Pekerjaan Rumah Menata Ekonomi di Perbatasan
Kebijakan mengubah wajah daerah perbatasan mulai menampakkan hasil. Pos perbatasan di Skouw, Jayapura, menampilkan sejumlah hasil pembangunan baru. Harapan berkembangnya perekonomian pun kian merekah.
PASAR Skouw di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua, menyimpan potensi sekaligus tantangan yang tidak mudah dalam menghela perekonomian di perbatasan RI-Papua Niugini (PNG). Pasar Skouw menjadi satu-satunya pasar besar bagi warga PNG memiliki potensi untuk menggerakkan ekonomi lokal.
Hampir 95 persen pembeli di Pasar Skouw merupakan warga PNG. Membanjirnya warga PNG di tanah Indonesia hari ini tidak jauh berbeda dengan masa kolonial dulu. Sejak dahulu hingga sekarang, banyak orang PNG melintas batas masuk ke wilayah Indonesia karena tertarik dengan superioritas fasilitas yang tersedia, khususnya pusat Hollandia di Jayapura. Dalam persepsi mereka, Indonesia selalu menawarkan sesuatu yang tidak mereka miliki.
Pasar Skouw telah berhasil merepresentasikan beranda rumah negara Indonesia. Selain menjadi pemasok sejumlah barang kebutuhan pokok bagi warga negara lain, Pasar Skouw juga menunjukkan kemandirian warga berdiri di kaki sendiri. Data Potensi Desa 2014 menyebutkan masyarakat di Distrik Muara Tami menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor pertanian.
Sebagai distrik dengan lahan terluas dan jumlah penduduk terkecil (12.381 jiwa atau 4,37 persen penduduk Jayapura), Muara Tami memiliki potensi lahan pertanian dan kelautan yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 menunjukkan bahwa Muara Tami merupakan distrik penghasil padi utama bagi Jayapura. Muara Tami juga menyumbang 158 ton ubi kayu dan menjadi penghasil terbesar sumber bahan pokok kedua tersebut.
Namun, potensi ini belum dilihat sebagai sebuah solusi untuk menggerakkan ekonomi masyarakat setempat. Perdagangan yang berlangsung di distrik tersebut bersifat tradisional. Kultur masyarakat lokal sebagai masyarakat peramu masih sangat kuat. Dalam tradisi mereka, hasil hutan atau laut hanya diambil secukupnya untuk kebutuhan hidup harian. Sikap hidup ini menjadi satu kesulitan tersendiri bagi penduduk lokal ketika mereka memasuki dunia dagang. Penduduk lokal seakan tidak memiliki peluang untuk maju karena tidak dapat mengolah hasil bumi menjadi produk yang memiliki nilai tambah.
Masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan untuk bergerak di sektor tersier perdagangan. Seperti diungkapkan mantan Kepala BPS Provinsi Papua Djarot Soetanto, meskipun penduduk menghasilkan pisang, tidak akan ada yang beli karena semua orang punya pohon pisang. Para pedagang di distrik ini bukanlah penduduk setempat.
Peluang pendatang
Kondisi lemahnya sektor perdagangan seperti ini kemudian ditangkap oleh para pendatang. Pedagang pendatang, terutama dari Makassar dan tanah Jawa, lihai melihat kebutuhan pasar. Djarot mengungkapkan, setiap rencana pengembangan daerah Skouw lebih cepat ditangkap oleh para pendatang daripada penduduk lokal.
Pedagang pendatang menjual barang-barang yang sulit didapatkan, terutama bagi warga PNG, seperti bohlam lampu tenaga surya, alat-alat elektronik, pakaian, hingga bahan kebutuhan pokok. Barang-barang tersebut lebih mahal di negara mereka karena dipasok dari Australia.
Cerita unggulnya pedagang pendatang ini juga terjadi di Pasar Koya. Pasar yang terletak di jalan utama penghubung pusat kota dan tapal batas ini menunjukkan potret ketimpangan antara warga lokal dan pendatang. Di sisi kiri pasar, barang dagangan ditata di sebuah kios yang beratap terpal, sedangkan dagangan di sisi kanan digelar di atas lantai tanah. Di sisi kanan itulah warga lokal mencoba peruntungannya menjual hasil kebun yang kurang memiliki nilai jual.
Pemerintah kemudian bertekad untuk menata kembali pasar agar semakin menggerakkan perekonomian daerah. Pasar Skouw mulai ditata pada 2012. Pasar yang pada mulanya terdiri dari lapak-lapak sederhana diubah menjadi bangunan permanen. Berdasarkan pengamatan Kompas, kompleks pasar terdiri dari 200 kios yang sudah beroperasi separuhnya dan kantor pengelola yang belum rampung digarap.
Meskipun secara fisik kondisi pasar sudah dibenahi, persoalan lain masih menjadi kendala. Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Papua Herman Bleskadit menyatakan, meskipun 100 kios telah dialokasikan khusus untuk warga lokal, ketiadaan modal menjadi persoalan untuk menjalankan usaha dagang.
Selain itu, pelatihan untuk peningkatan keterampilan pun belum bisa dilakukan oleh pemerintah lokal. ”Belum ada serah terima aset dari pusat ke daerah sehingga kami belum bisa terlibat dalam hal pelatihan memberdayakan masyarakat lokal,” ujarnya.
Permasalahan ini berpengaruh terhadap nilai perdagangan daerah. Sejak pembangunan Pasar Skouw pada 2012, nilai perdagangan yang tercatat Disperindag Papua malah menunjukkan penurunan. Tahun 2015, nilai perdagangan hanya setengah dari nilai perdagangan sebelum pasar dibangun menjadi permanen. Dari pengamatan Kompas, pedagang yang tidak cukup modal memilih berpindah-pindah pasar atau makin mendekat ke arah perbatasan.
Modal kapital menjadi penting ketika pasar diubah menjadi bangunan permanen. Bagi warga pendatang, ia harus mendapatkan lapak dagang yang kini sudah dibagi-bagi peruntukannya. Warga lokal yang tidak cukup modal untuk mengisi dagangan akan menjual atau menyewakan kios miliknya kepada pendatang. Albert Retto (23), pemuda lokal yang mendapatkan jatah kios, menyatakan, warga pendatang akhirnya menyewa kios kepada warga lokal.
Lemahnya putaran ekonomi di Pasar Skouw juga diakibatkan dari penutupan gerbang pos lintas batas negara (PLBN) pada 2014. Nilai perdagangan Pasar Skouw pada masa itu hanya Rp 23,04 miliar atau setengah dari rata-rata lima tahun terakhir. Ditutupnya PLBN akibat teror penembakan yang dilakukan pihak yang disinyalir Organisasi Papua Merdeka (OPM) membuat warga PNG tidak berbelanja di Pasar Skouw.
Daerah perbatasan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini mulai dibenahi satu per satu, termasuk di perbatasan Skouw, untuk memajukan aktivitas ekonomi. Pada Agustus 2017, PLBN Indonesia dan PNG di Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, telah tertata baik. Menurut rencana, pembangunan akan paripurna pada 2018. Kondisi ini seharusnya bisa dimanfaatkan pemerintah daerah untuk mendorong perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal agar tidak terpinggirkan di negeri sendiri. (LITBANG KOMPAS)