Peluang Jabatan Kedua Kepresidenan Jokowi
Mengacu pada kondisi saat ini, apabila pemilu presiden dilakukan, hasil survei menunjukkan Presiden Joko Widodo paling berpeluang menang. Sebaliknya, peluang sosok-sosok politik lain, termasuk rival terdekatnya, Prabowo Subianto, jalan di tempat, bahkan sebagian besar redup. Apakah hasil interpretasi survei tersebut sudah dapat memastikan suatu kemenangan?
Kesimpulan semakin besarnya peluang keterpilihan kembali Jokowi tegas tersirat dari hasil survei opini publik terbaru yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada pengujung Agustus 2017. Pasalnya, data opini publik yang terurai dari hasil survei tersebut menunjukkan sepanjang tiga tahun memerintah, Presiden Jokowi secara konsisten berhasil meningkatkan surplus dukungan publik terhadap dirinya. Namun, sebaliknya, tidak cukup banyak terjadi peningkatan dukungan signifikan terhadap sosok-sosok calon presiden lain yang dijadikan rujukan publik.
Tiga periode CSIS menyelenggarakan survei, tingkat keterpilihan (elektabilitas) Jokowi sebagai presiden dinyatakan meningkat dari 36,1 persen (2015) menjadi 41,9 persen (2016), hingga terakhir 50,9 persen (2017).
Pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto, relatif tidak terdongkrak. Apabila pada tahun 2015 mampu meraih 28 persen, setahun kemudian (2016) menjadi 24,3 persen, dan terakhir (2017) menjadi 25,8 persen. Hanya separuh dari proporsi pilihan publik terhadap Jokowi.
Sosok-sosok lain yang dipersepsikan publik layak menjadi presiden tidak banyak memberikan kejutan. Beberapa sosok yang berlatar belakang kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) juga tidak mencolok dipersepsikan sebagai presiden.
Nama seperti Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini masih konsisten muncul. Namun, sepanjang tiga periode penyelenggaraan survei, tingkat keterpilihan sosok-sosok pemimpin daerah tersebut relatif kecil dan cenderung tidak bergerak.
Di sisi lain, sosok-sosok calon presiden yang belakangan ini mulai direferensikan juga belum mampu menarik perhatian publik. Sosok pemimpin berlatar belakang militer, seperti Panglima TNI Gatot Nurmantyo, baru pada survei terakhir CSIS dijadikan rujukan sebagai presiden. Akan tetapi, tingkat elektabilitas Gatot Nurmantyo relatif kecil, di bawah 5 persen.
Sosok Agus Harimurti Yudhoyono pada survei periode terakhir juga mulai direferensikan publik. Namun, proporsi keterpilihannya berkisar 2,8 persen. Sementara pada sisi lain, publik yang masih menganggap mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ayah Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai sosok yang paling layak menjadi presiden saat ini mulai menurun, dari proporsi sekitar 5 persen menjadi sekitar 2 persen.
Dukungan sejumlah segmen
Kajian tiga periode survei CSIS terhadap capaian elektabilitas setiap sosok calon presiden menyiratkan kepiawaian Jokowi dalam memikat publik selama tiga tahun memerintah. Hampir pada semua segmen pemilih, Jokowi diunggulkan.
Dari sisi latar belakang identitas demografis responden, seperti jenis kelamin, latar belakang agama, atau pemilahan domisili responden berdasarkan kategori Jawa dan luar Jawa, hasilnya menunjukkan kecenderungan pilihan yang lebih signifikan (hampir dua kali lipat lebih besar) kepada Jokowi dibandingkan dengan pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto, atau tokoh lainnya.
Begitupun dari sisi latar belakang pendidikan responden, latar belakang pekerjaan, dan besaran penghasilan responden, survei menunjukkan kecenderungan dukungan terhadap Jokowi yang terpaut jauh lebih besar dibandingkan dengan sosok-sosok lain.
Sebagai gambaran, dari sisi pendapatan, misalnya, tidak tampak perbedaan antara golongan berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi dalam pilihan terhadap sosok yang layak menjadi presiden. Sebagian besar dari tiap-tiap kelompok pendapatan tersebut (di atas 46 persen) merujuk Jokowi sebagai presiden pilihan.
Hampir pada semua segmen pemilih, Jokowi diunggulkan.
Memang masih terdapat beberapa variasi perbedaan. Dari sisi latar belakang pekerjaan, misalnya, sekalipun tiap-tiap kalangan mendudukkan Jokowi sebagai yang teratas, proporsi besaran dukungan berbeda.
Proporsi dukungan paling tinggi (di atas 50 persen) dinyatakan oleh kelompok responden yang tergolong petani/nelayan, buruh, atau kalangan ibu rumah tangga dibandingkan dengan kalangan pegawai swasta, PNS, ataupun kaum pedagang.
Begitu pula dari sisi pendidikan, terdapat kecenderungan dukungan yang lebih kuat disuarakan oleh kalangan berpendidikan rendah dibandingkan dengan kalangan yang terkategorikan berpendidikan tinggi. Bahkan, dari sisi usia, khususnya pada kalangan berusia 20-29 tahun, proporsi dukungan terhadap Jokowi lebih sedikit daripada dukungan yang tertuju kepada Prabowo Subianto.
Namun, selain usia tersebut, baik mereka yang berusia muda yang diidentikkan sebagai kalangan pemilih pemula maupun pemilih berusia di atas 30 tahun, banyak yang menempatkan Jokowi sebagai presiden pilihan mereka.
Korelasi kinerja
Surplus dukungan dan semakin meratanya karakteristik dukungan terhadap Jokowi dari setiap latar belakang identitas responden survei menunjukkan kekuatan posisi politik Jokowi di tengah masyarakat. Pertanyaannya, apa penyebab semakin tinggi dukungan publik terhadap Jokowi?
Apabila besar kecilnya tingkat keterpilihan dideterminasi oleh faktor-faktor rasional, seperti kinerja atau capaian prestasi yang ditorehkan Jokowi, jawabannya sejalan. Apresiasi terhadap kinerja ikut meningkatkan tingkat keterpilihan.
Berdasarkan hasil survei CSIS tersebut, terlihat hubungan yang nyata antara peningkatan penilaian kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden (job approval rating) dan besaran tingkat elektabilitas. Sepanjang tiga periode survei, secara konsisten disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kinerja pemerintahan, terdapat peningkatan kepuasan di bidang ekonomi, hukum, ataupun maritim.
Hasil survei kali ini (2017) menunjukkan 68,3 persen responden puas terhadap kinerja pemerintahan. Demikian pula dalam bidang ekonomi.
Sebagai gambaran, terhadap kinerja pemerintahan, jika survei yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan 50,6 persen merasa puas dan sebaliknya dalam posisi imbang, 48,2 persen, merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintahan, setahun selanjutnya menjadi 66,5 persen yang terpuaskan.
Hasil survei kali ini (2017) menunjukkan 68,3 persen responden puas terhadap kinerja pemerintahan. Demikian pula dalam bidang ekonomi. Jika pada tahun 2015 masih dominan responden yang menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan, tahun ini justru berbalik lantaran 56,9 persen menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi.
Selain dari sisi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan, ekspektasi publik terhadap pemerintahan dalam kendali Presiden Jokowi pun semakin meningkat. Baik komitmen terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, bidang hukum, maupun maritim dinilai publik secara optimistis.
Bahkan, dari tahun ke tahun terjadi pula peningkatan sikap optimistis yang sekaligus menunjukkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan saat ini.
Besaran sikap optimistis publik semacam ini pula yang memberikan persetujuan publik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan, termasuk persoalan-persoalan yang tergolong sensitif dalam perpolitikan. Terkait dengan kebijakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Organisasi Massa, misalnya.
Kebijakan yang diikuti oleh langkah pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indponesia mendapatkan penolakan tidak lebih dari sepertiga bagian responden. Penerbitan perppu pembubaran ormas itu sebelumnya menuai perdebatan lantaran pembubaran organisasi dipandang sebagai praktik otoritarian yang membungkam kebebasan berekspresi.
Akan tetapi, dalam kacamata publik, praktik kepemimpinan Presiden Jokowi justru dinilai sebaliknya. Hasil survei CSIS mengungkapkan, skor rata-rata kepemimpinan Jokowi 4,58 (dari rentang skor penilaian 1-5), yang berarti demokratis.
Dengan mempertimbangkan dukungan yang semakin luas pada setiap latar belakang identitas dan juga faktor rasionalitas, seperti apresiasi penilaian terhadap kinerja, semakin masuk akal jika peluang keterpilihan Jokowi kian membesar. Belum ada sosok lain, termasuk rival terdekatnya, Prabowo Subianto, untuk melampauinya. Hanya, apakah temuan dan kalkulasi prediktif semacam ini dapat dijadikan suatu kesimpulan yang bersifat mutlak?
Pemetaan kemenangan dan kekalahan
Fakta bahwa terdapat kenaikan dukungan publik, sebagaimana yang dipaparkan survei CSIS terakhir, dapat diterima dengan akal sehat. Hasil survei dengan metode sejenis dipastikan tidak akan melebar dari temuan CSIS. Survei-survei periode penilaian sebelumnya yang dilakukan beberapa lembaga kredibel lain pun cenderung mengindikasikan tren peningkatan apresiasi kinerja, popularitas, hingga elektabilitas Jokowi.
Akan tetapi, yang perlu dicermati, apakah peningkatan apresiasi, popularitas, dan elektabilitas Jokowi benar-benar terjadi pada hampir semua kelompok masyarakat? Lebih khusus lagi, apakah apresiasi terhadap kinerja, popularitas, dan elektabilitas Jokowi juga meningkat di wilayah-wilayah yang terkategorikan sebagai daerah basis kekalahan Jokowi dalam Pemilu 2014?
Pencermatan terhadap dinamika dukungan ataupun penolakan terhadap Jokowi pada wilayah-wilayah yang menjadi basis kekalahan menjadi relevan mengingat perubahan pada wilayah-wilayah semacam inilah indikator kunci dari keberhasilan. Di sisi lain, wilayah-wilayah basis kemenangan pun tidak kurang penting dicermati.
Perubahan apresiasi, popularitas, dan elektabilitas di wilayah basis kemenangan juga menjadi indikator penting terhadap strategi dan kebijakan mempertahankan atau memaksimalkan dukungan terhadap sosoknya.
Terkait dengan persoalan ini, kajian terhadap peta politik kemenangan dan kekalahan Jokowi yang dipadukan dengan hasil-hasil survei kinerja hingga elektabilitas menarik dilakukan. Berdasarkan hasil Pemilu 2014, tidak kurang dari 10 provinsi sebagai wilayah kekalahan Jokowi terhadap pesaingnya, Prabowo Subianto. Jawa Barat, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Riau, Aceh, Suamtera Selatan, Banten, Maluku Utara, dan Kalimantan Selatan masuk dalam kategori ini.
Sebagian besar provinsi lainnya merupakan wilayah kemenangan dengan gradasi proporsi kemenangan yang berbeda-beda. Pertanyaannya, apakah pada setiap kategori wilayah tersebut terjadi peningkatan kinerja dan elektabilitas terhadap Jokowi?
Pada wilayah di mana Jokowi terkalahkan dalam Pemilu 2014, tren peningkatan dukungan yang didasarkan pada penilaian kinerja hingga elektabilitasnya justru tidak meningkat.
Menggunakan enam hasil survei periodik Litbang Kompas yang dilakukan sejak Januari 2015 hingga April 2017, hal itu menginformasikan bahwa terdapat variasi dinamika dukungan terhadap sosok Jokowi. Memang terdapat tren peningkatan dukungan yang signifikan terhadap sosok Jokowi dibandingkan dengan sosok-sosok lain.
Namun, pada wilayah di mana Jokowi terkalahkan dalam Pemilu 2014, tren peningkatan dukungan yang didasarkan pada penilaian kinerja hingga elektabilitasnya justru tidak meningkat. Malah, penilaian pada April 2017 dibandingkan dengan penilaian periode sebelumnya (Oktober 2016) cenderung menurun.
Sebaliknya, pada wilayah yang menjadi basis kemenangan Jokowi, peningkatan dukungan signifikan terjadi. Bahkan, jarak di antara kedua kategori wilayah tersebut menjadi semakin besar. Artinya, tren peningkatan dukungan sepanjang survei itu dilakukan tidak merata. Jurang perbedaan menjadi semakin besar.
Wilayah-wilayah yang menjadi basis kemenangannya menjadi sumber dukungan dan belum memengaruhi kalangan yang tidak memilih Jokowi pada Pemilu 2014.
Beranjak dari berbagai kajian ini, potensi kemenangan Jokowi yang kian membesar, sebagaimana yang terindikasikan dari hasil survei terbaru, tidak menjadi sesuatu yang bersifat mutlak. Peluang kemenangannya baru dapat diprediksi semakin besar jika terjadi peningkatan dukungan di wilayah-wilayah yang justru menjadi basis kekalahannya pada masa lampau. Apabila yang terjadi kini justru polarisasi dukungan yang kian menguat, terlalu dini untuk memastikan suatu kemenangan. (LITBANG KOMPAS)