Masa Depan Politik Prabowo Subianto (5-Habis): Mendayung Bersama Jokowi?
Arus utama persaingan Pemilu Presiden 2019 menempatkan Prabowo sebagai calon pesaing terberat Jokowi. Keduanya, Prabowo dan Jokowi, kerap ditempatkan sebagai sosok dikotomik yang saling terpilah (mutually exclusive). Sampai sejauh ini, belum ada satu sosok pun yang mampu menyaingi besaran proporsi keterpilihan publik terhadap keduanya.
Mengikuti cara berpikir bahwa persaingan hanya terjadi pada mereka berdua punya implikasi yang rumit bagi Prabowo. Menghadapi petahana yang dinilai mayoritas masyarakat ”puas” terhadap kinerjanya tergolong sulit. Apalagi, dalam posisi sebagai presiden, modal politik, sosial, dan ekonomi yang Jokowi kuasai semakin berlimpah. Sementara bagi Prabowo, semenjak pertarungan pada Pemilu 2014, modal yang ia kuasai semakin terbatas jika tidak dikatakan menyusut.
Singkatnya, sepanjang tiga tahun terakhir, tidak banyak lagi tersisa ruang gerak politik bagi Prabowo. Itulah mengapa strategi pencarian figur potensial sebagai calon pendamping Prabowo menjadi salah satu alternatif jawaban dalam mengejar kemenangan. Terkait hal ini, kapasitas ketokohan dari calon pendampingnya jelas menjadi syarat baku guna memperkuat kapasitas modal pertarungan. Akan tetapi, kali ini tampaknya tidak cukup hanya bersandar pada kekuatan modal semacam itu. Kerinduan publik pada kehadiran sosok-sosok baru yang lebih mengusung simbol harapan baru bisa jadi lebih relevan.
Pada level kepala daerah, nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menonjol. Ada berbagai kelebihan, tetapi tidak sedikit pula resistensi yang bakal dituai. Salah satunya, menggandeng Anies Baswedan relatif tidak banyak menambah dukungan publik. Pasalnya, kedua pendukung berasal dari karakteristik pemilih yang relatif sama dan semakin tervalidasi pada saat ajang Pilkada DKI lalu.
Sosok Agus Harimurti Yudhoyono juga berpotensi dipasangkan. Berbekal kapital sebagai putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat, Agus berpotensi melancarkan langkah politik Prabowo. Di samping kedua sosok di atas, terdapat pula beberapa sosok potensial, termasuk figur lain yang kini masih bersifat laten. Artinya, kalkulasi politik pengombinasian pasangan menjadi agenda krusial Prabowo.
Namun, apa jadinya jika Prabowo memilih strategi politik yang sebaliknya, yakni membangun kekuatan politik yang sejalan dan seiring (mutually necessary) dengan Jokowi?
Membayangkan pola relasi semacam ini mungkin sulit terbangun jika bersandar pada perspektif psikologi politik dari kedua sosok tersebut. Pasalnya, bagaimana mungkin dua sosok yang semenjak Pemilu 2014 berseberangan langkah dapat disatukan? Bagi sosok petarung seperti Prabowo, berkoalisi dengan rival politiknya bisa saja berarti ketertundukan. Apalagi, dalam prospek relasi yang terbentuk, dipastikan ia bakal ditempatkan sebagai wakil ketimbang calon presiden. Ditambah dengan berbagai pertimbangan latar belakang yang mungkin bersifat pribadi, relasi itu bakal semakin sulit terwujud.
Akan tetapi, jika kalkulasi politik yang digunakan berdasar pada berbagai pertimbangan lebih rasional akan berbicara lain. Dapat dipastikan kombinasi kedua sosok tersebut mampu menjadi magnet terbesar bagi kehidupan politik elektoral bangsa ini. Dengan menggunakan acuan hasil survei Kompas yang terkait dengan tingkat keterpilihan keduanya, minimal hampir dua pertiga (64 persen) suara dapat diraih pasangan ini.
Proporsi tersebut sangat dominan, jauh dari perolehan sosok-sosok lain yang pernah memenangi pemilu presiden di negeri ini. Bahkan, dengan potensi penguasaan pemilih seperti itu, semakin menjadi masuk akal jika hampir setiap partai mengusung pasangan ini dan menjadikannya sebagai calon tunggal yang dipertandingkan melawan kotak kosong pemilu.
Jika Prabowo mendayung perahu bersama Jokowi, dengan Golkar dan PAN tetap pada posisi sekarang (mendukung pemerintah), dapat dipastikan pemilu presiden akan berlangsung dengan calon tunggal. Demokrat dan PKS yang saat ini berada di luar pemerintahan tak akan sanggup membentuk koalisi tandingan karena jumlah kursi mereka ketika digabung hanya mencapai 18 persen. Kondisi ini akan memaksa mereka juga bergabung dengan koalisi tunggal Jokowi. Jika ini terjadi, Jokowi-Prabowo hanya akan menghadapi kotak kosong, yang dari pengalaman pilkada di sejumlah daerah selalu dimenangkan kandidat tunggal.
Persoalannya, atas pertimbangan atau alasan apakah yang memungkinkan terbentuknya penyatuan kedua sosok tersebut dalam pasangan calon presiden?
Dekonstruksi keterbelahan
Penyatuan kekuatan dari pendukung yang berbeda menjadi alasan taktis-pragmatik terkuat. Fakta menunjukkan, semenjak pertarungan Prabowo dan Jokowi pada Pemilu 2014, rivalitas di antara keduanya masih kuat terasakan. Masing-masing sosok memiliki basis pendukung yang loyal dengan karakteristik yang berbeda dan saling terpilah.
Membandingkan beberapa survei Kompas berbasis responden yang sama (panel survei) sepanjang 2012-2014 dengan hasil survei pasca-Pemilu 2014 (exit poll), basis dukungan terhadap kedua sosok tersebut tampak konsisten. Tidak hanya itu, kedua sosok berhasil membangun kalangan strong voter yang hampir sama besar. Kalangan strong voter yang dimaksud merupakan proporsi pemilih yang tergolong sangat loyal kepada sosok presiden pilihannya. Selain loyal, kalangan ini memiliki kecenderungan sikap yang resisten terhadap lawan politik calon pilihannya.
Hasil survei terbaru, Oktober 2017, masih menunjukkan kadar loyalitas yang tinggi dari kedua pendukung. Sekalipun terjadi perubahan pola dukungan yang lebih menguntungkan posisi Jokowi, perpindahannya masih tergolong kecil. Lebih dari separuh responden (54,3 persen) yang mengaku memilih Prabowo pada Pemilu 2014 kini masih bertahan akan memilihnya kembali. Sementara 15,5 persen beralih dukungan kepada Jokowi. Sebaliknya, 61,9 persen responden pemilih Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu bertahan dan sebanyak 7,8 persen beralih kepada Prabowo.
Pada sisi lain, terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dari karakteristik pendukung keduanya. Hasil survei menunjukkan, pendukung Prabowo memiliki proporsi lebih banyak kalangan berjenis kelamin pria, berusia lebih muda, berpendidikan menengah ke atas, kategori sosial ekonomi menengah, dan proporsi mayoritas beragama Islam yang di atas rata-rata proporsi penduduk Indonesia. Sebaliknya, dari sisi jenis kelamin, proporsi pendukung Jokowi imbang antara pria dan wanita. Beragama relatif sebanding dengan proporsi agama penduduk di negeri ini. Proporsi pendukung berusia di atas 40 tahun lebih besar dengan latar belakang pendidikan bertumpu pada pendidikan menengah ke bawah (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik Pendukung
Sumber: Litbang Kompas/RFC/BES (2017)
Bersandar pada data di atas, baik kadar loyalitas maupun derajat perbedaan karakteristik pendukung Prabowo dan Jokowi, keduanya menunjukkan karakterisitik yang khas dari masing-masing pendukung dan sekaligus menunjukkan keterbelahan dari perbedaan pendukung.
Wujud paling nyata keterpilahan dukungan terlegitimasikan pada identitas kepartaian dari pendukung Prabowo dan Jokowi saat ini. Bagian terbesar responden, yang mengaku memilih partai-partai pendukung yang tergolong koalisi partai pendukung Jokowi, memilih Jokowi jika pemilu dilakukan saat ini. Tiga perempat bagian (76 persen) yang saat ini mengaku akan memilih PDI-P menyatakan mendukung Jokowi. Begitu pula 69,4 persen pendukung Nasdem, 50 persen pendukung PKB, dan 46, 2 persen pendukung Golkar mengaku mendukung Jokowi. Di sisi lain, Prabowo didukung oleh 74, 4 persen pemilih Gerindra, tetapi kali ini hanya 30 persen pendukung PKS yang akan kembali memilihnya (Tabel 2).
Tabel 2.
Sumber: Litbang Kompas/RFC/BES (2017)
Proporsi tersebut, kecuali yang terjadi pada PKS dan partai PAN serta PPP, dapat dikatakan tidak banyak berbeda dengan kondisi di saat Pemilu 2014. Hasil exit poll saat Pemilu 2014 juga menunjukkan bagaimana para pendukung kedua bagian koalisi partai sangat solid dukungannya terhadap masing-masing calon presiden.
Akan tetapi, menariknya, sekalipun keterpilahan dukungan yang didasarkan pada loyalitas sosok calon presiden terjadi, pada persoalan lain kedua pihak justru bersifat konvergen. Bagian terbesar responden, apa pun partai pilihannya, memberikan penilaian yang relatif tidak berbeda terhadap kinerja kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. Mereka menganggap puas terhadap kinerja pemerintahan dalam beberapa bidang permasalahan.
Berbagai kondisi di atas mengindikasikan, formasi keterpilahan dukungan merupakan suatu produk pengonstruksian terhadap perbedaan yang selama ini terus-menerus terpelihara. Namun, upaya tersebut tampaknya tidak bersifat mutlak, yang dalam kondisi lain dapat menyatu. Berdasarkan karakteristik formasi yang demikian, penyatuan kedua sosok, Prabowo dan Jokowi, relevan untuk dipertimbangkan.
Pemersatu bangsa
Penyatuan dukungan tidak hanya menjadi strategi politik taktis pragmatik semata. Penyatuan kekuatan politik Prabowo dan Jokowi punya implikasi luas terhadap potensi harmonisasi kehidupan masyarakat. Bagaimana pun, peristiwa-peristiwa politik yang menghangat tahun-tahun terakhir ini tidak lepas dari kondisi yang semakin memandang perbedaan-perbedaan menjadi sesuatu yang harus dipertentangkan.
Sejauh ini, sekalipun berbagai upaya rekonsiliasi sosial mulai banyak dilakukan pemerintahan Jokowi, tetapi tampaknya hanya terfokus pada tataran yang lebih bersifat simbolik. Itulah mengapa paduan dari kedua sosok tersebut mampu mengongkretkan rekonsiliasi sosial dengan kadar yang jauh melebihi kekuatan sisi simbolik.
Jika kondisi demikian yang terwujud, posisi politik Prabowo berpotensi kian berkilau. Ia menjadi sosok teladan dalam merajut keterbelahan bangsa. Begitu pula, menjadi bagian dari pengelola negara membuka peluang perluasan kekuatan modal politik yang ia miliki. Bagaimanapun cita-cita politiknya bersama Partai Gerindra yang konsisten ia jalankan selama dua periode di luar pemerintahan menjadi kurang optimal jika posisi oposisi kembali berlanjut.
Penyatuan Jokowi-Prabowo juga akan mengurangi energi yang terkuras oleh konflik sosial yang memecah keutuhan bangsa. Harmonisasi energi massa ini dapat dipakai Indonesia untuk menghadapi musuh yang lebih besar dan banyak ke depan, menghadirkan eksistensi republik yang lebih kokoh dalam tataran negara-negara ASEAN dan internasional.
Tentu, jalan politik tidak semudah yang terkalkulasikan. Prabowo adalah sosok politik yang paham ke mana masa depan politiknya berlabuh. Begitu pun, sebagai petarung politik sejati, ia akan selalu siap dengan segenap risiko pilihannya. Namun, jika jalan kekuasaan adalah tujuan akhirnya, maka kekuasaan yang tremendum et fascinosum (menggentarkan dan menakjubkan) hanya akan diraih dalam satu terobosan bersama Jokowi. Kekuasaan yang membasuh luka-luka sosial dan mengukuhkan kesatuan bangsa. (LITBANG KOMPAS)