Masa Depan Politik Prabowo Subianto (2)
Belakangan ini, tingkat keterpilihan Prabowo Subianto sebagaimana yang dipublikasikan sejumlah hasil survei opini publik tengah menurun.
Berhasil menghidupkan momentum baru melalui Pilkada Jakarta yang memenangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, pasangan calon gubernur yang diusungnya, belum menjamin surplus dukungan yang berkesinambungan kepada Prabowo Subianto. Saat ini, penurunan elektabilitas justru terjadi. Dengan Pemilu 2019 yang kian dekat, apakah masih tersedia alternatif untuk meluaskan ruang keterpilihannya?
Belakangan ini, tingkat keterpilihan Prabowo Subianto sebagaimana yang dipublikasikan sejumlah hasil survei opini publik tengah menurun. Sebagai contoh, survei yang dilakukan Litbang Kompas pada Oktober 2017 menunjukkan tinggal 18,2 persen responden yang akan memilihnya menjadi presiden jika pemilu dilakukan saat itu. Padahal, enam bulan sebelumnya, April 2017, proporsi keterpilihannya masih 22,1 persen.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada waktu yang tidak berbeda jauh menunjukkan posisi keterpilihan Prabowo sebesar 18,7 persen. Survei Populi Center yang dipublikasikan awal November 2017 menunjukkan elektabilitas Prabowo sebesar 21,7 persen. Kedua lembaga survei tersebut juga mengungkapkan penurunan keterpilihan Prabowo dan, sebaliknya, terjadi peningkatan keterpilihan Joko Widodo.
Penurunan tingkat keterpilihan Prabowo saat ini mengindikasikan bahwa momentum keberhasilannya dalam menguasai DKI Jakarta melalui kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno tidak berlanjut panjang. Atau, dalam posisi yang sebaliknya, rival politiknya, Joko Widodo, ternyata lebih besar mengapitalisasikan kinerja politiknya dalam bentuk peningkatan keterpilihan dibandingkan dengan yang diciptakan Prabowo.
Momentum keberhasilan menguasai DKI Jakarta melalui kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno tidak berlanjut panjang.
Padahal, sepanjang Pilkada DKI Jakarta, Prabowo tergolong surplus dukungan. Pada Oktober 2016, misalnya, tingkat keterpilihannya masih 16,3 persen, kurang dari separuh dukungan publik terhadap Joko Widodo. Runtuhnya pamor Basuki Tjahaja Purnama, sosok yang direpresentasikan bagian dari Joko Widodo, oleh tekanan politik yang kental dengan sentimen keagamaan berelasi positif dengan peningkatan keterpilihan Prabowo. Itulah mengapa, pada April 2017, semakin besar responden yang mendukung dirinya sebagai calon presiden.
Namun, dengan tren penurunan tingkat keterpilihannya, jelas betapa rumit persoalan politik elektoral yang kini ia hadapi. Sementara, sebaliknya, pamor rival politiknya, Joko Widodo, justru kian menanjak. Saat ini, perbedaan jarak keterpilihan keduanya menjadi semakin lebar, hingga 28,1 persen dari sebelumnya sebesar 19,5 persen (Grafik 1). Itulah mengapa, menjadi suatu persoalan besar tampaknya bagi Prabowo Subianto. Dalam sisa waktu menuju Pemilu 2019 yang tidak lagi panjang, masih mampukah ia memperbesar kembali peluang keterpilihannya?
Sisi mengkhawatirkan
Tren penurunan tingkat keterpilihan Prabowo Subianto dan semakin melebarnya jarak keterpilihan dirinya dengan Presiden Joko Widodo sepatutnya dipandang sebagai persoalan yang amat krusial dan mengkhawatirkan bagi karier politiknya. Dikatakan demikian, oleh karena angka-angka penurunan kali ini tidak hanya berkisah sekadar mengenai berkurangnya proporsi responden yang bermaksud memilih sosok Prabowo sebagai presiden. Lebih jauh dari persoalan tersebut, tren penurunan kali ini menguak berbagai sisi kerapuhan benteng pertahanan politik elektoral yang terbangun.
Pertama, tren penurunan keterpilihan Prabowo kali ini sudah merembet di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai provinsi basis kemenangan dirinya pada Pemilu 2014. Pada pemilu 2014, sebanyak 10 provinsi berhasil dikuasai Prabowo Subianto. Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Maluku Utara. Dari 10 provinsi tersebut, Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Banten, dan Gorontalo merupakan wilayah kemenangan Prabowo dengan proporsi yang sangat signifikan, mengungguli Joko Widodo hingga lebih dari dua digit.
Sayangnya, wilayah basis kekuatan Prabowo kini mulai melemah. Hasil survei menunjukkan, pada wilayah penguasaannya itu, tingkat keterpilihan Joko Widodo justru menunjukkan peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Bahkan, untuk beberapa wilayah kunci, seperti Jawa Barat, Banten, dan NTB, mulai luruh dan hasil survei terakhir justru mulai berpaling kepada Joko Widodo.
Pengamatan khusus SMRC terhadap tingkat keterpilihan Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Jawa Barat, misalnya, mengungkapkan di tanah Pasundan itu kini Joko Widodo unggul. Dibandingkan survei SMRC Mei 2017, di Jawa Barat dukungan terhadap Jokowi meningkat 7,3 persen, sedangkan Prabowo justru turun 8,5 persen.
Beberapa wilayah kunci, seperti Jawa Barat, Banten, dan NTB, mulai berpaling kepada Joko Widodo
Secara keseluruhan, hasil survei Kompas menunjukkan bahwa di 10 provinsi yang menjadi basis kekuatan Prabowo Subianto, Joko Widodo kini mampu menguasai hingga 32 persen. Sementara, di 23 wilayah yang menjadi basis kemenangannya, Joko Widodo mampu menguasai hingga 54,8 persen. Pada kedua kategori wilayah tersebut secara konsisten menunjukkan peningkatan keterpilihan Joko Widodo dan sebaliknya penurunan Prabowo Subianto.
Kedua, di tengah tekanan pelemahan keterpilihan Prabowo, terdapat sosok lain yang muncul sebagai calon presiden. Nama Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo menjadi sosok yang paling menonjol. Tingkat elektabilitasnya dalam survei relatif belum besar, berkisar masih di bawah 5 persen. Akan tetapi, kehadiran sosok berlatar belakang militer sebagai alternatif calon presiden menjadi potensi ancaman yang signifikan.
Indikasi terhadap pengalihan dukungan dari Prabowo kepada Gatot Nurmantyo mulai tampak dari hasil survei Kompas. Penelusuran berdasarkan responden yang sama (panel survey) menunjukkan, dari total keseluruhan pemilih Gatot Nurmantyo, bagian paling besar (33 persen) merupakan responden yang sebelumnya mengaku memilih Prabowo Subianto. Sisanya merupakan responden yang memilih sosok lain di luar Prabowo. Sebanyak 10 persen berasal dari pemilih Joko Widodo, 19 persen berasal dari sosok lainnya. Artinya, penurunan tingkat keterpilihan Prabowo Subianto tidak hanya akibat peningkatan elektabilitas Joko Widodo, tetapi juga akibat kemunculan sosok lain.
Kalkulasi modal
Dua kondisi yang berlangsung, penurunan keterpilihan di wilayah-wilayah basis kemenangan dan kemunculan sosok lain yang berpotensi mengalihkan dukungan publik dari Prabowo, menjadi ancaman serius terhadap posisi elektoral Prabowo. Kondisi demikian tidak mustahil berpotensi berlanjut karena bagaimanapun ruang gerak politik Prabowo Subianto tidak seleluasa gerak politik Presiden Joko Widodo.
Sebagai Presiden, Joko Widodo merupakan satu-satunya sosok yang saat ini memiliki modal paling lengkap dalam melanjutkan jabatan kepemimpinannya. Dengan jabatan kepresidenannya setiap tahun ia memiliki kekuasaan mengelola segenap pendapatan dan pemanfaatan kapital ekonomi negara yang terwujud dalam APBN. Pada 2017, misalnya, tercatat sebesar Rp 2.080,5 triliun yang dialokasikan dalam berbagai proyek belanja negara pada pemerintah pusat ataupun transfer daerah dan dana desa. Dengan besaran modal itu, berbagai proyek pembiayaan belanja produktif, seperti infrastruktur, prioritas pendidikan, energi, pangan, perlindungan sosial, dan subsidi, dapat diwujudkan.
Sejauh ini, terhadap penguasaan dan pendayagunaan modal ekonomi tersebut, Presiden Joko Widodo berhasil mengonversikannya dalam bentuk penguatan dukungan publik. Surplus simpati terhadap kinerja pembangunan infrastruktur yang ia lakukan meluap. Tidak kurang banyak pula apresiasi yang tertuju kepadanya atas upaya berbagai pemerataan dan distribusi pembangunan daerah. Berbagai hasil survei menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Joko Widodo tergolong tinggi dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Terakhir pada Oktober 2017 menunjukkan, tidak kurang dari dua pertiga responden menyatakan ”puas” terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Dalam konteks demikian, ia tergolong berhasil menggandakan modal ekonomi yang dikelolanya dalam bentuk penguatan modal simbolik yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang mumpuni.
Pada sisi lain, Presiden Joko Widodo pun semakin memperkokoh kekuatan modal sosial yang ia miliki. Rasa percaya publik yang kian membesar dan semakin luasnya jaringan sosial yang ia kuasai menjadikan dirinya kini sebagai magnet politik. Di tengah tarik-menarik kepentingan politik yang cenderung membelah bangsa dalam berbagai identitas primordial, Joko Widodo tampil sebagai sosok yang berupaya merajut kembali keterbelahan politik dalam bingkai kepentingan nasional.
Ia bukan sosok pendiri partai politik, terlebih ketua umum partai. Namun, terhadap segenap perilaku politiknya mendapat penerimaan dan dukungan partai politik. Tidak jarang berbagai kekuatan politik ataupun sosok-sosok politik yang dikenal sebelumnya berseberangan mulai menyatu dalam ritme kepemimpinannya.
Sebagai Presiden, Joko Widodo sangat diuntungkan. Dengan kedudukannya itu, hampir setiap saat ia memproduksi isu yang selanjutnya menjadi sumber pewacanaan. Tidak hanya soal kebijakan yang ia lakukan, pendekatan kesahajaan yang dilakukan dalam menyapa masyarakat hingga persoalan-persoalan yang menyangkut sisi pribadi ataupun keluarganya pun kerap menjadi pusat perhatian.
Buah dari semua itu, mayoritas menilai segenap kebijakan, perilaku, dan ucapannya dalam ”tone” positif. Tidak mengherankan jika hingga kini Joko Widodo menjadi sosok determinan, yang segenap ucapan, tindakan, dan berbagai atribusi yang melekat kepadanya mampu memengaruhi keberadaan ataupun sepak terjang sosok-sosok lainnya.
Spiral keheningan
Semua keuntungan yang melekat pada jabatan kepresidenan Joko Widodo jelas tidak dimiliki Prabowo Subianto. Posisi sebagai ketua umum sekaligus pendiri Partai Gerindra, yang memilih berseberangan dengan pemerintahan, membatasi penciptaan dan pemanfaatan kapital ekonomi pada dirinya. Hampir dapat dipastikan sepak terjang politik Prabowo lebih banyak disokong oleh kekuatan modal ekonomi dirinya yang dalam besaran terbatas.
Terkait dengan kekuatan modal ekonomi yang dalam konsepsi pemikiran sosiolog Bourdieu ditempatkan sebagai kekuasaan dasar bagi individu untuk menjalankan kontrol terhadap masa depannya sendiri ataupun orang lain, jelas sudah teramat besar pengorbanan Prabowo Subianto. Semenjak ia terjun dalam panggung politik, turut berkontestasi sebagai calon presiden Partai Golkar pada konvensi Partai Golkar jelang Pemilu 2004, mendirikan Partai Gerindra sebagai kendaraan politiknya pada Pemilu 2009, pencalonan sebagai presiden dalam Pemilu 2014 lalu, hingga menjadi oposisi pemerintahan sejak 2009 hingga kini, semuanya lebih banyak berkonsekuensi pada pengorbanan ekonomi yang ia keluarkan dalam mewujudkan tujuan politiknya.
Keterbatasan dalam kekuatan modal ekonomi individu berkonsekuensi terhadap penciptaan berbagai jenis modal lainnya. Ruang geraknya dalam perluasan modal sosial menjadi semakin terbatas. Kekuatannya menjaga agar partai-partai politik yang mendukungnya sebagai presiden dalam Pemilu 2014 tetap dalam kendalinya semakin redup. Dalam beberapa ajang pilkada, tinggal PKS yang masih sering berkoalisi dengan Gerindra. Akan tetapi, belum menjamin pula partai tersebut akan mendukung kembali dalam Pemilu 2019. Indikasinya, tecermin dari hasil survei.
Para pendukung PKS tampak loyal terhadap partainya, tetapi pada kesempatan yang sama tidak serta merta loyal terhadap diri Prabowo Subianto. Pada saat tingkat keterpilihan Prabowo Subianto menurun ataupun meningkat berelasi positif dengan elektabilitas Gerindra, tetapi tidak terhadap PKS (Grafik 2).
Kondisi semacam ini jelang Pemilu 2019 tidak menguntungkan Prabowo Subianto. Padahal, produk hukum UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memuat ambang batas pemilihan presiden sebesar 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pemilu legislatif berkonsekuensi dirinya tidak dapat mencalonkan diri hanya bersandar pada partai Gerindra. Guna pencalonannya, Prabowo bersama Gerindra harus berkoalisi dengan partai lain.
Yang tidak kurang mengkhawatirkan, dalam medan pertarungan pewacanaan publik, sosok Prabowo Subianto cenderung kurang menonjol. Ukuran paling sederhana adalah dengan memeriksa seberapa banyak namanya terkutip dalam ruang-ruang pemberitaan. Dalam mesin pencarian Google, misalnya, kemunculan nama Prabowo dalam pemberitaan tidak lebih dari sepersepuluh (1:10) dari kuantitas nama Joko Widodo. Proporsi tersebut akan semakin mengecil lagi, bahkan mencapai 1:25, dalam ruang pemberitaan media konvensional, seperti surat kabar, yang lebih cenderung menampilkan sosok berdasarkan kualitas jabatan formal dan fungsional yang disandangnya.
Jurang perbedaan dalam pewacanaan publik tersebut sudah berjalan sepanjang tiga tahun terakhir ini dan mendudukkan Prabowo dalam posisi ”minoritas”. Sebaliknya, produksi wacana Joko Widodo dalam posisi yang ”mayoritas”. Meminjam konsepsi ”spiral keheningan” Noelle-Neumann, posisi minoritas tidak menguntungkan lantaran produksi isu atau pewacanaan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya memperbesar pengaruh publik tidak banyak ditanggapi dan cenderung menjadi senyap.
Di tengah arus produksi informasi yang mengetengahkan narasi kerja konkret pemerintahan dan bukti keberhasilan pembangunan, sulit menampilkan pewacanaan tandingan lain, yang cenderung akan diposisikan sebagai minoritas yang senyap. Itulah mengapa, dalam situasi semacam ini, medan penguasaan Prabowo dalam pewacanaan menjadi semakin sempit dan kurang populer.
Dalam berbagai situasi yang kurang menguntungkan posisi politiknya, menjadi pertanyaan besar apakah karier politik Prabowo Subianto masih berpotensi menuai surplus dukungan? Apakah ia masih menjadi sosok yang sepadan menandingi rival politiknya, Presiden Joko Widodo, atau paling tidak sebagai sosok yang mampu menahan kehadiran sosok-sosok politik lain sebagai pesaingnya? Masih adakah ruang penguasaan lain yang dapat ia perluas di waktu yang tersisa jelang Pemilu 2019 yang kian pendek?
Sebagai petarung politik yang tidak pernah mengenal kata menyerah, peluang memperluas wilayah penguasaan selalu terbuka bagi sosok Prabowo Subianto. Rekam jejak politik panjang yang sarat dengan tempaan persoalan semakin mematangkan strategi dan cara penaklukan yang ia canangkan. (Bersambung)