Masa Depan Politik Prabowo Subianto (4): Duet Prabowo-AHY Berpotensi Tipiskan Kemenangan Jokowi
Jika Prabowo dapat secara cepat mengambil cawapres yang tepat, besar kemungkinan ia dapat mengimbangi kekuatan Jokowi.
Pengajuan bakal calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019 akan dilaksanakan pada Agustus 2018 sehingga tinggal tersisa sembilan bulan lagi untuk memastikan siapa tokoh yang akan diajukan dan partai apa yang mengajukan. Juga, untuk memastikan siapa figur paling berpotensi mendampingi Prabowo ataupun Jokowi jika mereka maju.
Pemilu Presiden 2019, seharusnya, adalah pertarungan yang bakal memperlihatkan strategi paling jitu untuk mengusung tokoh dan menghimpun koalisi partai. Namun, belum munculnya tokoh-tokoh lain yang dinilai pantas menyaingi popularitas Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden RI mendatang membuat partai-partai tampaknya tak punya pilihan lain, selain merapat kepada kedua tokoh itu.
Tiga kali pelaksanaan pemilu presiden langsung membuat partai belajar banyak untuk berhitung makin cermat. Keberanian partai untuk coba-coba mengusulkan figur baru yang tidak populer, seperti pada pilpres langsung pertama dan kedua, tampaknya tidak lagi dilakukan parpol.
Kecenderungan untuk sangat berhati-hati ini sebetulnya sudah terlihat pada Pilpres 2014, yang pada akhirnya hanya memunculkan dua pasang kandidat. Pencapresan pun memperlihatkan proses koalisi yang paling dramatik hingga saat-saat terakhir batas pendaftaran capres. Situasi politik yang tak mudah ini membuat Partai Golkar dan Demokrat terlihat paling ragu memilih capres yang akan didukung, sebelum akhirnya mendukung Prabowo-Hatta. Namun, setelah kekalahan Prabowo, sebagian partai pendukungnya (Golkar, PAN, dan PPP) pindah koalisi, mendukung pemerintahan Jokowi.
Keberanian partai untuk coba-coba mengusulkan figur baru tampaknya tidak lagi dilakukan parpol.
Salah langkah Golkar dengan bergabung ke Koalisi Merah Putih (KMP) dan kalah telah menjadi pelajaran berharga bagi partai ini. Tak heran jika kali ini Golkar akan coba menebusnya dengan menjadi partai yang paling pertama mengusulkan calon presiden, yakni Jokowi. Langkah ini kemudian diikuti PPP. Partai-partai lama lainnya pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH), seperti Nasdem dan Hanura, juga sudah deklarasi mendukung Jokowi. Dukungan juga mengalir dari partai-partai baru, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Indonesia Kerja (Pika), Partai Republik, serta partai nonparlemen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sementara PKB, yang tampak sedang mengusulkan ketua umumnya sebagai capres atau cawapres, pun terlihat lebih condong merapat ke Jokowi.
PAN, meskipun bergabung dengan pemerintah, sikapnya belum jelas akan mendukung siapa. Sikap ini bisa dimaknai sedang menunggu ”barang bagus” (komposisi) yang ditawarkan Prabowo atau Jokowi. Secara kalkulasi, hampir mustahil PAN akan mengusung calon dari dalam partainya mengingat rendahnya suara partainya dan dalam pemilu sebelumnya gagal memenangkan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa menjadi wakil presiden. Terlebih, hingga kini, belum muncul figur kuat untuk dicalonkan. Maka, di luar Gerindra, dari KMP kini hanya tersisa Partai Demokrat dan PKS yang paling bebas mengusung calonnya, atau merapat ke Prabowo atau Jokowi.
Tren mode
Perubahan kadang tidak disebabkan oleh soal kapasitas ketokohan, tetapi oleh tren mode. Sebagian orang memang merasa nyaman dengan mekanisme yang sudah berjalan, tetapi sebagian orang ingin merasakan sesuatu yang baru, termasuk bertualang dalam dimensi kekuasaan dan harapan baru.
Belajar dari pilpres lalu, besarnya koalisi partai pendukung Prabowo tidak menjamin kekuatan untuk menahan laju tren mode kepemimpinan baru. Mereka gagal menahan sebuah imajinasi pemerintahan yang ditawarkan Jokowi. Selain kekuatan citra kerja personalnya, Jokowi juga didukung oleh JK yang merepresentasikan keseimbangan geopolitik. Sikap dan langkah Jokowi dalam memerintah, baik di Surakarta maupun di Jakarta, menciptakan tren mode kepemimpinan baru.
Namun, kini Jokowi tengah berada di puncak, dalam posisi petahana. Menjadi rawan kalau terjadi stagnasi mimpi ketika orang memandang apa yang dilakukan Jokowi sudah bukan hal baru lagi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah formasi segar yang mampu membangkitkan imajinasi yang lebih besar.
Sekalipun kinerja pemerintahannya diapresiasi tinggi, Jokowi akan cukup repot jika menghadapi gejala ”new fashion” kalau tidak menampilkan cawapres yang sama segarnya dengan lawan politiknya. Jika tidak mampu membangkitkan imajinasi yang baru, ia akan menjadi bagian dari ”old fashion”. Jokowi, dengan kualitas personalnya, hanya bisa aman jika lawan politiknya tidak menampilkan sebuah komposisi yang segar.
Butuh sebuah formasi segar yang mampu membangkitkan imajinasi yang lebih besar.
Sebuah imaji besar nyaris mustahil tercipta jika Jokowi mengambil wakil dari pasar tokoh partai yang saat ini sudah cenderung jenuh. Yang paling mungkin adalah jika Jokowi memilih wakil dari kepala daerah yang sudah terbukti berhasil. Dengan komposisi Jokowi + KDH, publik akan diyakinkan bahwa program-program yang bagus akan diteruskan oleh generasi sesudahnya. Kesinambungan menjadi lebih jelas. Partai pengusung utama, yakni PDI-P, pun akan tetap eksis jika regenerasi kepemimpinan nasional berjalan mulus. Namun, jika calon wakilnya juga berasal dari unsur PDI-P, Jokowi akan menghadapi potensi penolakan dari partai-partai koalisinya sendiri.
Prabowo + kepala daerah
Posisi cawapres akan menjadi penentu sesungguhnya dalam Pemilu 2019. Jika Prabowo dapat secara cepat mengambil cawapres yang tepat, besar kemungkinan ia dapat mengimbangi kekuatan Jokowi. Dilihat dari pasar elite politik dan partai yang ada, pilihan wakil bagi Prabowo tampak jauh lebih sempit walau terbuka juga peluang untuk mengambil figur kepala daerah, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atau Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH Muhammad Zainul Majdi (TGB).
Meski demikian, sosok Anies Baswedan yang mengalahkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta lalu akan menghadapi restriksi yang cukup besar, yang mungkin akan cukup menguras tenaga, pikiran, dan biaya untuk menghadapi resistensi. Selain itu, kinerja Anies sebagai gubernur juga masih akan diukur publik dalam beberapa bulan ke depan. Jika respons masyarakat negatif, pilihan untuk menarik Anies sebagai wakil pun mengecil. Sementara Anies mungkin lebih memilih menjadi orang nomor satu di Jakarta daripada menempati posisi wakil presiden, kecuali jika diusulkan menjadi calon presiden.
TGB (Tuan Guru Bajang), panggilan akrab Gubernur NTB, menjadi figur yang layak diperhitungkan menjadi pendamping Prabowo. Selain namanya sangat masyhur di NTB, juga wilayah yang dikuasai telah memenangkan suara Prabowo pada pemilu lalu. Perannya akan makin menebalkan suara kalangan Muslim di wilayah ini dan sekitarnya. Selain didukung oleh PKS, ketokohan TGB juga dipandang kuat di bidang keagamaan. Meski demikian, sosoknya belum tentu akan menjadi penarik kalangan muda dan pemilih dari daerah lain mengingat namanya belum banyak dikenal di level nasional.
Prabowo + AHY
Dalam pasar imajinasi politik yang saat ini berkembang, mungkin hanya sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang berpotensi menjadi daya tarik pemilih di level nasional. Didukung oleh partai yang pernah terbesar (Pemilu 2009 meraih 20,85 persen suara), anak sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini bisa menjadi pemain kunci yang menentukan persaingan antara Prabowo dan Jokowi. Meskipun kalah dalam putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, namanya sudah masuk ke dalam pusaran calon pemimpin nasional.
Sekalipun akan banyak orang yang berpikir bahwa AHY belum pantas menempati posisi wakil presiden, mengingat kekalahannya pada Pilkada Jakarta dan usianya yang masih sangat muda (39 tahun), ia akan menjadi kunci arah koalisi Partai Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat SBY tampaknya tak punya pilihan lain, selain memajukan anaknya untuk posisi wakil presiden. Pertemuan SBY akhir-akhir ini dengan Prabowo ataupun Jokowi mudah dibaca publik sebagai penjajakan arah koalisi Demokrat untuk memuluskan jalan bagi AHY.
Posisi AHY dalam rentang pertarungan Prabowo dan Jokowi membuat Demokrat dan AHY menjadi ”playmaker” yang bisa menentukan perolehan suara kandidat dan mungkin kemenangan.
Situasi ini akan membuat Jokowi berada dalam posisi yang cukup sulit. Menghadapi partai penentu, tak mudah bagi Jokowi membujuk AHY untuk mau ditempatkan pada posisi menteri. Jika mengambil AHY sebagai wakil, dilema level pertama akan dihadapi. Di satu sisi akan menimbulkan keragu-raguan pemilih akan kapasitas duet Jokowi-AHY dan mungkin berpotensi mengurangi dukungan. Di sisi lain, bisa saja AHY akan menjadi figur penarik kalangan muda sehingga menambah dukungan.
Jika dua gejala ini sama kuatnya, pada akhirnya hanya akan terbaca satu hal: dukungan terhadap Jokowi mungkin akan stagnan. Selain itu, PDI-P yang telah mengusung Jokowi juga harus menghitung probabilitas masa depan partainya setelah pemilu nanti karena mungkin takhta akan jatuh ke AHY dan ke depan Demokrat menjadi partai yang paling diuntungkan. Maka, memang lebih menguntungkan bagi Jokowi apabila AHY mau menempati posisi menterinya.
Dilema level kedua adalah, jika Jokowi tidak meluluskan permintaan Demokrat agar AHY dipasang sebagai wakil, AHY kemungkinan akan berpihak ke oposisi. Jika Prabowo mengambil AHY sebagai calon wakilnya, kemenangan Jokowi mungkin akan terancam.
Peran AHY sendiri mungkin memang akan lebih besar dalam pemilu ketika menjadi pendamping Prabowo. Pasangan Prabowo-AHY akan menghimpun energi massa yang terserap ke dalam Anies-Sandi dan AHY-Sylvi dalam Pilkada Jakarta, kemarin, ke dalam satu kekuatan yang cukup besar, bahkan berpotensi menipiskan kemenangan Jokowi. Elemen Islam, yang bersimpati kepada kedua pasangan dalam pilkada Jakarta kemarin, besar kemungkinannya akan tersedot ke sana. Selain totalitas Demokrat untuk memenangkan pasangan itu, keluarga besar TNI mudah diduga akan lebih condong mendukung pasangan ini, mengingat keduanya berlatar belakang militer walaupun secara formal kelembagaan TNI bersikap netral.
Jika pasangan itu berduet, bisa diduga PKS akan kembali merapat ke Prabowo mengingat selama ini afiliasinya lebih condong ke figur militer. Dalam Pemilu 2004, PKS mendukung Wiranto, dalam Pemilu 2009 mendukung SBY, dan pada Pemilu 2014 mendukung Prabowo.
Apakah dengan mengambil AHY, Prabowo pasti menang? Pemilu 2019 adalah pertarungan imajinasi menghadirkan komposisi, tak sekadar menghimpun koalisi, sehingga peluang Prabowo juga sangat tergantung pada komposisi lawannya. Jika Jokowi tak mampu membentuk komposisi yang ideal, peluang Prabowo membesar. Akan tetapi, jika pasangan Jokowi mampu menerbitkan harapan baru yang lebih besar, peluang Prabowo menipis.
Di luar pertarungan mainstream yang mungkin akan membuat keterbelahan masyarakat tetap langgeng ini, adakah kemungkinan lain yang membuat kohesivitas bangsa Indonesia lebih kokoh? Hanya terjadi jika kedua petarung mengambil jalan lain, sebuah terowongan yang dilalui bersama. (LITBANG KOMPAS)