Peluang Calon Presiden Berlatar Belakang Militer
JENDERAL Gatot Nurmantyo mulai digadang sebagai sosok potensial untuk menjadi calon presiden pada Pemilu 2019 mendatang. Bermodal terbesar dari dunia kemiliteran, posisi sebagai Panglima TNI, serta berbagai aksi dan komentar yang ditunjukkan belakangan ini, ia menjadi alternatif di antara dua kutub persaingan, Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Apabila momen pencalonan ini berlanjut, seberapa besar peluang keterpilihannya?
Sepak terjang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belakangan ini semakin menyedot perhatian publik. Terbaru, pernyataannya dalam silaturahim TNI dan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap terkait adanya institusi tertentu yang akan membeli 5.000 senjata. Pernyataan itu mengagetkan dan berujung polemik.
Pasalnya, jika orang nomor satu dalam militer menyatakan adanya pembelian sejumlah besar peralatan militer di luar institusi militer, dikesankan pula di luar jalur resmi, jelas menjadi persoalan ancaman keamanan nasional yang amat serius.
Masih dalam hitungan hari, sebelumnya ia pun menginstruksikan nonton bersama film lawas Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Film produksi 1984 yang pada era Orde Baru intens diputar dan kini mulai dilupakan lantaran lebih banyak dianggap sebagai bentuk propaganda itu menguak kembali catatan kelam sejarah politik bangsa ini. Atas instruksinya itu, kembali polemik terjadi.
Jika ditelusuri, tidak berhenti sampai di situ komentar Panglima TNI yang dianggap mencengangkan, berbeda dengan sesama penyelenggara negara lainnya, dan bersifat kontroversial.
Pada saat Polri menetapkan para tersangka aksi massa dengan tuduhan upaya makar akhir Maret lalu, ia justru mengatakan kabar makar tersebut hoaks untuk menakuti rakyat (Kompas TV, 4/5/2017). Secara terbuka di DPR, ia juga pernah berbeda pandangan dengan Menteri Pertahanan (Kompas 7/2/2017), dan membacakan puisi bermuatan kritik terhadap pemerintah dalam ajang Rapimnas Partai Golkar di bulan Mei lalu (Kompas.com, 22/5/2017).
Namun, menarik dicermati jika sisi kontroversial yang ditampilkannya itu tidak melekat sepanjang karier kedudukannya sebagai penyelenggara negara. Penelusuran terhadap berbagai pemberitaan Kompas selama ini (2009-2017) yang menampilkan namanya menunjukkan, baru pada belakangan ini komentarnya memancing polemik.
Sebelumnya, lebih terkesan normatif. Periode sebelum pengangkatannya sebagai Panglima TNI, tidak banyak komentar Gatot yang terhimpun, selain pernyataan dalam kegiatan-kegiatan profesional sebagai Gubernur Akademi Militer, Pangdam V Brawijaya, Komandan Kodiklat TNI AD, Pangkostrad, KSAD, ataupun dalam kegiatan pembinaan olahraga bela diri seperti judo.
Awal pengangkatannya sebagai Panglima TNI awal Juli 2015 pun demikian. Berbagai pernyataan terlontarkan terkait dengan perhatiannya pada persoalan internal TNI, seperti konsolidasi manajemen alat utama sistem persenjataan (Kompas, 9 Juli 2015) dan berupaya membangun kebersamaan TNI dan Kepolisian Negara RI dalam mengatasi konflik (Kompas, 2/9/2015).
Dia juga mengingatkan ancaman perang proksi yang melibatkan pihak ketiga untuk penguasaan sumber daya alam Indonesia (Kompas, 14/12/2015).
Selepas pertengahan tahun 2016, sejalan dengan mulai maraknya aksi-aksi unjuk rasa, penekanan pada posisi profesional TNI yang berdiri di atas kepentingan bangsa dan negara, menjaga kebinekaan, dan tidak menoleransi gerakan pemecah belah bangsa mulai banyak ia tekankan (Kompas, 26/9/2016; 30/10/2016).
Pada periode ini pula ia mengungkapkan adanya ”kekuatan politik” yang berperan sehingga perintah pembatalan pembelian helikopter Agusta Westland AW 101 tidak dituruti (Kompas, 27/12/2016; 7/2/2017). Selanjutnya, beberapa pernyataan yang dinilai kontroversial kembali menjadi polemik.
Semenjak mencuatnya nama Panglima TNI dalam pusaran pemberitaan dan perbincangan publik, di saat itu pula kiprahnya dikaitkan dengan agenda politik Pemilu 2019 mendatang. Partai politik sebagai institusi yang berkepentingan dalan pencalonan presiden pun semakin intens mengamati sepak terjang Panglima TNI.
Presiden PKS Sohibul Iman, misalnya, menganggap Gatot Nurmantyo sebagai salah satu calon presiden yang potensial didukung. Sekalipun partainya belum memikirkan persiapan khusus Pilpres 2019, Presiden PKS mengungkapkan salah satu wilayahnya sudah meminta mendukung Gatot Nurmantyo (Detik.com, 29/9/2017).
Begitu pula sebelumnya, Ketua DPP PAN Yandri Susanto juga menguak peluang Gatot Nurmantyo sebagai calon presiden alternatif, selain Jokowi dan Prabowo (Kompas.com, 18/8/2017).
Terkait dengan bursa pencalonan presiden, sejauh ini Gatot Nurmantyo sendiri masih menyatakan belum berpikir maju dalam pemilihan presiden. Terakhir, dalam momen 17 Agustus 2017 lalu di Mabes TNI Cilangkap, misalnya, ia menyatakan sampai saat ini masih berniat menyelesaikan masa baktinya menjadi orang nomor satu di TNI.
Partai politik sebagai institusi yang berkepentingan semakin intens mengamati sepak terjang Panglima TNI.
Menakar peluang
Kemunculan nama Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam bursa pencalonan presiden, terlepas ia berminat ataupun tidak, menjadi menarik dicermati dalam konteks kemunculan sosok berlatar belakang militer sebagai calon presiden.
Pasalnya, semenjak bursa pencalonan presiden 2014 lalu, ajang Pemilu 2014, hingga kini sosok-sosok yang dirujuk paling kompeten sebagai calon presiden 2019 mendatang tidak beranjak dari pamor Presiden Joko Widodo dan rivalnya Prabowo Subianto.
Hasil survei periodik Litbang Kompas terkait dengan kepemimpinan negara menunjukkan semenjak tahun 2012 hingga 2017, hanya menempatkan kedua sosok tersebut yang dianggap paling layak dan terbanyak dipilih responden sebagai presiden.
Survei terakhir yang dilakukan CSIS, pengujung Agustus 2017 lalu (Lihat tulisan sebelumnya, ”Peluang Jabatan Kedua Kepresidenan Jokowi”) bahkan menunjukkan semakin menguatnya posisi keterpilihan Presiden Jokowi dan di sisi lain cenderung terjadi stagnasi keterpilihan Prabowo.
Saat ini selisih di antara kedua sosok tersebut terpaut hingga separuhnya. Namun jika digabungkan, kedua sosok tersebut sudah menguasai hingga 76 persen pemilih dan hanya menyisakan sedikit ruang yang tersebar kepada calon-calon lain dalam proporsi yang kurang signifikan.
Dari berbagai hasil survei selama ini, kemunculan sosok-sosok lain yang dipersepsikan publik layak menjadi presiden tidak banyak memberikan kejutan. Beberapa sosok yang berlatar belakang kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) juga tidak mencolok dipersepsikan sebagai presiden.
Nama seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, dan beberapa nama pemimpin daerah lain tampak masih konsisten muncul. Namun, tingkat keterpilihan mereka relatif kecil dan cenderung tidak menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, kiprah deretan para politisi hingga jabatan tertinggi sebagai pemimpin partai politik yang berkiprah selama ini belum mampu membuat publik berpaling. Sosok ketua umum partai, seperti Megawati Soekarnoputri, Setya Novanto, Surya Paloh, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Sohibul Iman, Romahurmuziy, belum tampak populer.
Sekalipun dikenal, tidak banyak direferensikan sebagai presiden mendatang. Pada berbagai survei terdahulu pun sosok-sosok berlatar belakang politisi karier tidak pernah menonjol.
Dibandingkan dengan sosok-sosok berlatar belakang lainnya, tampilnya sosok pemimpin berlatar belakang militer menjadi sesuatu yang berbeda. Nama seperti Panglima TNI Gatot Nurmantyo baru pada survei terakhir muncul sebagai sosok yang dijadikan rujukan sebagai calon presiden.
Selain Panglima TNI, nama putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, yang pernah meniti berkiprah di dunia kemiliteran juga pada survei terakhir ini mulai disebut-sebut sebagai calon presiden.
Latar belakang militer tidak dapat dimungkiri menjadi daya tarik tersendiri bagi persaingan kursi kepresidenan. Hasil-hasil survei menunjukkan semenjak era Pilpres 2004 lalu sosok pemimpin berlatar belakang militer menarik minat publik.
Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil menjadi presiden saat itu, Wiranto, Agum Gumelar, dan selanjutnya pada Pemilu 2009, selain Susilo Bambang Yudhoyono, tampil Wiranto, Prabowo Subianto, merupakan sosok-sosok yang lebih dikenal publik dengan latar belakang kemiliterannya. Popularitas dan elektabilitas mereka pada eranya tergolong signifikan.
Kiprah personal ditopang pula oleh nama institusi. Dalam penilaian masyarakat, TNI menjadi institusi yang paling disikapi positif. Hasil berbagai survei opini publik menunjukkan, selepas era 1998 hingga kini apresiasi terhadap institusi TNI tampak tinggi.
Lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan baik kinerja TNI selama ini. Oleh karena itu, menjadi tampak relevan jika hasil survei-survei kepemimpinan kerap kali merujuk penerimaan yang tinggi terhadap calon-calon pemimpin berlatar belakang militer.
Akan tetapi, saat ini tingkat elektabilitas sosok berlatar belakang militer, kecuali Prabowo Subianto, masih relatif kecil. Dengan menggunakan acuan hasil survei CSIS, Gatot Nurmantyo sendiri dipilih hanya oleh 1,8 persen responden.
Sekalipun demikian, kemunculan pertama kalinya sosok berlatar belakang militer dalam survei ini mengindikasikan suatu prospek. Kehadiran calon demikian dapat dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sosok-sosok berlatar belakang lainnya yang sebelumnya sudah bertengger tetapi mengalami stagnasi popularitas hingga elektabilitas.
Hanya persoalannya, bagi kalangan berlatar belakang militer seperti Gatot Nurmantyo, apakah masih tersisa ruang lebar bagi penguasaan pemilih di tengah polaritas dukungan pada Presiden Jokowi dan Prabowo?
Dengan menggunakan acuan hasil survei CSIS, Gatot Nurmantyo dipilih hanya oleh 1,8 persen responden.
Celah pemilih
Dalam kondisi terbilang normal dan apabila besaran peluang setiap calon disandarkan pada kalkulasi rasional, dukungan publik dari kalangan yang belum memiliki pilihan paling relevan dinilai sebagai prospek bagi calon pendatang baru.
Jika diperluas, termasuk juga kalangan yang memilih sosok di luar Presiden Jokowi dan Prabowo. Bersandar pada pemilahan demikian, hasil survei opini CSIS menunjukkan, tidak kurang 25 persen jumlahnya.
Siapakah kalangan ini? Jika dielaborasi berdasarkan latar belakang identitas sosio-demografisnya, lebih besar kalangan berjenis kelamin perempuan, berasal dari luar Jawa dan beragam Islam. Dari sisi pendidikan, lebih besar kalangan berpendidikan tinggi dan berpenghasilan menengah.
Kalangan bekerja sebagai pedagang, berprofesi mahasiswa dan ibu rumah tangga juga besar dibandingkan dengan kalangan petani, buruh, ataupun kaum profesional.
Dari sisi identitas kepartaian, masih pula terdapat potensi penguasaan. Hasil survei menunjukkan hingga saat ini tidak semua pemilih partai tergolong loyal terhadap pilihan calon presiden.
PKS menjadi partai yang tertinggi proporsi pilihan calon di luar Jokowi dan Prabowo. Selanjutnya, Demokrat, PAN, Nasdem, PPP, Hanura yang masih menyisakan sekitar seperempat bagian dari pemilih partai tersebut yang tidak memilih Jokowi ataupun Prabowo. Bahkan, di kalangan pemilih Gerindra 21,8 persen mengaku tidak memilih Prabowo Subianto ataupun Jokowi. Di kalangan pemilih PDI-P, terdapat 11,7 persen yang tidak memilih Presiden Jokowi ataupun Prabowo.
Sekalipun jumlahnya tergolong signifikan, tetap masih menyisakan pertanyaan besar apakah karakteristik pemilih yang menyatakan pilihan di luar Presiden Jokowi dan Prabowo itu punya preferensi yang kuat dengan sosok berlatar belakang militer seperti halnya Gatot Nurmantyo? Masih terlalu dini memang menafsirkannya.
Semua masih serba relatif dan bersifat dinamis. Begitu pula pada para pemilih yang sudah terang-terangan mengaku memilih Presiden Jokowi ataupun Prabowo, tidak menjadi jaminan pula pilihan presiden yang mereka lontarkan bersifat mutlak.
Persoalan menjadi semakin relatif jika dikaitkan dengan mekanisme pencalonan presiden pada pemilu mendatang. Sistem pemilu presiden yang menetapkan ambang batas sebesar 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pemilu legislatif membuat langkah politik calon-calon alternatif, termasuk sosok berlatar belakang militer yang selama ini jauh dari urusan kepartaian dan perpolitikan, menjadi semakin berat.
Artinya, peluang calon berlatar belakang militer tidak hanya dihadapkan pada realitas pilihan pemilih yang kini semakin terpolarisasi pada kedua sosok, tetapi juga pada entry barrier partai politik dalam sistem Pilpres 2019 yang tidak kompetitif, yang semakin menutup ruang bagi banyak kalangan untuk dicalonkan sebagai presiden.
Akan tetapi, semua kendala tidak berarti pupus peluang pencalonan kepresidenan. Bagi calon berlatar belakang militer, kiprah perpolitikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa lalu merupakan rujukan paling ideal. Latar belakang militer, dikenal santun, pintar, tampan, menjadi daya tarik terbesar pada dirinya.
Peluang calon berlatar belakang militer dihadapkan tidak hanya pada realitas pilihan pemilih yang makin terpolarisasi dua sosok.
Melepas karier militer, duduk dalam pemerintahan, selanjutnya terjun dalam panggung politik, dan masuk nominasi pencalonan calon wakil presiden. Ia populer dalam pilihan rakyat, tetapi gagal dalam mekanisme pilihan tidak langsung di Sidang Istimewa MPR. Gagal dalam pencalonan wakil presiden tidak membuat tamat karier politik dalam lingkaran kekuasaan negara.
Ia dipercaya Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Menko Polkam. Menyiapkan partai politik baru yang mengantarnya sebagai calon presiden, dan pada akhirnya kursi kepresidenan ia rebut dalam ajang Pemilu Presiden 2004 hingga berlanjut dua periode kepemimpinan.
Singkatnya, karier cemerlang Yudhoyono dibangun oleh modal lengkap yang melekat pada dirinya serta kepiawaian dalam berstrategi politik. Dalam konteks saat ini, di tengah arus persaingan dua sosok, Presiden Jokowi dan Prabowo, yang kian menguat dan pada sisi lain semakin sempitnya ruang bagi kehadiran para sosok-sosok yang dianggap layak sebagai presiden, pintu masuk ruang masih belum tertutup.
Terkait dengan hal tersebut, upaya menampilkan aksi-aksi yang mampu menarik perhatian luas publik menjadi pilihan yang cukup jitu dalam menumpuk bekal popularitas dan membangun celah yang semakin lebar. (LITBANG KOMPAS)