Menyiasati Perubahan Cepat Lanskap Pekerjaan
Teknologi digital dan layanan mobile semakin menguasai kehidupan modern. Lanskap pekerjaan dan keterampilan untuk itu pun ikut berubah.
Teknologi digital dan layanan mobile semakin menguasai kehidupan modern. Perkembangan dunia yang diwarnai disrupsi teknologi, informasi, dan komunikasi ini membawa konsekuensi perubahan struktur dan perilaku ekonomi, baik di sisi penawaran maupun permintaan. Lanskap pekerjaan dan keterampilan yang dibutuhkan pun ikut berubah.
Banyak sekali perilaku konsumsi kita sekarang yang “dipaksa” berubah dan beralih mengikuti teknologi dan layanan mobile sesuai perkembangan zaman. Contoh yang paling mudah dibayangkan adalah layanan transportasi (ojek dan taksi) online, serta belanja online. Transaksi keuangan perbankan juga mulai dimudahkan melalui mobile banking. Melamar pekerjaan pun kini lewat aplikasi online.
Belum lama ini, tepatnya mulai 31 Oktober lalu, transaksi di seluruh jalan tol di Indonesia pun menggunakan uang elektronik. Pengguna kendaraan yang akan melewati jalan tol harus menempelkan kartu elektronik di gardu tol yang tersedia. Hanya tersisa sedikit gardu tol dengan petugas yang menerima uang tunai.
Penggunaan teknologi dalam penyediaan barang dan jasa akan mengefisienkan pemakaian tenaga manusia, tergantikan oleh mesin dengan basis teknologi terbaru. Akibatnya, permintaan dalam pasar tenaga kerja pun bergeser ke pekerjaan-pekerjaan yang berbasis teknologi. Di masa depan, kehidupan modern akan diwarnai oleh kehadiran robot-robot canggih, transportasi otomatis, pemanfaatan bioteknologi, dan kecerdasan buatan.
Para pakar ekonomi menyebut fenomena ini dengan istilah disrupsi oleh teknologi (disruptive technology). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang Profesor Clayton M Christensen dari Harvard Business School, Amerika Serikat, pada tahun 1997 lewat bukunya The Innovator’s Dilemma. Keberadaan teknologi telah mengubah pasar, produk atau jasa, termasuk perilaku konsumsi. Ia tidak hanya mengubah model bisnis dan bidang industri, tetapi juga memperbarui layanan pemerintahan.
Yang menjadi panglima dalam era disrupsi ini adalah inovasi dalam memanfaatkan celah yang terbuka. Ciri disrupsi teknologi ini sederhana, belum tentu mahal, dan sangat mudah penggunaannya. Generasi milenial akrab dengan fenomena ini.
Keberadaan teknologi telah mengubah pasar, produk atau jasa, termasuk perilaku konsumsi.
Dengan bergesernya lanskap pekerjaan sesuai dengan tuntutan teknologi yang berkembang, muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang dalam lima atau sepuluh tahun yang lalu belum ada. Pekerjaan yang tersedia lima atau sepuluh tahun ke depan pun belum tentu ada sekarang.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) memperkirakan 65 persen anak-anak yang sekarang masih di bangku SD di masa mendatang akan menekuni pekerjaan baru yang sekarang belum ada. Selain itu, sekitar 45 persen aktivitas dan pekerjaan manusia otomatis akan memakai teknologi terbaru.
Lebih lanjut,WEF menyatakan perkembangan teknologi saat ini akan berdampak pada hilangnya 7,1 juta pekerjaan di dunia selama periode 2015-2020. Jenis pekerjaan yang hilang tersebut lebih banyak terkait pekerjaan rutin yang sifatnya klerikal dan administasi. Sementara pekerjaan anyar yang tercipta baru sekitar 2 juta pekerjaan. Pekerjaan baru tersebut didominasi oleh kegiatan bisnis keuangan.
Dengan lanskap pekerjaan yang cepat berubah karena disrupsi teknologi, dibutuhkan kemampuan untuk mengantisipasi dan mempersiapkan sumber daya manusia dengan keterampilan yang dibutuhkan masa depan. Jika tidak dipersiapkan, kondisi ini akan menciptakan persoalan baru, yaitu pekerjaan atau profesi yang tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten. WEF berdasarkan surveinya menyebutkan 38 persen pemberi kerja saat ini kesulitan mendapatkan orang-orang dengan keterampilan yang tepat yang mereka butuhkan.
Kemampuan belajar
Karena kebanyakan pekerjaan di masa depan belum ditemukan sekarang, diperlukan keterampilan yang membuat seseorang mampu bertahan dalam segala perubahan sehingga tidak mudah kehilangan pekerjaan. Kemampuan itu secara umum disebut learnability, yaitu kemampuan untuk belajar keterampilan baru secara cepat. Tujuannya tak lain agar bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan.
Meningkatkan dan memperbarui keterampilan (reskilling) harus dilakukan terus-menerus agar seseorang tetap bisa dipekerjakan. Untuk itu, seseorang harus memiliki pemikiran yang cerdas, fleksibel, dan selalu terbuka terhadap setiap tantangan baru.
WEF memetakan ada 10 keterampilan utama yang dibutuhkan pada tahun 2020. Sepuluh keterampilan tersebut adalah kemampuan memecahkan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreativitas, manajemen SDM, koordinasi dengan pihak lain, kecerdasan emosional (EI), kemampuan menilai dan mengambil keputusan, orientasi layanan, negosiasi, serta fleksibilitas kognitif.
Jika kemampuan belajar dan beradaptasi ini dimiliki, ada pandangan pendidikan formal di perguruan tinggi menjadi faktor yang tidak begitu penting. Hal ini bisa dilihat dari kemunculan wirausaha-wirausaha muda dengan latar pendidikan yang beragam, tidak harus dari jalur sekolah ekonomi. Bahkan, banyak pula orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi mampu memulai suatu usaha rintisan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ditambah lagi, banyak perusahaan yang tidak mementingkan latar belakang pendidikan tertentu karena mereka memberikan pelatihan keterampilan khusus bagi calon karyawannya.
Banyak orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi mampu memulai usaha rintisan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun, pendidikan sampai ke perguruan tinggi tetap diperlukan untuk membentuk kualitas sumber daya manusia yang unggul. Perguruan tinggi mempunyai peran mengasah kemampuan berpikir analitis dan strategis untuk menghadapi semua situasi. Kemampuan analitis ini sangat diperlukan untuk mencari solusi masalah dan latihan untuk pengambilan keputusan. Selain itu, perguruan tinggi juga menjadi jembatan terciptanya inovasi-inovasi yang mendorong perkembangan teknologi itu sendiri dan bermanfaat bagi dunia usaha.
Dengan peran yang penting ini, perguruan tinggi juga dituntut fleksibel dan responsif dalam menyikapi perubahan dunia yang terus-menerus. Terutama dalam penerapan metode pengajaran dan disiplin ilmu yang diajarkan sesuai dengan perkembangan dunia kerja.
Tantangan Indonesia
Dalam dunia yang terus berubah dan makin modern, tantangan yang dihadapi sumber daya manusia Indonesia sangat besar agar tidak tergilas perubahan zaman. Pendidikan tetap menjadi faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sayangnya, saat ini komposisi angkatan kerja kita dilihat dari tingkat pendidikan masih tergolong rendah. Lebih dari separuh dari angkatan kerja kita berpendidikan SMP ke bawah (59,61 persen). Hanya 12,26 persen yang tamat perguruan tinggi (diploma dan universitas).
Dilihat dari Indeks Pembangunan Indonesia (HDI), Indonesia termasuk dalam kelompok negara-negara dengan perkembangan sedang (medium). Tahun 2015, berdasarkan laporan UNDP, HDI Indonesia di angka 0,689, menduduki peringkat ke-113 dari 188 negara. Di antara negara anggota ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Singapura (5), Brunei (30), Malaysia (59), dan Thailand (87).
Posisi Indonesia ini sekelas dengan Vietnam, Filipina, dan negara anggota ASEAN lainnya. Singapura dan Brunei termasuk dalam kelompok HDI dengan perkembangan sangat tinggi. Sementara Malaysia dan Thailand termasuk dalam kelompok dengan perkembangan yang tinggi.
Masih banyak yang harus dikerjakan pemerintah untuk mengejar kemajuan sumber daya manusia agar mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Dalam dunia yang semakin canggih dengan teknologi digital dan layanan mobile-nya, sudah seharusnya masyarakat Indonesia memiliki peran yang aktif dalam mencipta perubahan. Bukan hanya menjadi pemakai semata, apalagi menjadi korban disrupsi teknologi. (LITBANG KOMPAS)