Menakar ”Babak Ketiga” Pilkada Jatim
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2018 adalah pilkada langsung ketiga yang digelar di provinsi paling ujung timur Pulau Jawa ini. Selain kontestasi babak ketiga, pilkada tahun depan juga dipastikan sebagai kontestasi ketiga kalinya untuk Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa. Dua nama ini seakan menjadi ikon Pilkada Jatim.
Tentu tidak berlebihan jika dikatakan sebagai ikon. Betapa tidak, dua pilkada Jatim sebelumnya, kedua nama ini menjadi pusat perhatian publik meski saat kontestasi keduanya di posisi yang berbeda. Gus Ipul, panggilan akrab Saifullah Yusuf, menjadi calon wakil gubernur di dua pilkada sebelumnya, sedangkan Khofifah menjadi calon gubernur. Kini, menjelang Pilkada 2018, pertarungannya diyakini akan semakit sengit karena keduanya sama-sama menjadi calon gubernur.
Saifullah Yusuf berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi dua periode yang sukses memanggungkan kota paling ujung timur Pulau Jawa ini, tidak hanya di pentas nasional, tetapi juga dunia. Pasangan ini diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kedua partai adalah partai dominan di provinsi ini. Dengan modal 39 kursi di DPRD Jatim, pasangan ini sudah memenuhi syarat minimal dukungan kursi di parlemen.
Sementara itu, pesaing beratnya, Khofifah Indar Parawansa, sudah memantapkan diri untuk didampingi Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak atau Emil Dardak sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur. Emil belum genap menjadi bupati karena terpilih di pilkada serentak gelombang pertama 2015. Pasangan ini untuk sementara didukung Partai Demokrat dan Partai Golkar. Kursi kedua partai ini di DPRD Jawa Timur total mencapai 24 kursi, sudah memenuhi syarat mengajukan pasangan calon di pilkada.
Bagaimana dengan partai politik lain? Dibandingkan pasangan Gus Ipul-Anas, pasangan Khofifah-Emil justru masih berpeluang mendapatkan dukungan dari partai lain, di antaranya dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura yang menyatakan akan mendukung Khofifah. Ketiga partai itu disinyalir hanya menunggu rekomendasi resmi saja. Jika ketiga partai ini bergabung, tentu Khofifah-Emil akan total didukung 35 kursi (35 persen) dari parlemen.
Ketiga partai lainnya, yakni Partai Gerindra, PKS, dan PAN, masih belum menyatakan ke mana arah dukungannya. Sebelumnya nama-nama seperti mantan Bupati Lamongan dua periode Masfuk, Bupati Bojonegoro Suyoto, dan mantan Ketua Umum PSSI La Nyala Mattaliti disebut-sebut akan didukung oleh partai-partai ini. Namun, sampai tulisan ini dibuat, ketiga partai ini belum tegas akan mengarahkan dukungan ke mana.
Ada dua peluang yang bisa dilakukan ketiga partai ini. Pertama, masing-masing atau ketiga memilih bergabung ke salah satu pasangan yang sudah ada, Gus Ipul-Anas atau Khofifah-Emil. Jika ini yang dipilih, Pilkada Jatim hanya ada dua pasangan calon. Namun, peluang opsi ini tentu tidak mudah. Gerindra, misalnya, akan bergabung dalam koalisi PDI-P dan PKB yang mengusung Gus Ipul-Anas. Gerindra hanya mungkin bergabung ke Khofifah-Emil dengan risiko tidak ada kader Gerindra yang masuk di pasangan ini. Hal yang sama juga dirasakan PAN dan PKS. Kedua partai berbasis massa Islam perkotaan ini tentu sedikit banyak lebih sreg mengajukan pasangan calon sendiri. Mengingat dari dua pasangan calon yang ada hampir semuanya adalah kader-kader Nahdlatul Ulama. Representasi Islam perkotaan atau Muhammadiyah belum tampak dalam peta dua pasangan calon tersebut.
Peluang paling rasional memang opsi kedua, yakni ketiga partai berkoalisi sendiri mengusung pasangan calon ketiga. Pasangan calon ketiga berpeluang mengajukan sosok baru yang mungkin berpeluang menangkap ”kejenuhan” pemilih dari sosok Gus Ipul dan Khofifah yang hamper tiga pilkada sudah mewarnai dinamika politik di Jawa Timur.
Sebaran pemilih
Baik opsi pertama dengan hanya dua pasangan calon maupun opsi kedua dengan tiga pasangan calon, pilkada Jatim tahun depan tetap harus melihat bagaimana pola persebaran pemilih. Litbang Kompas merekam bagaimana pola pemilih dan pilihannya yang masih dipengaruhi faktor sosiologis. Hal ini tampak dari persebaran dukungan pemilih di dua pilkada terakhir.
Pada Pilkada 2008 terdapat lima pasangan calon menjadi kontestan. Mereka adalah Achmadi-Suhartono, Khofifah-Mudjiono, Soekarwo-Saifullah Yusuf, Soenarjo-Ali Maschan Moesa, dan Sutjipto-Ridwan Hisjam. Dari kelima pasangan ini, ada persaingan cukup ketat yang sudah diprediksi sebelum pemungutan suara berlangsung. Dua pasangan Khofifah-Mudjiono dan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf bersaing ketat dalam perolehan suara. Total hasil dari pilkada ini adalah pasangan Soekarwo-Saifullah meraih 26,4 persen, Khofifah-Mudjiono 24,8 persen, Sutjipto-Ridwan Hisjam 21,2 persen, Soenarjo-Ali Maschan Moesa 19,3 persen, dan terakhir Achmady-Suhartono 8,2 persen.
Jika dilihat persebarannya, terlihat sekali porsi utama sosok kandidat menjadi kunci. Lihat saja lumbung suara Soekarwo relatif menyebar ke bagian utara, barat, dan selatan. Di wilayah utara jelas merupakan basis nahdliyin. Faktor Saifullah Yusuf cukup kental di wilayah ini. Daerah-daerah seperti Madura dan pandalungan, perpaduan Jawa dan Madura, seperti Pasuruan, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo, berhasil dikuasai pasangan Soekarwo-Saifullah. Sementara di wilayah barat, figur pasangan ini juga dominan di Bojonegoro, Lamongan, dan Madiun. Sosok Soekarwo yang berlatar belakang nasionalis memberikan insentif elektoral dari wilayah mataraman ini.
Selain dari sisi barat, dari sisi selatan juga menyumbangkan suara ke pasangan Soekarwo-Saifullah. Salah satunya adalah Pacitan. Dukungan Partai Demokrat ke pasangan ini sedikit banyak berpengaruh kepada sosok Soekarwo yang kemudian hari menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur. Rata-rata kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah di wilayah-wilayah ini mencapai kurang lebih di atas 30 persen, bahkan sejumlah wilayah lebih dari 40 persen.
Corak yang hampir sama juga menjadi peta kemenangan Khofifah-Mudjiono. Pasangan ini berhasil memenangi wilayah bagian utara dan barat. Dari utara daerah seperti Probolinggo, Jember, dan Banyuwangi disapu bersih pasangan ini. Sidoarjo dan Gresik juga berhasil dikuasai Khofifah. Rata-rata kemenangan di wilayah itu juga sama, yakni 30 persen lebih, bahkan ada daerah yang dimenangi lebih dari 40 persen suara. Dari data tersebut disimpulkan, wilayah utara memang menjadi rebutan antara Saifullah dan Khofifah. Keduanya adalah kader NU dan berbasis nahdliyin, seperti wilayah utara dari Jawa Timur pada umumnya.
Sementara sosok Soekarwo cenderung lebih banyak berebut suara dengan Sutjipto di kantong-kantor suara warga mataraman di wilayah selatan Jawa Timur. Namun, sosok Soekarwo masih kalah dari profil Sutjipto yang dikenal sebagai kader PDI-P yang setia pada partai. Terbukti Sutjipto berhasil mendulang suara besar di wilayah itu, di antaranya daerah-daerah seperti Blitar, Trenggalek, Madiun, Magetan, dan Kediri, dengan rata-rata suaranya mencapai 30 persen.
Hal ini menjadi potret perilaku pemilih masih mengedepankan aspek sosiologis. Sebagai sosok nasionalis mataraman, baik Soekarwo maupun Sutjipto lebih banyak diterima di wilayah ini. Karakter pemilih seperti ini juga terjadi pada karakter pemilih, baik pemilih Saifullah maupun pemilih Khofifah. Ini semakin meneguhkan karakter pemilih di Jawa Timur masih mengedepankan aspek sosiologis meskipun pertimbangan rasional tetap menjadi pengaruh yang signifikan.
Tentu, dengan lima pasangan calon, sedikit banyak melahirkan polarisasi meskipun tidak kuat dan besar. Namun, fakta bahwa pemetaan suara cenderung mengikuti pemetaan sosial kultural dari sosok-sosok yang bertarung dalam pilkada semakin meneguhkan ada hubungan yang masih kuat dan erat dengan pertimbangan sosiologis dari pemilih Jawa Timur. Tidak heran jika kemudian hasil pilkada ini mengharuskan adanya putaran kedua karena tidak ada pasangan calon meraih minimal 3o persen suara secara total. Konfigurasi pun sedikit banyak berubah sesuai dengan dinamika politik.
GIS: XNA/Litbang Kompas
Khofifah diterima di Mataraman
Pada putaran kedua Pilkada 2008, ada pergeseran yang cukup menarik dilihat. Dari pemetaan wilayah membandingkan putaran pertama dan kedua, dapat dihasilkan tiga kategori. Kategori pertama adalah wilayah basis utama, yakni kantong-kantong suara yang sejak awal dikuasai dan mampu dipertahankan di putaran kedua. Kategori kedua adalah wilayah baru yang sebelumnya menjadi basis pemilih pasangan calon yang gagal melaju di putaran kedua. Kategori ketiga adalah wilayah pertarungan dan perebutan dari dua pasangan calon yang melaju di putaran kedua, yakni pasangan Soekarwo-Saifullah dan Khofifah-Mudjiono.
Untuk kategori pertama, pasangan Khofifah-Mudjiono relatif sukses mempertahankan suaranya di basisnya, seperti Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Jember, dan Banyuwangi. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh pasangan Soekarwo-Saifullah. Pasangan yang diusung Partai Demokrat ini sukses mempertahankan basis daerah pemilihnya di putaran kedua, di antaranya Madura, Pasuruan, Bondowoso, Situbondo, Pacitan, Madiun, dan Lumajang. Wilayah-wilayah ini mampu dipertahankan kedua pasangan calon yang berlaga di putaran kedua dengan perolehan suara rata-rata 53-54 persen.
Untuk kategori kedua, pasangan Soekarwo-Saifullah relatif berhasil mempertahankan basis pemilihnya di putaran kedua, tetapi kurang maksimal menggaet pemilih baru di putaran final ini. Sebaliknya, Khofifah relatif sukses menjaga basisnya sekaligus mendulang pemilih baru yang sebelumnya di putaran pertama tidak memilih pasangan Khofifah-Mudjiono. Jika kita lihat dari peta persebaran pemenangan suara tiap kabupaten/kota, daerah-daerah yang sebelumnya dimenangi pasangan Sutjipto-Ridwan Hisjam yang didukung PDI-P cenderung lebih dimenangi Khofifah dibandingkan dengan Soekarwo.
Daerah-daerah seperti Trenggalek, Blitar, Kediri, dan Malang, yang corak masyarakatnya dominan mataraman, abangan, dan nasionalis, lebih banyak pemilihnya memberikan pilihan ke Khofifah. Daerah-daerah ini dimenangi Khofifah dengan perolehan suara rata-rata mencapai 53 persen. Sementara daerah-daerah mataraman lainnya yang sebelumnya dimenangi pasangan Achmadi-Suhartono suaranya terbelah, sebagian direbut oleh Soekarwo, seperti di Kabupaten Ngawi, Nganjuk, dan Ponorogo. Sementara di wilayah pantura, seperti Kabupaten Tuban, berhasil didominasi pilihan ke Khofifah.
Dari penguasaan wilayah per kabupaten/kota seperti ini, sosok Khofifah lebih banyak diterima di kalangan pemilih mataraman, bersanding dengan sosok Soekarwo yang memang sejak awal membranding sebagai representasi mataraman, nasionalis. Secara sosiologis, Soekarwo memang berasal dari Madiun, wilayah mataraman yang sejak awal daerah ini dikuasai oleh Soekarwo.
Sementara untuk kategori ketiga, wilayah-wilayah yang bergeser di antara kedua pasangan ini adalah daerah Probolinggo. Di putaran pertama wilayah ini dikuasai Khofifah, tetapi di putaran kedua berhasil direbut Soekarwo-Saifullah. Sebaliknya, wilayah Lamongan, Bojonegoro yang sebelumnya didominasi pemilih Soekarwo, di putaran kedua beralih dikuasai Khofifah-Mudjiono.
Pemungutan suara ulang seperti yang dilakukan di sebagian wilayah Madura memang tidak mengubah banyak peta persebaran pemilih meskipun secara politis bobotnya lebih tinggi dampaknya karena terkait selisih suara yang tipis di antara dua pasangan calon di putaran kedua. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan perhelatan Pilkada 2008 menghasilkan pemetaan sebagai berikut.
- Daerah mataraman menjadi basis wilayah Soekarwo. Meskipun demikian, kekuatan sosok Khofifah mampu menandingi dan berhasil menarik perhatian dari pemilih-pemilih di basis mataraman dan nasionalis ini.
- Wilayah pantura menjadi pertarungan sosok Khofifah dan Saifullah karena sama-sama berbasis nahdliyin. Sosok mataraman, seperti Soekarwo, cenderung lemah di basis-basis wilayah ini. Insentif elektoral justru disumbangkan dari sosok Saifullah di wilayah-wilayah pantura.
- Ada wilayah wilayah yang relatif tengah dan netral terhadap basis pemilih, baik mataraman maupun nahdliyin, dan ini menjadi wilayah pertarungan yang ketat di antara pasangan calon.
GIS: XNA/Litbang Kompas
Pengukuhan wilayah di Pilkada Jatim 2013
Peta persebaran pemilih di putaran kedua Pilkada 2008 kembali terulang di Pilkada 2013. Di pilkada yang kembali mempertemukan Soekarwo dan Khofifah ini memperlihatkan peta sebaran pemilih yang hampir sama dengan hasil putaran kedua 2008. Hal ini semakin menguatkan tesis dari hasil pilkada 2008. Wilayah-wilayah yang dikuasai, baik Soekarwo maupun Khofifah, relatif sama dengan wilayah yang dikuasai di putaran kedua 2008.
Jika mengikuti tipologi kategori dari pilkada sebelumnya, hanya di kategori kedua yang persebaran wilayahnya tidak terlalu banyak. Kategori kedua adalah wilayah yang berhasil direbut dari pasangan lawan. Di Pilkada 2013, wilayah ini di antaranya Probolinggo yang di putaran kedua Pilkada 2008 dikuasai Soekarwo kembali direbut Khofifah. Disebut kembali direbut karena di putaran pertama 2008 wilayah ini dimenangi Khofifah saat berpasangan dengan Mudjiono.Wilayah lainnya adalah Madura, yakni Kabupaten Pamekasan dan Sumenep, dari sebelumnya di putaran pertama dan kedua dikuasai Soekarwo-Saifullah, berhasil direbut Khofifah.
Hal yang sama juga dilakukan pasangan Soekarwo-Saifullah. Daerah-daerah di putaran kedua Pilkada 2008 yang dikuasai Khofifah berhasil dikuasai Soekarwo-Saifullah. Daerah-daerah ini di antaranya Malang, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, Bojonegoro, dan Kota Surabaya. Pasangan Soekarwo-Saifullah memang lebih banyak menguasai wilayah dengan perolehan total suara mencapai 47,2 persen dibandingkan Khofifah-Herman dengan 37,6 persen. Di Pilkada 2013, hanya kedua pasangan ini yang berhasil merebut wilayah perolehan suara terbanyak per kabupaten/kota dibandingkan dua pasangan lain, yakni pasangan Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah yang diusung PDI-P dan pasangan Eggi Sudjana-M Sihat dari jalur perseorangan.
Di Pilkada 2013, Soekarwo-Saifullah adalah pasangan petahana yang diusung partai utamanya, Partai Demokrat, dengan hasil yang relatif sukses mendulang suara lebih tinggi dibandingkan kemenangannya di Pilkada 2008 yang tipis dari pasangan Khofifah-Mudjiono. Khofifah sendiri di Pilkada 2013 berpasangan dengan Herman S Sumawiredja, mantan Kapolda Jatim. Pasangan ini diusung Partai Kebangkitan Bangsa sebagai penyokong utama.
GIS: XNA/Litbang Kompas
Dari persebaran pemilih di dua pilkada yang sudah digelar di Jawa Timur, dapat ditarik benang merah, pemilih Jawa Timur masih cenderung paternalistik. Loyalitas pada sosok calon yang kuat, dekat, dan menjadi representasi mereka adalah gambaran pemilih di wilayah ini. Aspek sosiologis masih menjadi faktor kuat penentuan pilihan politik sehingga sosok calon yang sudah lama dekat di wilayah Jawa Timur cenderung lebih mudah mendapatkan simpati dibandingkan sosok calon yang baru berinteraksi dengan wilayah ini. Tentu ini menjadi pertimbangan apakah Pilkada Jatim 2018 yang notabene babak pertarungan ketiga bagi Gus Ipul dan Khoffiah ini akan mampu dimenangkan salah satu dari mereka atau justru nama baru yang berpeluang maju dari koalisi ketiga yang saat ini masih berhitung. Kita tunggu saja! (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)