam bentuk pajak juga didukung oleh penyerapan tenaga kerja yang banyak, baik dalam produksi pertanian tembakau maupun industri rokok. Berdasarkan studi dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance, jumlah petani tembakau Indonesia pada 2011 adalah 689.360 jiwa, terbesar di antara negara-negara ASEAN lainnya (Rene Espino, dkk, Tobacco Farming in The ASEAN Region, 2013).
Jumlah ini merupakan 0,64 persen dari total tenaga kerja Indonesia atau 1,61 persen dari total pekerja pertanian. Menurut Kementerian Perindustrian, penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja di sektor usaha tembakau dan rokok melibatkan 6,1 juta orang, terutama di daerah penghasil tembakau, cengkeh, dan sentra-sentra produksi rokok.
Namun, seperti sudah tersurat dalam takdir sejarahnya, tembakau adalah komoditas yang disikapi secara ambivalen, bahkan penuh dimensi kepentingan. Kementerian Kesehatan dan badan kesehatan dunia berkeras agar konsumsi rokok dibatasi karena berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Sebaliknya, Kementerian Perindustrian cenderung menjaga kelangsungan produksi manufaktur, tak terkecuali di industri rokok. Kementerian Tenaga Kerja punya wewenang untuk melindungi buruh pabrik yang mungkin rentan menjadi korban pembatasan produksi dan konsumsi rokok. Sementara itu, setoran cukai hasil tembakau ke kas negara diharapkan oleh Kementerian Keuangan terus meningkat dari tahun ke tahun. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)