Pasar Tenaga Kerja: yang Tumbuh dan yang Tersisih
Perkembangan sektor keuangan dan jasa dalam perekonomian Indonesia memberikan angin surga bagi pencari kerja. Tenaga kerja yang terjun ke sektor nontradable ini jumlahnya tidak sebanyak sektor pertanian, tetapi mereka justru menikmati upah atau penghasilan yang jauh lebih besar. Di sisi lain, pemerintah tidak memberikan stimulus yang cukup untuk menarik tenaga kerja masuk ke sektor pertanian.
Dalam sidang terbuka Dies Natalis Institut Pertanian Bogor Ke-54 di Kampus IPB, Bogor, 6 September 2017, Presiden Joko Widodo menyindir banyaknya lulusan IPB yang bekerja di bank (Kompas.com, 6/9/2017). Sindiran itu dilanjutkan dengan pertanyaan, ”Lalu siapa yang menjadi petani?” Presiden berharap mahasiswa yang sudah berpikiran modern mau terjun ke lapangan, kerja di sawah, di sektor pertanian.
Tidak sulit untuk menduga mengapa lulusan perguruan tinggi, termasuk lulusan dari institusi pendidikan pertanian sekali pun, lebih tertarik bekerja di bank atau bekerja di kota dan enggan turun ke sawah. Jawabannya tak lain sektor pertanian belum menjanjikan kesejahteraan. Bekerja di sawah dianggap belum bisa mengembalikan modal atas semua biaya yang diinvestasikan bertahun-tahun di bangku kuliah.
Hasil survei Litbang Kompas pada 2016 terhadap 1.274 siswa SMA yang akan menyelesaikan sekolahnya menyimpulkan, orientasi siswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi didasari oleh dua pertimbangan utama, yaitu idealis dan logis realistis.
Pada pertimbangan idealis, tujuan kuliah didasari oleh keinginan untuk mendapatkan ilmu di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mewujudkan cita-cita atau impian. Alasan idealis yang diutarakan mayoritas responden siswa ini (75,4 persen) sebenarnya menggambarkan masih belum jelasnya apa yang akan dikerjakan nanti selepas kuliah. Pada akhirnya, siswa dengan pertimbangan idealis ini akan realistis dalam memilih pekerjaan atau profesi setelah lulus kuliah.
Pada pertimbangan logis realistis (disampaikan oleh 16,3 responden siswa), tujuan kuliah sejak awal ditetapkan untuk kemudahan mencari pekerjaan, bahkan lebih spesifik untuk mengejar materi atau kekayaan. Jika pertimbangannya seperti ini, program studi kuliah yang dipilih sudah pasti yang terkait dengan profesi-profesi yang cepat menghasilkan uang atau memberi gaji yang tinggi. Jika begini, pekerjaan di bidang pertanian jauh dari incaran anak-anak SMA yang akan menempuh kuliah.
Kesenjangan penghasilan
Struktur perekonomian kita bisa dikelompokkan ke dalam dua sektor besar, yaitu sektor tradable dan sektor nontradable. Sektor tradable adalah lapangan usaha penghasil barang yang langsung diperdagangkan, yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan.
Termasuk dalam sektor pertanian ini adalah tanaman pangan, kehutanan, dan perikanan.
Sementara sektor nontradable adalah lapangan usaha yang tidak bisa diperdagangkan langsung, seperti sektor listrik, gas, dan air, konstruksi, perdagangan, transportasi, penyediaan akomodasi, informasi dan komunikasi, serta jasa-jasa. Pekerjaan di perbankan termasuk dalam sektor nontradable.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Februari 2017 menunjukkan upah atau pendapatan bersih sektor-sektor nontradable tergolong tinggi. Urutan tiga terbesar upah bersih tertinggi secara berturut-turut adalah sektor informasi dan komunikasi, sektor pengadaan listrik dan gas, serta sektor jasa keuangan dan asuransi. Upah bersih di sektor informasi dan komunikasi rata-rata adalah Rp 4,32 juta per bulan. Upah bersih di sektor pengadaan listrik dan gas rata-rata adalah Rp 4,14 juta per bulan. Upah bersih di sektor jasa keuangan dan asuransi rata-rata adalah Rp 4,09 juta per bulan.
Upah ini jauh berbeda dibandingkan dengan di sektor pertanian yang pada periode yang sama besarnya hanya Rp 1,25 juta per bulan. Artinya, upah di sektor jasa keuangan yang banyak diincar lulusan perguruan tinggi itu besarnya tiga kali lipat dibandingkan upah di sektor pertanian. Tentu ini sangat menggiurkan.
Upah di sektor jasa keuangan dari tahun ke tahun selalu meningkat. Sebagai gambaran, dalam rentang empat tahun terakhir (Februari 2013 hingga Februari 2017), upah bersih per bulan di sektor jasa keuangan naik 70 persen. Sementara di sektor pertanian upah bersih hanya meningkat 54 persen pada periode yang sama.
Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor jasa keuangan ini lebih sedikit dibandingkan di sektor pertanian. Jumlah tenaga kerja di sektor jasa keuangan sekitar 1,5 persen dari total tenaga kerja. Secara nominal jumlahnya hanya 1,4 juta-1,8 juta tenaga kerja. Jumlah ini jauh berbeda dengan tenaga kerja di sektor pertanian yang porsinya terhadap total tenaga kerja 34-35 persen (hampir 40 juta tenaga kerja).
Tren tenaga kerja di kedua sektor ini pun berkebalikan.
Terjadi penurunan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 2,7 persen selama periode 2013-2017. Sementara dalam periode yang sama, jumlah tenaga kerja di sektor jasa keuangan naik 13 persen. Proporsi pekerja dalam satu dekade terakhir memang mulai bergeser dari sektor primer (pertanian dan pertambangan) ke sektor jasa.
Struktur usia pekerja di sektor pertanian pun mulai menua. Sebanyak 60 persen pekerja sektor pertanian sudah berusia di atas 40 tahun. Terbanyak berada di usia di atas 60 tahun, yaitu hampir 7 juta pekerja (17,6 persen). Sementara itu, sektor jasa lebih banyak diminati anak-anak muda usia kurang dari 40 tahun (68 persen), terbanyak ada di rentang usia 25-29 tahun, yaitu 469.773 pekerja (35,5 persen).
Nasib Petani
Kondisi sektor jasa keuangan dan pertanian bagaikan langit dan bumi. Sektor jasa keuangan akan selalu memiliki daya tarik tinggi bagi lulusan sarjana. Geliat perekonomian secara umum kita tengah mengarah pada ekonomi berbasis teknologi dan informasi yang diperkuat dengan jasa keuangan. Sektor-sektor ini akan menawarkan pundi-pundi dan kemapanan hidup. Sektor jasa keuangan kini bertumbuh rata-rata di atas pertumbuhan nasional, yaitu 7,6 persen per tahun.
Sementar, sektor pertanian yang bertumbuh hanya 3-4 persen per tahun identik dengan kesulitan hidup atau kemiskinan. Meski sektor pertanian masih menjadi penyumbang nomor dua dalam struktur produk domestik bruto—setelah sektor industri pengolahan—menjadi petani belum menjadi profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Bahkan, petani tergolong ke dalam kelompok masyarakat yang termarjinalkan.
Hidup petani baru bisa dianggap lebih baik jika memiliki lahan seluas 4 hektar. Namun, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah terbesar petani adalah pemilik dengan luas lahan tidak sampai 2 hektar yaitu 22,9 juta rumah tangga atau 87,63 persen dari total rumah tangga petani. Dari jumlah tersebut, mayoritas adalah pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar atau disebut juga petani gurem. Sementara yang berstatus sebagai buruh tani jumlahnya lebih dari 5 juta rumah tangga.
Dengan kepemilikan lahan yang kecil atau bekerja hanya sebagai buruh tani, pendapatan yang diterima petani tidak bisa menutup biaya yang dikeluarkan untuk produksi dan konsumsi. Nilai tukar petani sejak beberapa tahun terakhir (2013-2017) berfluktuasi, bahkan cenderung di bawah 100. Artinya, tingkat harga yang dibayarkan petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diterima petani dari hasil produksinya. Terjadi penurunan daya beli petani terhadap barang-barang konsumsi.
Petani mengalami kesulitan sejak dari hulu hingga hilir. Sejak dari pembiayaan produksi hingga pemasaran hasil pertaniannya. Dari hasil Sensus Pertanian 2013 diketahui 99,4 persen petani tidak menerima bantuan pembiayaan. Bantuan berupa subsidi harga diterima lebih untuk pembelian pupuk. Namun, hanya sedikit (kurang dari 10 persen) yang menerima bantuan secara gratis untuk faktor produksi lainnya, seperti bibit, pestisida, atau alat pertanian.
Ketika panen dilakukan, petani masih menderita untuk harga pembelian gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling yang dijual. Apalagi setelah pemerintah per 1 September 2017 memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium. Dengan HET beras medium sebesar Rp 9.450 per kilogram, harga GKP di tingkat petani turun menjadi Rp 3.715/kg. Harga ini jauh di bawah biaya produksi yang mencapai Rp 4.200/kg. Jika begini, petani jelas dirugikan oleh kebijakan pemerintah.
Jika kondisi petani terus-menerus seperti ini, tidak ada stimulus yang bisa menarik anak-anak muda lulusan perguruan tinggi unggulan masuk ke sektor pertanian. Profesi petani akan ditinggalkan dan sektor yang menjadi tulang punggung kedaulatan pangan ini pun bakal kian tersisih. (Gianie/Litbang Kompas)