Masa Depan Politik Prabowo Subianto (3): Hanya Perlu Satu Terobosan
Hanya selisih 6,3 persen dari pasangan Jokowi-Kalla dalam Pemilu Presiden 2014, kekuatan Prabowo Subianto sebetulnya cukup fenomenal mengingat perjalanan politik yang telah dilaluinya. Walaupun tidak menang dalam pemilu, ia meninggalkan jejak yang dalam pada lanskap politik Indonesia setelahnya.
Pascakekalahan Prabowo, masyarakat politik Indonesia seolah menjadi masyarakat moieti, terbelah dalam dua kelompok yang selalu berada dalam suasana pertentangan, persaingan, atau berkompetisi. Kosmologi politik terbagi dalam dual classification dengan simbolisasi tokoh dan wacana kulturalnya. Hanya, jika pada masyarakat tradisional batas-batas wilayahnya jelas, pada lanskap politik sekarang unsur ideologis menjadi batas yang lebih kuat walaupun jejaknya dapat pula ditelusuri dari aspek kewilayahan.
Masyarakat politik Indonesia seolah menjadi masyarakat ”moieti”, terbelah dalam dua kelompok yang selalu berada dalam suasana pertentangan.
Wilayah-wilayah yang dimenangi pasangan Prabowo-Hatta dengan cukup signifikan pada Pemilu 2014 cenderung tetap menjadi sumber kekuatannya pada pemilu nanti. Berdasarkan survei Litbang Kompas yang dilangsungkan secara periodik sejak awal 2015 hingga Oktober 2017, proporsi terbesar pendukung Prabowo masih tetap berbasis di sebagian besar wilayah-wilayah tersebut.
Walaupun terjadi penggerusan suara yang mengarah pada dukungan terhadap Jokowi, jejak Prabowo masih terasa kental di sana. Pada pemilu tiga tahun lalu, pasangan tersebut menang cukup signifikan di Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara.
Jejak yang ditorehkan juga mampu mengukir sosok baru yang menyatukan sejumlah elemen aliran, menjadi kekuatan besar untuk mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta. Dari sana, simbol pembeda terus diproduksi, dan mungkin akan direproduksi pada pemilu mendatang, untuk kian menegaskan perbedaan antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. Strategi politik diferensiasi seperti ini bisa saja menjadi taktik politik yang tepat seperti dalam Pilkada Jakarta.
Namun, seberapa kuat kemampuan Prabowo dan timnya meramu epistemologi pembeda untuk melawan sosok Jokowi dalam pemilu nanti?
Jejak pembeda
Dalam sejumlah hal, perbedaan pilihan antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi sudah menampakkan wujudnya dalam beberapa aspek, baik karakter demografi, sosial ekonomi, agama, maupun pandangan-pandangan terhadap aspek kenegaraan.
Pemilih Prabowo lebih tecermin dari kalangan berpendidikan menengah dan atas daripada Jokowi yang sangat kuat di level bawah. Senada dengan itu, dari segi usia, Prabowo tampak lebih menarik bagi kalangan yang sedang dalam proses pematangan karier (23-40 tahun). Dengan begitu, mereka yang sedang dalam proses mencari posisi atau peluang baru dalam kariernya tampaknya cukup banyak yang tertarik dengan kesempatan yang mungkin bisa diraih jika Prabowo menang.
Adapun Jokowi, meskipun juga cukup menyedot perhatian kalangan dalam periode usia ”uji coba” tersebut, lebih lekat dengan kalangan usia mapan dan pemilih muda. Jokowi juga didukung kalangan dari berbagai lapis sosial ekonomi meskipun terkuat berasal dari kelas bawah dan atas. Sementara dukungan terhadap Prabowo lebih terkonsentrasi pada kalangan menengah dan atas, menjadikan figurnya masih terkesan elitis.
Dimensi agama dalam politik sekarang dan ke depan akan memainkan peranan sangat penting sehingga pemetaan atas dukungan berdasarkan aliran agama menjadi realitas yang tak mungkin dinafikan. Prabowo menjadi figur yang sangat menarik bagi pendukung dari kalangan Islam, khususnya yang mengusung ideologi konservatif dan dari kalangan Muhammadiyah. Ia nyaris tak menarik bagi kalangan penganut agama di luar Islam.
Dukungan terhadap Prabowo lebih terkonsentrasi pada kalangan menengah dan atas, menjadikan figurnya masih terkesan elitis.
Sementara Jokowi selain didukung kalangan Islam yang berpikiran moderat juga dipilih lebih banyak dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Figur Jokowi pun menjadi pilihan utama bagi kalangan agama-agama di luar Islam. Dengan melihat pemetaan tersebut, sulit bagi Prabowo untuk dapat melangkah lebih jauh meraup dukungan pemilih jika tidak ada pergerakan merangkul kalangan NU dan non-Islam.
Problem dukungan
Jika Prabowo tetap akan maju sebagai capres, setidaknya ia akan menghadapi beberapa hal. Pertama, sistem pemilu telah berubah, tidak lagi ada pemilu legislatif yang dilanjutkan dengan pemilu presiden. Dua pemilu itu digabung pada hari yang sama. Hal ini membuat koalisi yang terjadi sekarang menjadi jauh lebih penting daripada jika dilakukan mendekati pemilu.
Prabowo harus secepatnya mengikat partai lain sebagai modal untuk mencapai persyaratan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, yang menjadi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Kegagalan pertama bisa berawal dari soal ini.
Karena sistem pemilu presiden yang dibarengkan dengan pemilu DPR, tinggi rendahnya suara partai pada Pemilu 2019 tidak akan berpengaruh pada keterpilihan presiden. Yang paling berpengaruh adalah pergerakan sosok dan partai saat ini, terutama kinerjanya dalam menggalang dukungan dari partai-partai lain.
Sejauh ini, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sudah terang-terangan mencalonkan Jokowi untuk Pemilu 2019, membuat ruang gerak Prabowo semakin sempit.
Sebaliknya, hingga saat ini, baru Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang secara terbuka menyatakan dukungan kepada ketua dewan pembinanya tersebut. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang pada pemilu lalu dan pada Pilkada Jakarta berkoalisi dengan Gerindra, juga belum memberi sinyal dukungannya.
Bagaimana dengan kostituen partai? Pemilih partai, selain Partai Gerindra, yang masih cukup solid mendukung Prabowo untuk jadi presiden adalah konstituen Partai Amanat Nasional (PAN). Kaum pemilih dari wadah politik yang identik dengan Muhammadiyah tersebut hingga saat ini lebih banyak yang memilih Prabowo daripada Jokowi, walaupun PAN sudah menyatakan diri tak terikat lagi dengan Koalisi Merah Putih dan bergabung dengan koalisi pemerintah.
Dukungan senada disuarakan pemilih dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang hingga kini masih cukup banyak yang setia di belakang Prabowo meski cenderung melemah karena belum ada penanda arah dari pimpinan partainya. Sementara pendukung Partai Golkar dan PPP telah selaras dengan pindahnya dukungan kedua partai itu, yaitu ke koalisi Jokowi.
Persoalan kedua, menurunnya popularitas di mata orang-orang yang pada pemilu lalu memilihnya. Selama tiga tahun pascapemilu, ia nyaris tenggelam dari pemberitaan media. Kecuali saat-saat Pilkada DKI Jakarta, panggung politik seolah sepi dari wacana sepak terjangnya.
Meskipun masih cukup banyak (54,3 persen) dari pemilih Prabowo pada Pemilu 2014 yang akan mendukungnya kembali jika ia dicalonkan, sebagian sudah memikirkan pilihan pada sosok lain. Sebanyak 15,5 persen beralih mendukung Jokowi, 15,8 persen mengharapkan tokoh-tokoh lain, dan selebihnya masih menunggu perkembangan. Mereka yang berpindah ke Jokowi pada umumnya adalah yang merasa puas terhadap kinerja pemerintah saat ini dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Kuatnya pandangan tentang keberhasilan pemerintahan Jokowi tidak hanya disampaikan pendukung Jokowi, tetapi juga oleh mereka yang pada pemilu lalu memilih Prabowo. Sebanyak 61,6 persen bekas pemilih Prabowo merasa puas terhadap kinerja pemerintah saat ini dalam bidang politik, 47,5 persen puas dalam bidang hukum, 38,6 persen puas dalam bidang ekonomi, dan 63,4 persen puas dalam bidang kesejahteraan sosial.
Saat ini, panggung politik nyaris sepenuhnya dikuasai oleh Jokowi. Hanya 17,5 persen dari total responden yang menganggap Jokowi gagal dalam menjalankan kerja kepresidenan selam tiga tahun ini. Dari situ, sebanyak 46,5 persen memang menjadikan Prabowo sebagai rujukan figur untuk capres mendatang. Namun, sebagian yang lain merujuk tokoh lain atau memilih menunggu perkembangan.
Menguji aksioma
Apakah kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung Partai Gerindra dan PKS dalam Pilkada DKI Jakarta akan identik dengan kemenangan Prabowo dalam Pemilu 2019 nanti?
Tampaknya aksioma tersebut harus dikritisi dari perbedaan karakter antara Jokowi dan Ahok. Dengan pribadi yang santun dan kultur Jawa yang kental, Jokowi sulit disamakan dengan pribadi Ahok yang temperamental dan beretnis Tionghoa. Walaupun bisa saja Jokowi diterpa isu-isu terkait asal-usul, ideologi, ataupun agama, benteng hukum yang dibuat untuk menangkal hoaks telah cukup tebal.
Penerapan UU ITE, pembubaran organisasi anti-Pancasila, dan pencatatan nomor gawai dengan menyertakan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK) akan meminimalkan penggelembungan isu ke arah sana. Selain itu, Jokowi dengan cerdik juga telah memanfaatkan setiap situasi, termasuk perkawinan anaknya, untuk merekatkan dukungan politiknya.
Meski demikian, lubang-lubang menuju kekuasaan tampaknya belum sepenuhnya tertutup bagi Prabowo. Prabowo hanya perlu satu terobosan untuk mengimbangi kekuatan Jokowi. (Bersambung)