Pungutan liar yang dilakukan oleh sejumlah oknum masyarakat menjadi persoalan yang mempersulit penataan pedagang kali lima di kawasan Pasar Tanah Abang. Kehadiran pedagang kaki lima yang terus ada tidak dimungkiri juga karena imbas keberadaan oknum yang ”melegalkan” trotoar dan bahu jalan sebagai tempat berjualan dengan memungut iuran.
Pungutan secara resmi ataupun tidak resmi kepada pedagang sebenarnya sudah dilakukan sejak pasar berdiri sekitar abad ke-19. Saat itu, untuk memperbaiki kondisi pasar yang masih becek, pemerintah kolonial Belanda membangun lantai dasar pasar. Dana perbaikan ini diperoleh dengan cara menarik pajak yang tinggi kepada pedagang. Seperti, misalnya, pedagang yang tetap berjualan di dalam kios dikenai pajak sebesar 10 sen hingga 20 sen per hari, tergantung luasnya lantai yang dipakai. Sementara pedagang keliling yang masuk ke dalam pasar dikenai pajak 1-2 sen per hari.
Dalam perkembangannya, muncul usaha sewa-menyewa lapak di dalam pasar. Pemerintah Belanda memberi kepercayaan kepada orang China untuk memungut cukai pasar. Pedagang beras diwajibkan menyewa tikar yang disediakan mantri pasar meskipun mereka memiliki tikar sendiri. Pemilik warung yang ingin berdagang beras juga harus membayar cukai dan meminta izin kepada orang China.
Selanjutnya, penarikan pajak pasar tidak lagi diborongkan kepada orang-orang China, tetapi langsung melalui aparat pemerintah. Selain retribusi pasar yang ditarik petugas pasar, masih ada juga pajak tak resmi yang dipungut oleh preman.
Penanganan oleh militer
Pungutan terhadap pedagang terus berlanjut setelah masa kemerdekaan. Pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, dengan banyaknya pungutan tak resmi, pedagang ingin pungutan tersebut dilegalkan menjadi retribusi.
Namun, pungutan tak resmi rupanya masih berlanjut. Pada masa pemerintahan Gubernur Suryadi, sejumlah oknum menjadikan operasi penertiban sebagai sarana untuk mengutip uang dari pedagang kaki lima (PKL). Bahkan, PD Pasar Jaya secara terang-terangan menyewakan lapak kepada PKL. Terdokumentasi pada pemberitaan Kompas, 22 Maret 1992, PD Pasar Jaya sampai meraup Rp 113 juta dari PKL. PKL harus membayar sekitar Rp 450.000 per lapak agar diizinkan berdagang.
Pungutan liar yang dilakukan kepada pedagang dan PKL semakin menjadi di Tanah Abang. Pada November 1997, diberitakan, sejumlah preman sering meminta uang secara paksa kepada sopir angkot, PKL, dan pengunjung pasar. Akibat dari pemerasan itu, sejumlah sopir mikrolet M09 dan M11 mogok, tak mau mengangkut penumpang.
Pada 20 dan 22 November 1997 terjadi bentrokan antara kelompok Hercules (preman penguasa Tanah Abang) dan ratusan warga Kelurahan Kampung Bali, Kebon Jahe, Kebon Pala, dan Jati Bunder. Kerusuhan berulang kembali pada Juni 1998. Kali ini bentrok terjadi antarkelompok warga Jatibaru dan Jatibunder.
Upaya pemberantasan pungutan liar telah dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Suryadi dan Sutiyoso. Bahkan, dalam beberapa kali upaya itu melibatkan militer untuk membantu penanganan, yakni melalui Operasi Disiplin Nasional (1991) dan Operasi Penertiban Preman (2001).
Operasi Penertiban Preman selama April hingga November 2001 menelan biaya Rp 12 miliar dan melibatkan 2.800 petugas keamanan dari TNI, Polri, trantib, hansip, dan banpol PP. Meski ada kritikan dari berbagai pihak karena biayanya sangat mahal, operasi tersebut berhasil menangkap sejumlah pelaku pungutan liar. Laporan dari Pengumpulan dan Pengelolaan Data Sosial (Pusdalgangsos), operasi penertiban preman di lima wilayah sejak 16 April-14 Juni 2001 berhasil menangkap 639 orang, 13 di antaranya ditembak polisi.
Selanjutnya, pada 2002, pemerintah memercayakan penanganan preman kepada Ikatan Keluarga Besar Tenabang (IKBT). IKBT membina para oknum pengutip pungutan liar untuk menjadi petugas satpam di pertokoan Tanah Abang.
Kembali beroperasi
Cerita mengenai premanisme pernah sepi dari pemberitaan media massa. Namun, kenyataannya, pungutan liar tetap saja terjadi. Sampai Juli 2014, ada pihak ketiga yang selalu memanfaatkan kesempatan, seperti adanya pungutan bagi pedagang yang menggunakan tenda pemerintah.
Sampai 2015, PKL masih bisa berjualan bebas di trotoar Jalan Jatibaru, Tanah Abang. Seorang pedagang mengaku harus membayar iuran untuk mendapat tempat di trotoar. Kutipan oleh pihak ”keamanan pasar” mencapai Rp 10.000 per hari dan iuran kebersihan Rp 3.000 per hari. Meski sudah membayar, tidak ada jaminan bagi PKL untuk bisa aman berjualan di trotoar. Setiap hari, petugas satpol PP tetap bisa meminta pedagang untuk tidak menggelar dagangan di trotoar.
Dua bulan terakhir ini, setelah PKL kembali mengokupasi trotoar dan badan jalan di kawasan Tanah Abang, praktik retribusi liar kembali terjadi. Namun, kali ini, pedagang dan pemungut uang sewa sepakat sama-sama bungkam (Kompas, 14/11/2017). Retribusi liar berupa penyewaan trotoar secara ilegal untuk tempat berdagang PKL kembali terjadi.
Lapak berukuran 1 meter x 2 meter di trotoar disewakan seharga Rp 1,5 juta per bulan. Selain itu, pedagang juga harus membayar Rp 2.000 per hari untuk biaya kebersihan. Uang tersebut disetorkan kepada mereka yang disebut ”pengurus” Pasar Tanah Abang. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mengetahui siapa saja keberadaan pengurus tersebut.
Menata Pasar Tanah Abang bukan pekerjaan yang mudah. Beberapa kali pergantian gubernur, masalah PKL dan pungutan liar masih saja terjadi. Sekarang menanti kiprah gubernur baru Jakarta, Anies Baswedan, untuk menata Jakarta. Pasangan pemimpin Jakarta Anies-Sandi berkeinginan menata kawasan Tanah Abang menjadi mirip dengan Grand Bazaar, Istanbul, Turki. Kita tunggu! (M Puteri Rosalina/Litbang ”Kompas”).
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.