Polemik Pembatasan Sepeda Motor di Jakarta
Ruang gerak sepeda motor di Ibu Kota semakin dibatasi. Perpanjangan area pembatasan hingga Bundaran Senayan kembali menuai polemik.
Pembatasan yang pernah dilakukan tahun 2015 dinilai tidak efektif untuk mengurangi kemacetan. Di sisi lain, pembatasan tersebut dipercaya akan mengurangi kecelakaan lalu lintas dan berpotensi meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum.
Kebijakan pembatasan sepeda motor di Jakarta pertama kali diterapkan di beberapa ruas jalan pada Desember 2014. Tujuan utama penerapan kebijakan tersebut adalah mengurangi kemacetan di Jakarta. Namun, pembatasan berdasarkan Perda DKI Jakarta No 5/2014 tentang Transportasi akhirnya hanya berlaku di Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin.
Pada 17 Desember 2014, Pemprov DKI mengurangi waktu pembatasan sepeda motor dari 24 jam menjadi 17 jam. Perubahan waktu tersebut dipertegas dengan Peraturan Gubernur No 1Po5 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor. Disebutkan dalam pergub tersebut, sepeda motor boleh melewati jalan protokol tersebut pada pukul 23.00-06.00.
Agustus tahun ini, Gubernur DKI Djarot Syaiful Hidayat kembali mengeluarkan wacana untuk menambah area pembatasan sepeda motor dari 2,54 kilometer menjadi sekitar tujuh kilometer. Pembatasan akan dimulai dari Bundaran HI hingga Bundaran Senayan dengan durasi waktu sama. Bahkan, Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ) pun merekomendasikan pembatasan sepeda motor diterapkan juga di sejumlah ruas jalan di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).
Mengurangi kemacetan
Wacana perluasan kawasan pembatasan motor muncul karena Gubernur Djarot melihat kemacetan di Jakarta semakin parah. Di sejumlah ruas jalan protokol DKI yang sebelumnya dikenakan aturan three in one sudah diberlakukan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil genap.
Namun, pembatasan tersebut tetap saja tidak mengurangi volume lalu lintas karena sejumlah pengguna mobil pribadi beralih menggunakan sepeda motor atau naik ojek pada hari mobilnya dilarang melintas.
Rencana pembatasan sepeda motor di ruas jalan tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi pembatasan mobil dengan sistem ganjil-genap. Harapannya, jumlah kendaraan berkurang sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas.
Selain itu, mobil dan sepeda motor juga harus berbagi dengan transjakarta yang jalurnya juga tertutup karena proyek angkutan massal. Di beberapa ruas jalan yang menyempit tersebut muncul simpul-simpul kemacetan yang terkadang sampai beberapa kilometer.
Sesungguhnya, kemacetan terjadi bukan saja karena banyaknya jumlah kendaraan bermotor, melainkan juga karena laju kendaraan yang terhambat akibat sejumlah proyek. Sebut saja beberapa ruas Jalan Sudirman-Thamrin menyempit karena proyek pembangunan mass rapid transit (MRT).
Sejumlah pihak menilai, pembatasan sepeda motor akan mengakibatkan munculnya kemacetan di ruas jalan lain, khususnya di ruas jalan yang menjadi alternatif. Apalagi, kantong-kantong parkir yang disediakan sebagian besar berlokasi di sisi utara kawasan Jalan Thamrin.
Hal ini berarti warga yang berkantor di kawasan Sudirman dan bertempat tinggal di selatan Jakarta harus melalui jalan alternatif untuk mencapai kawasan parkir di sisi utara. Hasil pantauan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menunjukkan, kemacetan di ruas protokol memang berkurang, tetapi mengakibatkan peningkatan volume kendaraan di jalan lain hingga 30 persen.
Tidak seimbang
Salah satu penyebab kemacetan adalah pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jalan. Statistik Transportasi Jakarta (2015) menunjukkan, total pertumbuhan mobil sebesar 8,75 persen per tahun dan motor 10,54 persen per tahun. Adapun pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Nilai pertumbuhan ataupun jumlah sepeda motor di Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan dengan mobil. Sebagai perbandingan, pada 2010 jumlah mobil mencapai 2,3 juta unit, sementara sepeda motor 8,7 juta unit. Pada 2015 jumlah mobil meningkat menjadi 3,2 juta unit dan sepeda motor 13,9 juta unit.
Banyaknya jumlah sepeda motor yang beredar di jalanan Jakarta juga dipicu oleh kemudahan fasilitas kredit motor. Saat ini sepeda motor bisa dimiliki hanya dengan memberikan uang muka Rp 500.000 dan selanjutnya bisa membayar per bulan Rp 700.000 hingga Rp 1,5 juta, tergantung jangka waktu kredit yang dipilih.
Bukan saja jumlah sepeda motor yang demikian masif dalam satu kawasan, melainkan juga perilaku pengendara yang sering menimbulkan kemacetan. Saat lalu lintas padat, pengendara motor sering kali menguasai setiap jengkal jalan tanpa memedulikan kendaraan lain.
Akibatnya, kemacetan sulit terurai. Belum lagi saat berhenti di lampu lalu lintas, puluhan sepeda motor berdesakan, berebut tempat terdepan supaya bisa melaju paling cepat. Perilaku inilah yang terkadang menghambat lalu lintas.
Jumlah sepeda motor yang semakin membeludak dan ketidakdisiplinan pengendara berisiko mengakibatkan kecelakaan. Korlantas Polri mendata pada 2016 kecelakaan lalu lintas didominasi sepeda motor (74 persen) dan korban kebanyakan (53 persen) merupakan pemilik SIM C.
Banyaknya kecelakaan yang melibatkan sepeda motor ini juga sebagai alasan yang memperkuat pembatasan sepeda motor tersebut. Hasil kajian BPTJ (2017) menunjukkan, jika pembatasan sepeda motor diterapkan di jalan protokol sepanjang tujuh kilometer, jumlah kecelakaan akan berkurang 1,2 persen setiap tahun atau rata-rata 6.573 kecelakaan per tahun.
Angkutan umum
Perluasan kawasan pembatasan sepeda motor dimaksudkan untuk mendorong pengguna sepeda motor beralih ke angkutan umum. Pembatasan di Jalan Thamrin-Sudirman diterapkan karena di jalan tersebut sudah terdapat jalur angkutan massal bus transjakarta Koridor 1.
Selain itu, ada pula jalur MRT Lebak Bulus-Bundaran HI yang akan rampung pada 2018. Jalan tersebut juga terhubung dengan sejumlah jalan alternatif, seperti Jalan Asia-Afrika, Bendungan Hilir, KH Mas Mansyur, Cideng Barat/Cideng Timur, Menteng Raya, dan Gatot Subroto.
Sepeda motor merupakan salah satu angkutan yang tidak masuk kategori angkutan umum. Hal tersebut ditegaskan dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan, pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum harus menggunakan mobil penumpang umum atau khusus. Sepeda motor menjadi salah satu transportasi pribadi, selain mobil.
Andy Siswanto dalam paparan ”Penanganan Macet di Jakarta” (2012) menyatakan, motor sebaiknya melayani kawasan sekitar rumah serta dalam lingkup kelurahan, kecamatan, dan kawasan. Tingkat pelayanan transportasi dalam skala kota, bahkan Jabodetabek, menggunakan mobil, angkutan massal kereta dan MRT, serta transporrtasi umum, seperti bus dan taksi.
Sepeda motor ke depannya hanya digunakan sebagai angkutan pengumpan dari rumah menuju stasiun kereta komuter, MRT, dan LRT, serta halte transjakarta terdekat. Sepeda motor juga hanya bisa digunakan dalam lingkup jarak dekat, seperti di sekitar lingkungan permukiman saja.
Ojek
Namun, sepeda motor yang tidak diakui sebagai angkutan umum menjadi hambatan tersendiri bagi para pengemudi ojek daring ataupun ojek konvensional. Ojek daring ini termasuk salah satu pihak yang tidak mendukung wacana perluasan pembatasan sepeda motor di Jakarta.
Para pengendara ojek daring merasa ruang gerak mereka semakin dibatasi. Padahal, banyak potensi calon penumpang yang bisa didapatkan dari Jalan Sudirman-Thamrin.
Sejumlah pihak juga menilai pembatasan itu berakibat membengkaknya biaya transportasi pengendara motor. Jika pemakai motor tidak menggunakan transjakarta, dia akan memilih menggunakan taksi dari rumah atau memanfaatkan tempat parkir sepeda motor. Kedua cara itu akan mengakibatkan ongkos transport meningkat.
Misalnya, jika dia berkantor di gedung World Trade Centre Jakarta dan harus meninggalkan motornya seharian di kawasan parkir IRTI Monas, dia harus membayar Rp 18.000 dengan rincian tarif parkir motor per jam Rp 2.000 dikali 9 jam kerja. Pilihan lain yang kemungkinan banyak dipilih pengendara motor adalah menghindari kawasan tersebut. Sudah jelas, ada tambahan biaya BBM karena jalan memutar dan membutuhkan waktu lebih lama.
Kekhawatiran peningkatan biaya transportasi per individu tersebut berlawanan dengan kajian BPTJ (2017) terkait penerapan pembatasan sepeda motor. Dalam kajian tersebut disebutkan bahwa pembatasan sepeda motor akan menurunkan biaya transportasi secara makro sebanyak 8,8 persen dalam kurun 2018-2023 atau sebesar Rp 21,2 triliun.
Bisa jadi kajian penurunan biaya transportasi secara makro tersebut terkait dengan potensi berkurangnya kemacetan karena pengurangan sepeda motor, sedangkan secara mikro perorangan tetap terjadi kenaikan biaya transportasi.
Batal
Polemik terus-menerus tentang rencana pembatasan sepeda motor mengakibatkan Pemprov DKI Jakarta pada akhirnya mengalah dan membatalkan rencana itu pada 7 September 2017. Pemprov DKI menyatakan akan mengkaji ulang kebijakan tersebut seiring dengan upaya pemerintah menyediakan transportasi umum yang nyaman dan memadai.
Namun, setelah angkutan umum tersedia dan saling terintegrasi, kebijakan pembatasan kendaraan, baik mobil ataupun sepeda motor, sebaiknya perlu dilakukan. Pembatasan kendaraan dinilai menjadi solusi ampuh untuk mengurangi kemacetan.
Kebijakan tersebut juga sebaiknya diikuti dengan kebijakan pembatasan dari pemerintah pusat, seperti menaikkan harga jual mobil dan menerapkan pajak progresif bagi warga yang memiliki mobil lebih dari satu.
Jika angkutan umum sudah nyaman dan saling terintegrasi, lambat laun pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke angkutan umum. Sepeda motor yang selama ini menjadi angkutan umum lintas kota bisa kembali menjadi angkutan pengumpan jarak pendek.(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)