Konsumsi Energi Tinggi, Cadangan Menipis
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan kebutuhan industri mendorong pemakaian energi di Indonesia. Konsumsi berbagai jenis energi, baik terbarukan maupun tak terbarukan, meningkat cukup signifikan.
Pemakaian energi tak terbarukan, khususnya minyak bumi dan gas, masih mendominasi konsumsi energi di masyarakat. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang sulit diselesaikan mengingat sumber cadangan migas terus susut.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun 2000 konsumsi energi jenis biomassa, batubara, gas alam, minyak dan produk turunannya, briket, LPG, dan listrik mencapai 777,92 juta BOE (barrel of oil equivalent). Pada 2015, konsumsi energi tersebut sudah meningkat hampir 35 persen, menjadi 1,04 miliar barrel.
Sementara itu, sektor yang menyedot energi terbesar pada 2000 adalah sektor industri dengan besaran konsumsi mencapai 41,18 persen dari total energi yang dihasilkan. Urutan konsumsi kedua diduduki sektor transportasi sebesar 29,71 persen.
Lima tahun kemudian, konsumen energi terbesar bergeser menjadi sektor transportasi, menduduki peringkat pertama dengan konsumsi hampir 40 persen. Adapun sektor industri turun ke peringkat kedua dengan kebutuhan konsumsi 35,07 persen.
Tahun 2000-2015, jenis energi yang dikonsumsi terbanyak berupa produk olahan minyak bumi. Rata-rata kebutuhan konsumsi jenis ini sekitar 51 persen per tahun. Pada 2015, konsumsi energi dari bahan minyak berkurang menjadi kisaran 42 persen. Hal ini bukan berarti konsumsi produk energi dari minyak bumi berkurang, melainkan karena konsumsi jenis energi lain meningkat sehingga porsinya berubah.
Defisit
Secara keseluruhan, dalam 15 tahun terakhir terjadi lonjakan kenaikan konsumsi batubara hingga 94 persen, listrik 156 persen, dan gas alam 42 persen. Yang paling fantastis adalah peningkatan konsumsi LPG, lebih dari 500 persen, sebagai akibat kebijakan konversi subsidi minyak tanah ke LPG.
Peningkatan kebutuhan energi tersebut tentu saja menjadi beban berat bagi negara. Tidak adanya kebijakan pembatasan atau pengaturan jumlah kendaraan bermotor dan harapan kontribusi yang tinggi dari sektor industri akan membuat kebutuhan energi, terutama yang berasal dari produk minyak bumi, terus meningkat.
Ironisnya, sumber daya alam negeri ini bakal tidak mampu mencukupinya sehingga impor menjadi pilihan untuk menutupi kekurangan pasokan minyak, baik berupa minyak mentah maupun olahan minyak (fuel).
Selama ini, impor migas lebih banyak ketimbang ekspor migas untuk menutup konsumsi dalam negeri.
Jika impor minyak terus meningkat, kondisi itu jelas akan memberi tekanan bagi neraca pembayaran Indonesia karena transaksi berjalan barang migas selalu negatif. Selama ini, impor migas lebih banyak ketimbang ekspor migas untuk menutup konsumsi dalam negeri.
Pada tahun 2016, defisit transaksi berjalan dari sektor migas mencapai 4,79 miliar dollar AS. Angka nominal ini diperkirakan akan terus membesar karena tingginya ketergantungan pasokan dari luar negeri. Pada akhirnya, hal ini sangat berpengaruh pada ketahanan energi nasional.
Cadangan minyak
Pada 2015, cadangan potensial minyak bumi Indonesia sebanyak 3,70 miliar barrel dan cadangan terbukti sebanyak 3,60 miliar barrel. Apabila konsumsi produk bahan bakar minyak pada 2015 sekitar 310 juta barrel dan relatif sama pada tahun-tahun selanjutnya, cadangan potensial minyak bumi yang ada di perut bumi Indonesia hanya akan mampu bertahan hingga sekitar 11 tahun mendatang.
Apabila diakumulasikan dengan cadangan terbuktinya, cadangan minyak bumi akan bertambah hingga kisaran 20 tahun mendatang. Secara umum, cadangan minyak bumi yang ada di Indonesia hanya sekitar 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional 2015, terdapat tambahan potensi cadangan migas sebesar 5,2 miliar barrel. Namun, target ini membutuhkan pengujian lebih lanjut dan memakan waktu. Hal ini karena proses eksplorasi migas tidaklah mudah.
Dari banyak tempat yang diuji pengeboran, rasio kesuksesan penemuannya relatif rendah. Rasio kesuksesan pengeboran hanya sekitar 29 persen. Pada 2015, dari 67 lokasi pengeboran sumur, hanya ditemukan 15 titik yang diindikasikan berpotensi migas.
Perlu adanya kebijakan proenergi agar industri hulu migas berkembang dan mampu menemukan potensi cadangan migas di perut bumi Indonesia.
Kondisi tersebut menunjukkan industri hulu migas penuh dengan perhitungan, berisiko tinggi, berbiaya tinggi, dan potensi kegagalannya juga tinggi. Oleh sebab itu, perlu adanya kebijakan proenergi agar industri hulu migas berkembang dan mampu menemukan potensi cadangan migas di perut bumi Indonesia.
Perlindungan
Pada tahun 2015, investasi di industri hulu migas sebesar 15,31 miliar dollar AS. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 20 miliar dollar AS. Penurunan ini salah satunya karena risiko bisnis yang tinggi dan biaya jual minyak dunia yang sedang turun sehingga kegiatan usaha di hulu migas relatif kurang efisisen.
Oleh sebab itu, pada tahun 2015, pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan perlakuan pajak di bidang usaha hulu migas. Revisi ini untuk membuat kegiatan sektor hulu migas menjadi lebih menarik.
Revisi ini melahirkan peraturan baru berupa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha HuIu Minyak dan Gas Bumi. PP baru ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada pertengahan tahun 2017.
Masih banyak cadangan sedimen di Indonesia yang belum dieksplorasi untuk dikaji potensi kekayaan alamnya. Namun, dari sisi efisiensi dan jumlah sumur, biaya eksplorasi di Indonesia masih belum kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Itu sebabnya, dengan aturan baru tersebut, diharapkan banyak investor yang tertarik untuk mengembangkan industri hulu migas di Indonesia.
Cekungan sedimen sumber energi
Keberadaan kekayaan alam berupa energi migas tidak lepas dari kondisi geologi Indonesia yang merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik dunia. Akibat pertemuan itu, terbentuk jalur-jalur pegunungan di hampir semua pulau di Nusantara. Di depan atau belakang jalur pegunungan tersebut terbentuk secara alamiah cekungan-cekungan tempat sedimen diendapkan.
Cekungan ini akan terisi material atau segala sesuatu yang berasal dari hasil erosi wilayah pegunungan atau tempat tinggi di sekitar cekungan. Selain proses demikian, cekungan sedimen juga berasal dari proses peregangan atau penarikan kerak bumi. Proses ini terbentuk di Laut Natuna, Laut Jawa, Selat Makassar, dan Laut Banda. Secara sederhana, cekungan sedimen adalah tempat pengendapan berbagai macam sedimen.
Karakter cekungan
Dalam waktu jutaan tahun, endapan ini akan berubah menjadi batuan sedimen. Bebatuan ini terbagi menjadi beberapa fungsi, yakni batuan induk, reservoir, penyekat, dan batuan penimbun yang akan mematangkan zat organik dalam batuan induk untuk menjadi hidrokarbon.
Unsur kimia inilah yang dikenal sebagai pembentuk minyak dan gas yang mayoritas terdiri dari hidrogen dan karbon. Dengan kata lain, cekungan sedimen merupakan tempat akumulasi migas.
Secara umum, daerah Indonesia yang memiliki sumber cadangan minyak terbanyak ada di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Natuna.
Badan Geologi pada tahun 2010 mengidentifikasi ada 128 cekungan sedimen yang diklasifikasikan berdasarkan umur sedimen pengisinya. Cekungan pratersier berumur lebih dari 140 juta tahun lalu (jtl), cekungan pratersier-tersier 65-140 jtl, dan cekungan tersier lebih muda dari 65 jtl.
Cekungan tersier umumnya berada di wilayah Indonesia bagian barat, cekungan pratersier-tersier berada di Indonesia bagian timur, dan cekungan pratersier hanya di beberapa wilayah, seperti sebagian Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan.
Secara umum, daerah Indonesia yang memiliki sumber cadangan minyak terbanyak ada di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Natuna. Gas bumi dengan cadangan terbanyak berada di wilayah Natuna, Papua Barat, dan Maluku.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, di Indonesia ada 169 wilayah eksplorasi cekungan hidrokarbon. Cekungan yang sudah berproduksi ada 16 wilayah. Cekungan yang telah ditemukan kandungan hidrokarbonnya tetapi belum diproduksi ada 7 wilayah. Cekungan yang sudah dibor tetapi belum ditemukan hidrokarbon ada 15 wilayah. Sementara cekungan yang belum dieksplorasi ada 22 wilayah.
Memenuhi konsumsi
Data ini menunjukkan masih ada hampir 100 titik cekungan yang belum dieksplorasi untuk dikaji kandungan kekayaan hidrokarbonnya. Oleh sebab itu, dengan terbitnya PP No 27/2017 tentang Perubahan atas PP No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, diharapkan banyak investor, baik domestik maupun asing, yang tertarik mengembangkan usaha hulu migas di Indonesia.
Tujuannya, untuk mengeksplorasi cekungan-cekungan yang memiliki potensi hidrokarbon besar di Indonesia. Ujung-ujungnya adalah memperbesar cadangan energi migas untuk menutupi konsumsi yang kian meningkat. (LITBANG KOMPAS)