Jakarta Lebih Baik dalam Kepemimpinan Anies-Sandi?
Sekalipun berbagai indikator kemajuan Jakarta meningkat signifikan lima tahun terakhir dan beberapa kehidupan sosial ekonomi dan politik warganya memburuk, hipotesis DKI Jakarta 2017-2022 akan menjadi semakin baik di bawah kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Uno relevan disematkan. Segenap kelengkapan modal yang melekat pada kedua sosok tersebut menjadi dasar yang memampukan kondisi Jakarta menjadi lebih baik.
Pelantikan pemimpin DKI Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017, menjadi titik awal sekaligus penanda tekad terwujudnya Jakarta yang lebih baik di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno. Hari-hari selanjutnya, hingga idealnya sepanjang lima tahun, kedua sosok tersebut akan disibukkan oleh berbagai aktivitas kepemimpinan sebagai bagian dari upaya mewujudkan janji-janji perbaikan Jakarta yang dirancang keduanya.
Siapa pun sepakat bahwa persoalan yang dihadapi kedua sosok pemimpin Jakarta ini tidak ringan. Alasannya, pertama, mengelola sedikitnya 10 juta penduduk Jakarta dengan beragam kepentingan dan persoalan ekonomi, sosial, politik, serta mengarahkannya hingga tercapai tujuan kesejahteraan bersama jelas rumit.
Fakta menunjukkan, sebagai ibu kota pemerintahan yang menjadi pusat ekonomi dan politik negara, Jakarta tidak hanya menjadi rujukan kehidupan, tetapi juga sebagai tujuan kehidupan warga bangsa ini. Tidak terelakkan, keragaman kondisi sosial, ekonomi, dan politik tercipta, yang bahkan di saat yang sama menciptakan berbagai kondisi ekstrem.
Dari sisi kondisi ekonomi, misalnya, rentang ketidakmerataan pendapatan penduduknya (rasio gini) tahun ini mencapai 0,41 yang menunjukkan sebaran kondisi ekonomi yang besar, di atas rata-rata Indonesia. Sesuai catatan Badan Pusat Statistik, rasio gini Jakarta semenjak tahun 2002 hingga kini tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Jika ditelusuri, di Jakarta terdapat pendapatan individu warga yang tergolong outlier, di satu sisi berpenghasilan hingga miliaran rupiah, sementara di sisi lain masih dalam hitungan ribuan rupiah.
Pada situasi yang sama, keragaman warga yang menjadi ciri melekat pada Jakarta kini dalam ancaman serius. Indikator kehidupan berdemokrasi Jakarta, yang memotret aspek keragaman tersebut, merosot cukup signifikan belakangan ini. BPS mencatat, Indeks Demokrasi Jakarta 2016 sebesar 70,85 (kualitas demokrasi ”sedang”).
Kondisi tersebut menurun sangat signifikan dibandingkan pencatatan tahun sebelumnya, 85,32 (kualitas demokrasi ”baik”). Paling mengkhawatirkan, penurunan aspek ”kebebasan sipil” berlangsung konsisten semenjak 2014, yang menunjukkan ancaman sangat serius bagi kebebasan dan keragaman warga.
Persoalan-persoalan distribusi ketimpangan ekonomi dan ancaman kehidupan keragaman dan berdemokrasi semacam ini menjadi persoalan akut yang menjadi tantangan bagi duet kepemimpinan Anies-Sandi. Persoalan semacam ini tentu sangat tidak setara dibandingkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi saat mencoba meraih kursi kekuasaan gubernur, ataupun dipastikan pula lebih kompleks dibandingkan persoalan-persoalan yang dihadapi saat mereka bergulat sebagai pimpinan kementerian ataupun korporasi swasta.
Kedua, persoalan yang dihadapi akan menjadi semakin berwujud beban jika dihadapkan pada capaian kepemimpinan periode sebelumnya, era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, Basuki Tjahja Purnama, dan Djarot Saiful Hidayat, yang secara kasatmata menjadikan DKI Jakarta menjadi lebih baik.
Peningkatan program kerja pembangunan, pembenahan sistem transparansi keuangan, dan kualitas layanan publik yang dibangun mampu mengubah wajah Jakarta yang lebih berkemajuan. Indikator-indikator peningkatan kondisi sosial ekonomi warga Jakarta menjadi bukti keberhasilan kepemimpinan mereka.
Sebagai gambaran, indikator kesejahteraan warga yang paling banyak menjadi rujukan bagi keberhasilan tiap-tiap kepala daerah berupa capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), posisi Jakarta semakin terdepan. Dalam indeks ini, dimensi utama keberhasilan pembangunan manusia berupa umur panjang dan hidup yang sehat, derajat pengetahuan yang dimiliki, dan pemenuhan standar hidup yang layak.
Terhadap ketiga dimensi indeks tersebut, Jakarta, dalam kurun lima tahun terakhir, berhasil meningkatkannya hingga 2,07 poin, dari 77, 53 (2012) menjadi 79,6. Suatu pencapaian yang jauh di atas rata-rata capaian wilayah lain, termasuk capaian nasional. Mengejar capaian kualitas warga DKI saat ini, dibutuhkan 36 tahun bagi Provinsi Papua mencapainya, atau jika dibandingkan dengan DI Yogyakarta, sebagai provinsi kedua terbesar IPM, diperlukan 2,5 tahun menyamainya.
Demikian pula dalam capaian Indeks Kebahagiaan (IK) warga DKI Jakarta. Indeks ini tersusun dari tiga dimensi, yaitu tingkat kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup individu warga. Pengukuran di tahun 2014 menunjukkan tingkat kebahagiaan sebesar 69,21 dan terakhir (2017) meningkat menjadi 71,33.
Apabila kedua pengukuran indeks di atas disandingkan akan menjadi semakin relevan bahwa terjadinya peningkatan kualitas kesejahteraan warga (IPM) DKI Jakarta diikuti pula oleh kepuasan hidup yang mereka rasakan (IK). Berbagai indikator yang menempatkan DKI Jakarta pada barisan terdepan dari seluruh provinsi di Indonesia itu kini menjadi titik acuan dalam penilaian keberhasilan eksistensi kepemimpinan Anies-Sandi (Grafik 1).
Pertanyaannya, apakah kedua sosok ini mampu menjadikan Jakarta lebih baik daripada kondisi saat ini?
Bermodal lengkap
Beban persoalan yang dihadapi Gubernur Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno, memang tidak ringan. Akan tetapi, tidak terdapat alasan yang kuat untuk menegasikan kemampuan kedua sosok tersebut di dalam membenahi persoalan Jakarta. Justru, dengan mencermati segenap kelengkapan modal yang melekat pada kedua sosok tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa Jakarta akan menjadi lebih baik.
Pertanyaannya, modal apa yang disandang oleh keduanya hingga memampukan melakukan pembenahan Jakarta?
Dalam perspektif relasi tindakan, keberadaan modal yang dimiliki setiap tokoh, termasuk kedua sosok gubernur dan wakil gubernur Jakarta, menjadi sangat penting ditelaah. Modal, dalam konsepsi pemikiran teori-teori sosial, Pierre Bourdieu, misalnya, lebih banyak didefinisikan sebagai kekuasaan yang melekat pada diri seseorang untuk mengontrol masa depannya sendiri ataupun terhadap orang lain.
Dalam hal ini, sedikitnya terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya. Modal ekonomi menjadi akar dari modal lainnya dan modal tersebut lebih mudah terkonversikan ke dalam bentuk-bentuk modal lainnya.
Kedua sosok, sebagai pemimpin Jakarta, tidak diragukan lagi menggenggam modal ekonomi yang besar. Dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI sebesar Rp 70 triliun setiap tahun (diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang), keduanya memiliki kuasa yang sangat besar untuk mengontrol masa depan pemerintahannya ataupun kuasa terhadap pihak-pihak yang sejalan ataupun pihak yang berseberangan dengan keduanya.
Kepiawaian dalam menggunakan modal ekonomi yang berujud pada pengalokasian berbagai program pembangunan Jakarta ataupun yang dikonversikan menjadi berbagai bentuk modal lainnya menjadikan kunci kesuksesan kedua sosok tersebut. Sebaliknya, kegagalan mengelola modal ekonomi berimplikasi pada hilangnya dominasi kedua sosok tersebut dalam mengontrol kuasa yang dimiliki. Penggunaan modal ekonomi semacam ini pun sangat rawan konflik.
Berbagai konflik yang terjadi pada pemerintahan gubernur sebelumnya diketahui berpusat pula pada kontrol pengelolaan modal ekonomi ini. Munculnya anggaran-anggaran siluman dari pihak legislatif, kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan anggaran daerah merupakan bentuk-bentuk konflik yang terpusat pada kuasa pengontrolan dari modal ekonomi.
Beruntung kini kedua sosok pemimpin Jakarta ini terwarisi sistem pengendalian keuangan dan transparansi keuangan yang berbasis pada teknologi. Dengan kondisi yang kini terbangun, kendali terhadap pemanfaatan modal ekonomi dalam berbagai proyek pembangunan Jakarta menjadi lebih transparan dan idealnya menjadi lebih tepat guna dan waktu.
Potensi-potensi praktik koruptif tereliminasi dan pada akhirnya, perbaikan-perbaikan kualitas pembangunan kota tercapai. Dalam kondisi demikian, warga Jakarta menjadi subyek yang menikmati segenap manfaat kemajuan kota.
Jika modal ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk APBD menjadi dasar, siapa pun yang menjabat gubernur akan menggenggam modal demikian. Akan tetapi, terhadap bentuk modal-modal lain yang memang melekat pada diri individu, tidak semua sosok memiliki kualitas yang sama. Modal yang melekat pada sosok Anies Baswedan tergolong lengkap dan berkualitas.
Pada dirinya melekat modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan tinggi yang digenggam. Dalam hal ini, derajat pendidikan yang tinggi acap kali direlasikan dengan penciptaan berbagai kreasi kultural yang rasional, termasuk di dalamnya segenap program pembangunan yang bermanfaat bagi kehidupan warga.
Begitu pula dari sisi modal simbolik yang ia miliki. Sosok Anies Baswedan yang dikenal sebagai kalangan intelek, berusia muda, berperawakan besar dan gagah, tampak santun, dengan logat penuturan dan gaya komunikasi yang memikat, membangun simbol-simbol ketokohan yang layak dijadikan patron. Begitu pula kehadiran Sandiaga Uno yang dikenal sebagai pengusaha muda, kaya raya, energik, dengan wajah dan tampilan yang memikat, menambah lengkap daya tarik simbolik dari pasangan ini.
Tidak kalah penting, kedua sosok ini ditopang oleh kelengkapan modal sosial yang besar. Bukti kemenangan keduanya dalam meraih simpati hingga 58 persen pemilih dalam Pilkada DKI putaran kedua, beberapa waktu lalu, menunjukkan jaringan relasi sosial yang kuat yang dimiliki pasangan ini.
Sekalipun bentuk-bentuk dukungan dapat pula dimaknai sebagai pilihan atas ketidaksukaan terhadap pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur lawan Anies dan Sandi, mampu meraup hingga lebih dari separuh dari total proporsi pemilih menunjukkan suatu relasi sosial yang erat dan potensial akan terbangun semakin erat lagi dalam jalannya pemerintahan.
Di samping itu, dukungan politik yang direpresentasikan oleh kekuatan partai politik, Gerindra dan PKS, yang mengusung kedua calon tersebut pun membuktikan bahwa bangunan modal sosial yang besar dimiliki keduanya. Memang dalam komposisi DPRD DKI Jakarta, kedua partai tersebut hanya menguasai seperempat bagian kursi DPRD (26 kursi dari total 106 kursi).
Akan tetapi, proporsi tersebut sangat memungkinkan meningkat sejalan dengan dinamika kekuatan politik yang semakin kental akhir-akhir ini. Modal kekuatan politik dari kedua partai pendukung tersebut menjadi semakin signifikan digunakan dalam keseharian tugas kepemimpinan mereka sebagai bagian dari dukungan dalam mewujudkan program-program kerja yang bersinggungan dengan mitra DPRD.
Semua modal yang dimiliki terlegitimasikan pula dalam pandangan masyarakat. Survei opini publik Litbang Kompas yang dilakukan menjelang pemungutan suara putaran kedua Pilkada DKI lalu menunjukkan bagian terbesar masyarakat Jakarta yang mereferensikan Anies Baswedan sebagai pemimpin Jakarta.
Jika ditelusuri, legitimasi tinggi yang diterima pasangan Anies-Sandi dilandasi oleh berbagai pertimbangan mereka yang tertuju pada modal yang melekat pada diri Anies. Latar belakang pendidikan, gaya bicara, sikap keberanian, kejujuran, pengalaman, dan program kerja yang diusung meyakinkan publik akan kepemimpinannya (Grafik 2). Berbagai kelengkapan modal dan penerimaan masyarakat yang ia sandang ini menguatkan kesimpulan awal di masa tugas kepemimpinannya bahwa Jakarta berpotensi menjadi lebih baik. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)