PDI-P dan Ideologi (1): Dua Akar yang Berbeda
Anggapan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P bisa disamakan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kerap muncul dalam wacana politik kekuasaan di tanah air. Pernyataan yang bernada sarkastis tersebut tidak lepas dari situasi politik bangsa belakangan ini, terlebih menjelang kontestasi politik dua tahun ke depan.
Meski telah bergulir ke meja hukum, langkah ini tidak akan menghentikan perang pernyataan antarpolitisi yang semakin jelas pengelompokan politik mereka.
Isu PDI-P diidentikkan dengan PKI bermula dari pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono pada 31 Juli lalu. Pernyataan ini awalnya merupakan respons dari kritik yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristyanto. Hasto menanggapi pernyataan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden sebagai lelucon politik yang membohongi rakyat.
Arief yang mendukung pernyataan ketua umum partainya, bahkan memberi penilaian yang lebih keras. Baginya, ambang batas 20-25 persen yang ada dalam UU Pemilu yang baru bukan lagi sekadar lelucon politik yang membohongi masyarakat, bahkan para politisi di DPR yang menyetujui UU tersebut dianggapnya sudah tidak waras.
“... yang menyetujui UU Pemilu tersebut kurang waras dan melanggar hak konstitusi para pemilih pemula dan menganggap rakyat bodoh hanya demi memulai sebuah rencana kecurangan dalam Pemilu 2019,” ungkap Arief.
Menurutnya, jika yang dijadikan dasar parliamentary threshold (PT) atau ambang batas parlemen adalah hasil Pemilu 2014, maka para pemilih pemula akan kehilangan hak pada Pemilu 2019. Karena itulah Arief sependapat dengan Prabowo bahwa Presiden Joko Widodo, PDI-P beserta partai pendukung pemerintah telah membohongi masyarakat.
Arief pun sesumbar bahwa pihak-pihak yang mendukung UU Pemilu kurang sampai otaknya untuk memikirkan tentang sebuah arti hak konstitusi warga negara dalam negara yang berdemokrasi. “Jadi, wajar saja kalau PDI-P sering disamakan dengan PKI, habis sering buat lawak politik dan nipu rakyat sih,” pungkasnya.
Pernyataan inilah yang memicu polemik antara jajaran pimpinan dan pendukung PDI-P dengan Waketum Gerindra tersebut yang berbuntut pada proses hukum. Meskipun Arief sudah mengklarifikasi maksud pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, pernyataan tersebut tetap saja telah melukai pendukung PDI-P.
Bukan kali ini saja partai yang didirikan putri proklamator ini digelayuti isu komunisme. Pada Mei 2016 Guruh Prabowo dari Kodim 0622 Kabupaten Sukabumi menuduh Ribka Tjiptaning, politisi PDI-P yang juga anggota DPR RI dari Dapil Sukabumi, sebagai orang yang berpaham komunis. Senada dengan Guruh, mantan Panglima Kostrad Kivlan Zein pun menuding Ribka sebagai personifikasi PKI yang ada di parlemen yang masuk melalui partai politik.
Pimpinan dan kader PDI-P sudah tahu bahwa keberadaan Ribka di partai ini pasti akan menjadi sasaran tembak lawan politik lantaran status dirinya sebagai anak dari mantan narapidana PKI. Politisi PDI-P sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin bahkan secara terang-terangan menyebutkan, di PDI-P ada anak PKI, yaitu Ribka Tjiptaning.
Namun demikian, para pimpinan PDI-P menolak keras tudingan bahwa keberadaan Ribka selama ini telah menyebarkan paham komunisme di dalam tubuh PDI-P. Ribka dan PDI-P sama sekali tidak terkait dengan paham komunis atau marxisme.
Isu komunisme ini pun kemudian dibidikkan ke arah posisi Presiden Joko Widodo melalui gagasan revolusi mental yang menjadi semangat utama pemerintahannya. Revolusi mental dituding sebagai upaya membangkitkan komunisme.
Makin jauh, PDI-P sebagai partai pengusung Jokowi juga tidak luput dari sasaran tembak isu ini. Upaya partai banteng dianggap sebagai bagian dari upaya untuk membangkitkan kembali komunisme di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa PDI-P kerapkali menjadi target tudingan sebagai partai yang memiliki keterkaitan dengan PKI meskipun secara ideologis garis perjuangan PDI-P berbeda dengan paham komunisme?
Akar Ideologi
Membahas peta kekuatan politik Indonesia rasanya kurang afdol kalau tidak menyinggung keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pernah berjaya pada era 1950-an. Sepintas, kedua partai ini hampir serupa. Warna yang digunakan sebagai panji perjuangan sama-sama mengambil warna merah yang melambangkan keberanian.
Basis dukungan terkuat keduanya pun berasal dari kalangan rakyat biasa, dan mendominasi suara pemilih di Jawa. Dalam soal ideologi, nuansa kerakyatan yang diangkat sebagai isu utama perjuangan partai juga sama, memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Namun, budaya organisasi dan mekanisme operasionalisasi ideologi kedua partai ini memiliki landasan yang berbeda, yang membuat perilaku organisasi, jargon politik, dan strategi yang digunakan keduanya menjadi sangat berlainan.
PKI adalah partai yang berlandaskan pada ideologi Marxisme-Komunisme yang membawa jargon politik pertentangan kelas sebagai landasan utama perjuangannya. Di Indonesia, cikal bakal PKI berasal dari Indies Social Democratic Association (ISDV) yang didirikan oleh Henk Sneevliet tahun 1914 dan dikukuhkan pembentukannya pada 1920 di Semarang.
Setelah berubah menjadi PKI, partai ini tercatat dalam sejarah pernah melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Hindia Belanda pada 1926 dan kepada pemerintah Republik Indonesia tahun 1948. Kedua pemberontakan tersebut berhasil digagalkan, namun paham komunisme tetap eksis. Akibatnya, PKI yang dilahirkan kembali masih memiliki akar ideologi yang sama dengan yang sudah pernah ada.
Dalam melakukan aksinya, PKI sangat agresif dalam melakukan propaganda pertentangan kelas dan terus memelihara kebencian kaum tani kepada tuan tanah. Dalam kerangka permusuhan ini, PKI menunjukkan keberpihakannya kepada petani dengan menekankan kegiatannya pada pengabdian kepada urusan kaum petani miskin, dan menyatukan diri dengan mereka.
Keberpihakan ini merupakan siasat politik yang bertujuan untuk meraup dukungan para petani dan masyarakat kelas bawah agar bisa dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan partai. Tradisi rapat raksasa PKI merupakan mekanisme mobilisasi para petani secara besar-besaran kemudian menghasut mereka untuk melenyapkan segala “penghisapan dan ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh kaum ningrat, setengah feodal, dan kelas-kelas yang ada.
Menyulut kebencian kepada kaum ningrat dan pejabat dianggap strategi yang bisa meningkatkan kesadaran kelas di kalangan petani untuk mempersiapkan landasan bagi pemberontakan massal ketika tiba masanya. Karakter ideologi PKI dengan demikian menjadi agresif, radikal, dan revolusioner dalam menggapai tujuan-tujuan politiknya.
Watak inilah yang membuat PKI mudah diterima oleh masyarakat yang saat itu rentan terhadap isu penindasan, terutama kaum tani dan buruh. Doktrin dan garis perjuangan yang revolusioner ini mampu menyulut keberanian para petani dan buruh untuk melawan dan memberontak.
Sementara itu, Partai Nasional Indonesia atau PNI adalah partai nasionalis yang didirikan oleh Soekarno pada 1927. Partai ini memiliki ciri Sosio-Nasionalisme-Demokrasi atau biasa diasosiasikan dengan Marhaenisme. Dengan ideologi Marhaenisme ini PNI mengklaim sebagai partai yang berjuang untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Lantaran semangat anti-imperialisme dan kolonialisme ini membuat watak perjuangan PNI menjadi terkesan radikal, terlebih karena menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Usia PNI tidak bertahan lama, tahun 1931 PNI dibubarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda lantaran kegiatan politiknya dianggap sebagai ancaman. (Sultani/Litbang Kompas) (BERSAMBUNG)