Mengurai Kriteria Ideal Ibu Kota Baru
Wacana pemindahan ibu kota negara Indonesia kembali menguat. Kepala Bappenas/Menteri PPN Bambang Brodjonegoro menyebut nama Kota Palangkaraya sebagai alternatif pengganti Jakarta sebagai ibu kota. Keseriusan upaya pemerintah memindahkan ibu kota ditegaskan dengan kajian dan skema pendanaannya yang disebut akan rampung tahun ini.
KOTA Palangkaraya, Kalimantan Tengah, paling sering disebut sebagai alternatif lokasi baru ibu kota pengganti Jakarta. Proklamator dan presiden pertama RI, Soekarno, pada tahun 1957 pertama kali mengangkat nama Kota Palangkaraya sebagai calon ibu kota pengganti Jakarta. Gagasan pemindahan ibu kota ini tidak pernah terealisasi sampai saat ini.
Apabila dirunut dari sejarah, salah satu alasan Bung Karno memilih Palangkaraya sebagai ibu kota RI waktu itu (1957-1958) karena letaknya yang berada di tengah-tengah NKRI. Hal itu diungkap oleh Wijanarka, penulis buku Sukarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya dalam wawancara dengan BBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Pemindahan ibu kota ke luar Jakarta ketika itu dinilai perlu karena Soekarno mengharapkan Indonesia memiliki ibu kota ”yang dibangun oleh anak bangsa sendiri”. Seperti yang sudah diketahui selama ini, Jakarta dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Palangkaraya atau beberapa kota lain di Pulau Kalimantan tak hanya layak dipertimbangkan menjadi ibu kota RI, dengan mempertimbangkan faktor lokasi dan aksesibiltas yang berada di tengah-tengah Indonesia, tetapi juga layak dari beberapa faktor penting lain. Salah satunya adalah tingkat kerawanan terhadap bencana yang relatif rendah.
Hal ini terungkap dalam seminar Sustainable Development Goals Ke-20, Rabu (30/8), yang bertajuk ”Ke Mana Ibu Kota Negara Indonesia Akan Dipindah?” yang diadakan di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut ahli geomorfologi tanah UGM, Junun Sartohadi, berdasarkan tingkat kerawanan bencana, misalnya, pemilihan lokasi ibu kota harus mempertimbangkan tipe bencana alam yang mempunyai intensitas relatif paling rendah dan tipe ancaman bencana yang paling mudah ditangani. ”Memang tidak ada satu pun tempat di muka bumi ini yang tidak bisa bebas dari ancaman bencana. Oleh karena itu, kita bisa memilih bencana apa yang paling bisa ditangani,” papar Junun.
11 kriteria ibu kota
Untuk itu, guna memilih lokasi baru yang ideal sebagai ibu kota RI, Guru Besar Geografi Tanah UGM ini membuat 11 kriteria daerah untuk menyaring wilayah-wilayah yang layak atau lolos untuk menjadi ibu kota dari persyaratan kondisi fisik alamnya. Kriteria pertama adalah apakah wilayah calon ibu kota merupakan kawasan aktif kegempaan atau tidak.
Lalu, kriteria kedua, apakah wilayah calon ibu kota tersebut merupakan kawasan gunung api aktif atau tidak. Kriteria selanjutnya, apakah wilayah calon ibu kota merupakan kawasan pegunungan (> 600 mdpl) dan bertanah tebal atau tidak.
Merujuk pada kriteria pertanyaan pertama, yakni apakah wilayah tersebut merupakan kawasan aktif kegempaan, kriteria ini sudah bisa menyaring wilayah atau kota-kota yang berada di pulau-pulau besar atau utama di Indonesia, yakni Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua, tersisih dari percaturan sebagai lokasi ibu kota baru.
Alasannya, hanya kota-kota di Pulau Kalimantan yang wilayahnya relatif bebas dari ancaman gempa. Sementara Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua masuk dalam bagian wilayah yang disebut Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik, yakni daerah-daerah yang masuk jalur tersebut sering mengalami gempa bumi dan bahaya letusan gunung api akibat banyaknya aktivitas seismik.
Dengan demikian, kota-kota yang berada dalam zona tersebut dipastikan tidak layak menjadi lokasi ibu kota menurut kriteria pertama dan kedua, yakni calon ibu kota berada dalam kawasan aktif kegempaan dan gunung api aktif. Bencana yang disebabkan oleh aktivitas kegempaan ataupun letusan gunung api adalah intangible atau tidak dapat dijinakkan, tidak dapat diperkirakan dengan tepat kapan datangnya dan seberapa besar intensitasnya.
Jadi, secara keseluruhan pemilihan lokasi baru ibu kota harus mempertimbangkan ancaman kegempaan, tsunami, vulkanisme (akibat aktivitas gunung api), air pasang, longsor, banjir, banjir bandang, amblesan, rayapan tanah, kebakaran lahan, hingga ancaman bahaya kekeringan.
Berdasarkan kondisi geografis wilayahnya, yakni aksesibilitas lokasi dan kondisi fisik wilayah dengan risiko bencana yang lebih rendah, Pulau Kalimantan menjadi alternatif terbaik sebagai calon ibu kota RI. ”Pengurangan risiko bencana harus diawali dari penentuan lokasi terlebih dahulu. Apabila salah menempatkan lokasi, akibatnya semua hal berikutnya akan salah dan berbiaya sangat mahal,” jelas Junun.
Pengurangan risiko bencana diawali dengan pemilihan lokasi secara fisik yang benar berbasis analisis geomorfologi tanah. Pemilihan lokasi didasarkan atas tipe ancaman bencana yang relatif paling mudah ditangani dan tipe ancaman bencana yang mempunyai intensitas relatif paling rendah dan apabila diperlukan mitigasi struktural dan nonstruktural direncanakan dan dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan pembangunan.
Penentuan lokasi yang tepat untuk ibu kota baru, menurut Junun, tidak harus dikembangkan dari kota yang saat ini telah ada. Junun menyebutkan bahwa kondisi ideal ibu kota negara yang baru nanti memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat perdagangan-industri.
Ibu kota negara dirancang sebagai kota mandiri dengan berbagai kelengkapan teknologi yang terkini (energi, telekomunikasi, transportasi, dan infrastruktur lain). Syarat yang tak kalah penting, ibu kota harus dirancang sebagai kota dengan proporsi ideal antara kapasitas jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
Persoalan kependudukan menjadi salah satu persoalan terpenting dari pemindahan ibu kota. Persoalan penduduk bisa menjadi penyebab ataupun tujuan kenapa ibu kota suatu negara dipindah. Selama ini, persoalan kependudukan banyak disebut sebagai penyebab mendesaknya pemindahan ibu kota dari Jakarta.
Jakarta dan kawasan penyokongnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) saat ini sudah semakin padat, macet, dan rawan banjir. Daya dukung lahan dan air di wilayah Jabodetabek semakin buruk. Kondisi ini membuat Jakarta kerap dianggap tak layak lagi menjadi ibu kota negara.
Meski demikian, pakar kependudukan UGM, Sukamdi, berpendapat bahwa masalah kependudukan adalah faktor penting dalam pemindahan ibu kota. Pemerintah dinilai jarang mengangkat masalah kependudukan sebagai argumen dasar dalam wacana pemindahan ibu kota.
”Saya sampai sekarang belum sekali pun pernah mendengar pernyataan dari pemerintah bahwa pindah ibu kota sebagai tujuan demografis atau bagian dari politik kependudukan,” ucap Sukamdi.
Oleh karena itu, hingga saaat ini belum jelas apakah persoalan kependudukan ini intended atau unintended. Intended berarti ada target sejak awal berapa jumlah penduduk yang akan menghuni ibu kota yang baru, contoh Putrajaya di Malaysia: jumlah penduduk siang hari dirancang sebesar 500.000 jiwa dan malam hari sebanyak 347.700 jiwa (Othman and Wee, tanpa tahun).
Sementara unintended berarti dampak kependudukan dipahami sebagai bagian yang alami atau dibiarkan begitu saja secara alami.
Lokasi Ideal
Berdasarkan saringan 11 kriteria lokasi (lihat Tabel 1) serta asumsi-asumsi mengenai prasyarat ideal ibu kota baru, ada sejumlah alternatif lokasi yang cocok. Junun Sartohadi, antara lain, menyebut wilayah perbukitan di kaki Pegunungan Meratus (Fore Meratus Hills).
Pegunungan Meratus berada di sebelah tenggara Pulau Kalimantan dan membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua. Kawasan ini terbagi menjadi delapan wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tapin.
Di Provinsi Kalimantan Timur empat wilayah, antara lain Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kabupaten Kutai Barat bagian selatan. Di Provinsi Kalimantan Tengah meliputi sebagian kecil Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Timur.
Bentuk lahan kawasan tersebut berupa perbukitan struktural lipatan dengan penggelombangan ringan, tersusun atas material batu pasir, terletak pada zona iklim basah (Am). Wilayah tersebut memiliki ancaman bencana yang paling mudah ditangani dan tipe ancaman bencananya mempunyai intensitas paling rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Kondisi topografi perbukitan dengan struktur lipatan penggelombangan ringan membuat wilayah ini tidak rawan terjadi bencana longsor. Wilayah ini tanahnya bermaterial batu pasir sehingga aman dari bahaya longsor ataupun ambles, tidak seperti umumnya daerah-daerah bertanah gambut yang banyak terdapat di wilayah Pulau kalimantan. (Anung Wendyartaka/LITBANG KOMPAS)
Pegunungan Meratus
Sumber: Laman Epictio