Masa Depan Politik Prabowo Subianto (1)
Hasil survei Litbang Kompas terbaru memperlihatkan turunnya pamor Prabowo Subianto di mata masyarakat.
Setelah dua kali kalah dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, tahun 2009 dan 2014, apakah Prabowo Subianto akan menjadi figur yang cukup menarik untuk jadi lawan Joko Widodo pada Pemilu 2019?
Selama bulan keenam hingga setahun setelah Pemilu Presiden 2014, figur Prabowo sempat naik dan hanya terpaut antara 7-8 persen dengan popularitas Jokowi. Seusai Pilkada DKI Jakarta, popularitasnya juga menanjak. Namun, sekarang, jarak antara keterpilihan Prabowo dan Jokowi kian lebar.
Hasil survei Litbang Kompas terbaru memperlihatkan turunnya pamor Prabowo Subianto di mata masyarakat. Berdasarkan survei terakhir, popularitas Prabowo untuk dipilih berada di kisaran 18,2 persen, sedangkan Jokowi 46,3 persen sehingga terpaut 28 persen.
Walau terpaut lebih dari setengahnya, sejauh ini hanya Prabowo yang terlihat menjadi rival terbesar bagi Jokowi. Popularitas calon-calon lain di luar nama itu masih terlalu jauh untuk dirujuk sebagai capres 2019.
Panglima TNI Gatot Nurmantio hanya disebut oleh 3,3 persen. Nama-nama lain, seperti Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, pun masih di bawah 1 persen. Pemimpin atau elite partai lain juga demikian, belum menampakkan diri sebagai figur yang populer untuk dipilih.
Pasang naik
Menjelang Pemilu 2004 Prabowo pernah maju dalam konvensi Partai Golkar, tetapi kalah telak pada putaran pertama. Mendapatkan suara buncit, ia dikalahkan oleh Akbar Tandjung, Wiranto, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh. Konvensi akhirnya dimenangkan Wiranto yang kemudian menjadi calon presiden berpasangan dengan Sholahuddin Wahid.
Dalam Pemilu 2009, Prabowo kesulitan mencari pasangan untuk calon wakil presiden sehingga akhirnya harus menerima ketika dipasangkan sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri.
Mereka diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan partai-partai kecil lainnya. Sayangnya, pasangan Megawati-Prabowo harus menelan kekalahan. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono jauh lebih kuat dan memenangi pemilu presiden. SBY-Boediono meraup suara 60,80 persen, jauh meninggalkan Megawati-Prabowo yang meraih suara 26,79 persen dan Jusuf Kalla-Wiranto 12,41 persen.
Meskipun kalah, nama Prabowo kemudian mulai diperhitungkan sebagai calon presiden mendatang, setelah pemerintahan SBY mengalami blunder dalam dua hal, yaitu kasus penanganan perbankan dan problem tingkah laku presiden.
Baru beberapa bulan menjabat untuk periode keduanya, pemerintahan SBY sudah diguncang kasus Bank Century. Hak angket yang bergulir di DPR membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai berubah. Dan, dua tahun setelah Pemilu 2009, mulai ada tanda-tanda popularitas SBY meredup.
Citra pemerintahan dan kepuasan terhadap kepemimpinan SBY pun seolah terjun bebas. Merunut hasil jajak pendapat Litbang Kompas, pada Juli 2010 citra pemerintahan SBY masih di kisaran 63,4 persen kemudian menurun menjadi tinggal 36,5 persen pada Juli 2011. Senada dengan itu, kepuasan kepada kepemimpinannya menurun dari 62,1 persen menjadi 31 persen.
Sikap SBY yang reaktif, nyinyir, dan terkesan cengeng ketika tampil ke hadapan publik dalam merespons pelbagai isu yang menyangkut pribadinya membuat publik merindukan sosok militer yang tegas dan berwibawa.
Nama Prabowo pun mulai menguat sebagai figur yang layak menggantikan SBY sebagai presiden. Dalam beberapa survei oleh sejumlah lembaga (Indobarometer, Jaringan Survei Indonesia, dan Lembaga Survei Indonesia), nama mantan Pangkostrad ini meroket menembus dua besar, hanya kalah oleh Megawati.
Bahkan, survei yang dilakukan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate menempatkan Prabowo di urutan teratas dalam bursa capres 2014 (Kompas, 07/06/2012).
Paradigma berubah
Tren kepemimpinan yang tegas dan militeristik yang melekat pada figur Prabowo ternyata tak bertahan lama. Dengan segera ia mendapatkan antitesisnya manakala Joko Widodo (Jokowi) memenangi Pilkada DKI Jakarta. Jokowi mengusung paradigma tegas yang berbeda, dengan memaksa sistem birokrasi bekerja keras, mengikis peluang korupsi, dan berani mengganti orang-orang yang tidak kompeten.
Tegas dalam birokrasi, tetapi merakyat, menjadi idiom baru yang membawa angin segar kepemimpinan.
Masyarakat pun mengapresiasi model kepemimpinan Jokowi di Jakarta dan memproyeksikannya untuk diterapkan dalam kepemimpinan nasional. Sebuah survei yang dilakukan Litbang Kompas merekam sikap setuju (80,5 persen) responden di 13 kota besar jika karakter kepemimpinan Jokowi menjadi kriteria karakter kepemimpinan nasional (Kompas, 08/10/2012).
Hanya selang beberapa bulan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, popularitas Jokowi langsung melejit mengalahkan Prabowo dan Megawati. Pada hasil survei Litbang Kompas, Desember 2012, popularitas Jokowi untuk capres mencapai 17,7 persen, sementara Prabowo 13,3 persen dan Megawati 9,3 persen.
Dalam enam bulan berikutnya, popularitas Prabowo (15,1 persen) semakin tertinggal, hanya separuhnya dari popularitas Jokowi yang 32,5 persen.
Beberapa bulan menjelang Pemilu 2014, posisi Prabowo masih belum berubah, malah tampak semakin lemah. Popularitasnya turun lagi pada Januari 2014 menjadi 11,1 persen, hanya seperempat dibandingkan potensi keterpilihan Jokowi yang 43,5 persen. Akan tetapi, penurunan ini tampaknya tidak berdampak besar pada citra Partai Gerindra yang dibentuk Prabowo.
Koalisi Merah Putih
Pemilu Legislatif pada April 2014 menempatkan Gerindra yang memperoleh suara 11,81 persen sebagai partai nomor tiga terbesar setelah PDI-P dan Golkar. Gerindra, menurut hasil exit poll, mendapat limpahan suara paling besar dari Partai Demokrat yang di pemilu sebelumnya mendominasi.
Hasil ini memberi semangat dan kepercayaan diri baru bagi Gerindra untuk tetap mencalonkan ketua dewan pembinanya, Prabowo Subianto, sebagai calon presiden. Dengan demikian, menjelang Pemilu Presiden 2014, Prabowo dengan Gerindra berhasil membangun koalisi besar partai politik yang mengikutsertakan Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Partai Demokrat yang awalnya menyatakan netral, sepuluh hari menjelang pilpres juga menyatakan mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Dengan menggandeng Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden, kelompok partai pengusung yang dinamai Koalisi Merah Putih ini bermodalkan 352 (63,5 persen) kursi di DPR dengan total 59,5 persen suara pemilih partai. Ia berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Jokowi dengan modal 208 (36,5 persen) kursi DPR dengan total suara pemilih sebesar 40,4 persen.
Keberhasilan Prabowo membangun koalisi besar lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yakni lemahnya ketokohan dan kinerja di partai-partai lain. Partai Golkar, Demokrat, dan partai-partai papan menengah dan kecil lainnya tidak sanggup membangun koalisi untuk memunculkan nama dari dalam partainya untuk bertarung menghadapi Jokowi dan Prabowo.
Terbentuknya koalisi besar pendukung Prabowo juga disumbang oleh lemah dan terlambatnya PDI-P sebagai partai pemenang pemilu dalam menjalin komunikasi dengan partai-partai lainnya.
Selain itu, Prabowo juga diuntungkan oleh terbentuknya suatu ”kelompok ideologis baru” dalam proses Pilkada Jakarta sebelumnya, yang makin resisten terhadap Jokowi setelah mantan Wali Kota Surakarta ini memenangi Pilkada Gubernur DKI. Amunisi yang masih tersisa setelah Pilkada Jakarta pun menemukan momentum baru.
Pilpres 2014
Pilpres yang berlangsung dengan hanya mengikutsertakan dua pasangan, Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta, menjadi pemilu presiden paling dramatis sepanjang sejarah Indonesia. Selain penuh kecamuk oleh konflik kepemimpinan di tubuh partai-partai, proses dukung-mendukung juga menjadi episode yang cukup menegangkan.
Manuver-manuver politik dengan memanfaatkan lembaga survei dan hoaks menjadi warna yang begitu lekat dengan Pilpres 2014 dan membuat kohesivitas masyarakat demikian labil. Pengelompokan ideologis berdasarkan pilihan capres membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang sama kerasnya.
Walaupun awalnya tampak mudah bagi Jokowi untuk mengalahkan Prabowo, mendekati pilpres keragu-raguan masyarakat kian meningkat, pemenang sulit diprediksi. Lembaga-lembaga survei menampilkan hasil yang berbeda-beda, sebagian mengunggulkan Jokowi-Kalla dan sebagian lainnya Prabowo-Hatta.
Pada Juni 2014, hasil survei Institut Survei Indonesia (ISI) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan 51,18 persen, sementara Jokowi-Kalla 48,82 persen, dan lembaga Vox Populi melansir Prabowo-Hatta 44 persen dan Jokowi 31 persen. Lembaga Survey Nasional yang bekerja sama dengan Surabaya Survey Centre pun mengumumkan perolehan diprediksi Prabowo-Hatta sebesar 46,3 persen, unggul dibandingkan Jokowi-Kalla yang mendapat 38,8 persen. Pusat Kajian Kebijakan & Pembangunan Strategis (Puskaptis) juga serupa dengan lembaga-lembaga tersebut di atas, cenderung memenangkan Prabowo-Hatta.
Sebaliknya, di saat yang hampir bersamaan, Indo Barometer mengeluarkan hasil survei lembaganya yang mengunggulkan Jokowi-Kalla dengan 46,0 persen dan Prabowo-Hatta 42,6 persen. Lembaga-lembaga lain, seperti Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG), Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pol Tracking Institute, dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), juga cenderung memprediksi Jokowi-Kalla lebih unggul.
Kecenderungan hasil yang berbeda itu terus berlanjut hingga hari pemungutan suara, lewat quick count, sebagian besar lembaga survei termasuk Litbang Kompas memprediksi kemenangan bagi Jokowi-Kalla. Namun, ada empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta, yaitu JSI, Puskaptis, LSN, dan Indonesia Research Center (IRC).
Kekisruhan terus berlanjut, bahkan hingga setelah KPU mengumumkan hasil resminya yang menempatkan Jokowi-Kalla sebagai pemenang pemilu presiden. Jokowi-Kalla memperoleh 70.997.833 (53,15 persen) suara, sementara Prabowo-Hatta mendapat 62.576.444 (46,85 persen) suara.
Sengketa pemilu yang berlanjut ke Mahkamah Konstitusi menjadi drama politik selanjutnya yang memperpanjang pentas Prabowo di panggung politik. Lewat persidangan yang cukup memakan waktu, akhirnya ia harus mengakui kemenangan Jokowi atasnya. Namun, peristiwa itu tampaknya bukan sebuah akhir dari karier politiknya karena Prabowo kemudian menemukan sebuah momentum baru, Pilkada Jakarta. (Bersambung)