Pilkada Jabar: Skenario Koalisi Menghadapi Pilgub Jabar 2018 (I)
Sembilan bulan menjelang pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018, dinamika pencalonan gubernur Jawa Barat mulai terasa geliatnya. Dinamika tersebut dimotori oleh pergerakan partai politik, mulai dari aksi deklarasi calon, penjajakan koalisi, bongkar pasang koalisi, hingga dualisme kandidat dalam satu
SEMENJAK Pemilihan Gubernur DKI Jakarta menobatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai pemenang, suhu politik di Jabar—dan beberapa provinsi di Pulau Jawa—langsung menghangat. Kompetisi Anies-Sandi yang diusung PKS dan Gerindra dengan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, usungan PDI-P, Golkar, Hanura, dan Nasdem, menggambarkan persaingan dua kubu politik yang terpolarisasi pada sikap oposisi dengan sikap propemerintah.
Kondisi seperti inilah yang hendak dibangun para politisi partai dalam Pilgub Jabar untuk melanjutkan kompetisi politik lokal pada pilkada serentak 2018. Kemenangan di Jabar akan menjadi barometer politik bagi partai untuk mengukur kekuatan mereka menghadapi kontestasi nasional pada 2019. Hasil Pilgub DKI 2017 menjadi titik tumpuan untuk mengatur strategi dalam mendekati pemilih, menyeleksi bakal cagub, memproduksi isu, dan memilih kawan yang pas untuk berkoalisi.
Setiap parpol memiliki alat ukur masing-masing dalam menerapkan strategi tersebut, terutama yang berkaitan dengan bakal calon dan mitra koalisi. Kedua aspek inilah yang membuat bursa bakal cagub Jabar bergerak kian dinamis dan kerap memancing polemik publik.
Akibatnya, pengelompokan politik yang mencerminkan semangat untuk melanjutkan kompetisi pasca-Pilgub Jakarta mulai tergerus perlahan-lahan. Ini seiring dengan menguatnya pola koalisi yang berkembang belakangan ini dan mengerucutnya nama sejumlah tokoh yang dinilai paling potensial menjadi bakal cagub.
Menurut catatan Litbang Kompas, setelah deklarasi pencalonan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sebagai bakal cagub Jabar 2018 oleh Partai Nasdem, dinamika politik Jabar tetap adem. Hampir tidak ada parpol yang bereaksi dan melakukan deklarasi tandingan.
Namun, ketika PKS dan Gerindra memperlihatkan soliditas untuk mengusung wagub petahana Jabar, Deddy Mizwar, sebagai bakal cagub, sejumlah parpol terlihat mulai melakukan penjajakan koalisi.
PDI-P dan Golkar sebagai pemenang Pemilu 2014 di Jabar sekaligus pemilik kursi DPRD terbanyak tentunya paling banyak dilirik oleh tokoh-tokoh yang berambisi untuk menjadi orang nomor satu di provinsi ini. Partai-partai lain yang bertengger di posisi papan tengah ke bawah juga tidak luput didatangi tokoh-tokoh yang ingin menjadi gubernur.
Harapan yang mereka tebar kepada para pengurus parpol sudah pasti sama, memilih mereka untuk diusung sebagai bakal cagub. Sementara di dalam partai sendiri telah memiliki standar baku untuk menyeleksi calon kepala daerah, baik dari kader sendiri maupun bukan kader partai. Standar inilah yang membuat banyak calon langsung gugur dan hanya menyisakan beberapa tokoh yang dipandang paling layak untuk diusung.
Tokoh-tokoh inilah yang nama dan sosok mereka tetap bertahan dalam bursa pencalonan dari dulu hingga sekarang. Ini karena tokoh-tokoh tersebut memiliki tingkat popularitas yang tinggi dan disukai masyarakat.
Langkah parpol
Skenario PDI-P dalam mengusung bakal cagub dalam pilkada kali ini adalah mengombinasikan calon internal yang direkrut dari kader sendiri dengan calon eksternal. Untuk figur eksternal, PDI-P memiliki kriteria khusus, yaitu memiliki spirit ideologi yang sama dengan PDI-P, Pancasilais, dan rekam jejak yang baik secara organisasional ataupun pemerintahan, serta diterima masyarakat.
Menurut pengamat politik Universitas Padjadjaran, Firman Manan, kendala utama PDI-P dalam menghadapi pilgub sekarang adalah popularitas kader potensial yang dimiliki PDI-P (Ketua DPD TB Hasanudin dan anggota DPR Rieke Diah Pitaloka) masih terpaut jauh di bawah Ketua DPD Golkar Jabar sekaligus Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Kondisi ini membuat PDI-P mau tidak mau harus merekrut figur eksternal sebagai kandidat supaya bisa memperoleh peluang untuk memenangi Pilgub Jabar (Detik.com, 25/9). Karena itulah, PDI-P membuka peluang untuk mengusung Dedi Mulyadi sebagai cagub bersama dengan Golkar meskipun PDI-P sudah mengantongi beberapa nama kader sendiri untuk diusung.
”Kang Dedi ketua partai, dia punya mesin partai yang efektif di Jabar, pemenang pemilu kedua setelah PDI-P, kemudian dia sudah niat maju dan sudah sosialisasi tiga tahun. Saya kira, itu nilai lebihnya,” ujar Sekretaris DPD PDI-P Jabar Abdy Yuhana (Detik.com, 25/9).
PDI-P sudah menutup peluang untuk mengusung Ridwan Kamil karena Wali Kota Bandung ini sudah menerima pinangan dari Partai Nasdem. Untuk diketahui, Nasdem mendeklarasikan Ridwan Kamil sebagai cagub Jabar 2018 pada 19 Maret lalu. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristyanto menyatakan, PDI-P tidak akan mengusung Kang Emil lantaran dia sudah memilih partai lain sebagai kendaraan politiknya menuju Pilgub Jabar.
”Kami tidak bisa melanjutkan dialog-dialog bagi mereka yang telah memutuskan untuk menjadi calon gubernur tanpa melibatkan kami,” ujar Hasto di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, 13 Agustus.
Lantas, bagaimana dinamika yang berkembang di dalam tubuh Golkar guna menghadapi perkembangan bursa bakal cagub belakangan ini? Sikap terakhir Golkar adalah tetap merekomendasikan Dedi Mulyadi sebagai cagub. Dedi satu-satunya kader Golkar dengan popularitas yang tinggi di antara Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar.
Oleh karena itulah, munculnya ”surat pengesahan dan penetapan” Ridwan Kamil-Daniel Muttaqien sebagai calon gubernur-wakil gubernur Jabar dari DPP Partai Golkar telah merisaukan pengurus Golkar se-Jabar.
Pasalnya, nama Dedi Mulyadi sudah dipasangkan jauh-jauh hari oleh sebagian besar pengurus DPD Partai Golkar kabupaten/kota di Jabar untuk dihadapkan dengan Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar. Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bandung Dadang Nasser menyebut Dedi Mulyadi sebagai kader Golkar murni yang memiliki mobilitas tinggi dalam membangun kepedulian terhadap konstituen, bahkan nonkonstituen.
Atas latar belakang ini, Partai Golkar Kabupaten Bandung memutuskan untuk mendukung Dedi dalam perhelatan Pilgub Jabar 2018.
Selain surat dukungan fiktif dari DPP, peluang Dedi Mulyadi untuk diusung sebagai bakal cagub kembali dihadang oleh isu permintaan mahar berupa uang Rp 10 miliar supaya surat rekomendasi dukungan DPP segera keluar. Terlepas dari benar tidaknya isu tersebut, permintaan uang Rp 10 miliar merupakan bentuk politik uang atau politik transaksional yang hendak mendiskreditkan Dedi Mulyadi dan Partai Golkar dalam pilkada ini.
Dinamika koalisi
PDI-P dan Golkar merupakan dua partai yang sudah berpengalaman dalam dua kali Pilkada Jabar sebelum ini. Dalam dua pilkada tersebut, kedua partai ini mengambil posisi sebagai rival untuk memenangkan calon mereka masing-masing. Tampaknya, untuk pilkada kali ini kedua partai memilih untuk bergandeng tangan dan membuka kemungkinan koalisi guna mengusung calon dalam Pilkada Jabar 2018.
Posisi Golkar dalam Pilkada Jabar 2018 cukup kuat dan sangat diperhitungkan oleh parpol-parpol lain. Meskipun penguasaan kursi di DPRD belum mencapai ambang batas 20 persen, partai ini memiliki posisi tawar yang kuat karena Ketua DPD Partai Golkar Jabar Dedi Mulyadi memiliki popularitas tinggi, reputasi bagus, dan disukai masyarakat Jabar. Potensi Dedi Mulyadi ini membuat PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2014 pun berhitung untuk melawan Golkar secara frontal dalam pilkada.
”Walaupun kami dapat mengusung calon sendiri, melihat realitas dan tantangan yang ada di Jawa Barat, kami memerlukan kerja sama dengan partai lain,” ujar Sekjen PDI-P Hasto Kristyanto setelah berkunjung ke rumah Sekjen Partai Golkar Idrus Marham di Jakarta (Kompas, 6/8).
Sementara itu, Idrus Marham mengatakan, terkait Pilkada Jabar, pihaknya telah berkomunikasi intensif dengan parpol lain. ”Betul, kami mengadakan komunikasi politik, terutama dengan PDI-P,” ujarnya. Menurut dia, Golkar memprioritaskan kadernya untuk maju sebagai calon gubernur, dalam hal ini Dedi Mulyadi yang juga Bupati Purwakarta.
Di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi, DPD Golkar Jabar dan DPD PDI-P Jabar sepakat bekerja sama menyukseskan pilkada serentak di 16 kabupaten dan kota. Namun, kerja sama itu belum pada tingkat Pilgub Jabar. Untuk memperkuat dukungan politik, Dedi Mulyadi juga berhasil memobilisasi dukungan dari Partai Hanura untuk bergabung ke dalam poros koalisi PDIP-Golkar.
Di kubu lain, PKS langsung memanaskan mesin politik partai yang tersebar di seluruh Jabar. PKS sejak awal sudah mengindikasikan keinginan untuk memasang kadernya sendiri sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur. Untuk menguatkan keinginan tersebut, nama Netty Prasetyani, istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, sempat disebut-sebut sebagai bakal calon alternatif dari partai dakwah ini.
Namun, PKS akhirnya mengusung Deddy Mizwar untuk menjadi cagub karena Deddy dinilai sebagai sosok pembelajar cepat, negarawan yang kuat, dan memiliki kapasitas memimpin Jabar yang mumpuni. Selain itu, Deddy juga dipandang mampu menciptakan kenyamanan selama lima tahun mendampingi Gubernur Ahmad Heryawan.
Alasan yang sama dilihat oleh Partai Gerindra yang selama ini sudah menjadi sekutu utama PKS dalam berpolitik. Gerindra pun mengambil sikap politik yang sama, yaitu mendukung Deddy Mizwar untuk maju sebagai Jabar-1. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)