Membaca Potensi Remaja Zaman ”Now”
Masa remaja bisa dibilang merupakan fase dalam kehidupan manusia yang paling indah. Masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa ini biasanya penuh dengan gejolak. Dalam masa transisi ini, seorang remaja akan mengalami perkembangan yang sangat cepat, baik dari aspek fisik, psikis, maupun sosial. Memahami kehidupan remaja akan membantunya menyelesaikan tugas perkembangan menuju individu dewasa yang sesuai harapan.
Pertumbuhan yang sangat cepat saat remaja biasanya diikuti perubahan-perubahan pada sikap, perilaku, dan kepribadian. Di masa ini, seorang remaja ingin menemukan nilai-nilai yang menarik dalam hidupnya. Proses mencari jati diri ini pun membutuhkan pengakuan atau penerimaan dari lingkungan sekitar, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan pergaulannya di masyarakat. Dalam masa ini, problem dan konflik mulai bermunculan, baik problem dengan dirinya sendiri, dalam pergaulan, maupun dalam keluarga.
Seorang remaja tidak hanya mengalami perubahan dalam hal fisik, tetapi juga pemikiran. Ia mulai dihadapkan pada realitas kehidupan menuju pemikiran yang lebih dewasa. Perjalanan hidup yang akan dilalui tak selalu mulus. Kenyataan pahit pun kadang kala harus dilalui. Perasaan sendiri, dikucilkan dari pergaulan, tidak percaya diri, tidak bahagia, dan sejumlah pengalaman rasa lainnya akan berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya.
Jajak pendapat Kompas, di empat sekolah menengah atas dan sederajat di empat kota pada September lalu memotret problema kehidupan remaja khususnya soal kepercayaan diri, pertemanan, dan perilaku dalam berkomunikasi.
Rasa percaya diri
Ungkapan ”pede abis” atau ”pede banget” atau ”aku gak pede” menjadi bahasa gaul yang sering terdengar dalam perbincangan di kalangan anak muda. Memiliki rasa pede, begitu istilah untuk menyebut percaya siri, penting bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Tidak semua orang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi.
Problem yang dialami remaja dalam kehidupannya, entah di rumah, di sekolah, ataupun di lingkungan pergaulannya sering kali menimbulkan rasa tidak percaya diri. Penerimaan diri menjadi awal untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Dengan memiliki rasa percaya diri, remaja akan menumbuhkan semangat yang berguna bagi kehidupannya, seperti mandiri, berpikir positif, berprestasi, dan mudah bergaul.
Anak muda zaman now tampaknya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Setidaknya hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas. Sebanyak 75 persen pelajar yang menjadi responden mengaku merasa percaya diri saat berada dalam lingkungan yang baru atau bahkan asing bagi mereka. Tujuh dari sepuluh responden tidak khawatir akan menjadi bulan-bulanan atau di-bully di lingkungan baru tersebut, bahkan delapan dari sepuluh pelajar tersebut ”pede abis” akan disambut dengan ramah. Mereka umumnya menyatakan tidak ada hal yang menjadi penghambat bagi mereka dalam bergaul dengan lingkungan yang baru ataupun asing.
Selain itu, berada di lingkungan teman-teman yang lebih pandai, kaya, ataupun populer juga tidak membuat mereka menjadi minder. Sebanyak 62,4 persen anak muda ini menganggap biasa-biasa saja atau tak ada masalah bergaul dengan teman-teman yang lebih pandai. Sebanyak 28 persen juga mengaku merasa nyaman-nyaman saja. Rasa percaya diri ini tentu akan membawa pengaruh positif bagi perkembangan remaja itu sendiri.
Kepandaian ataupun prestasi di sekolah menjadi bekal tumbuhnya rasa percaya diri di kalangan siswa. Hal ini diutarakan 48 persen responden pelajar. Begitu juga dengan penampilan, baik dalam berpakaian ataupun bertutur kata, menurut 33 persen responden, juga membuat mereka tampil lebih percaya diri. Sementara itu, hanya sedikit (11 persen) yang menyatakan bentuk fisik tubuh membuat mereka lebih percaya diri di muka umum. Kondisi fisik tubuh bukan segalanya.
Arti pertemanan
Rasa percaya diri juga bisa tumbuh ketika remaja berada dalam kelompoknya. Bersama teman kelompoknya (peer group), mereka biasanya akan merasa lebih nyaman, menjadi lebih ”pede” dalam melakukan apa pun. Bahkan, remaja akan melakukan apa saja agar eksistensinya diakui dan diterima dalam kelompoknya.
Kehadiran teman atau sahabat untuk berkomunikasi merupakan kebutuhan yang mendasar dan bisa dibilang sangat berpengaruh ketika remaja. Ketika remajalah seseorang memaknai apa itu sahabat, apa pentingnya memiliki sahabat, dan memaknai betapa menyenangkan ketika bersama sahahat.
Dari hasil survei, hampir seluruh pelajar (97 persen) mengakui pentingnya memiliki sahabat. Hal ini bisa jadi karena remaja lebih suka berbagi masalah dengan sahabatnya, entah untuk curhat atau meminta solusi dalam suatu hal. Dalam persahabatan mereka juga menemukan kebahagiaan.
Bersama teman atau sahabat, banyak hal yang bisa dilakukan remaja. Itu sebabnya waktu para remaja lebih banyak dihabiskan dengan teman dan sahabatnya. Pada masa remaja, peran seorang teman sangatlah penting. Dalam proses pencarian jati diri, keberadaan seorang teman akan sangat membantu dan memengaruhi pembentukan sikap.
Sebanyak 43 persen pelajar merasakan hidupnya menjadi lebih indah dan berwarna dengan mempunyai banyak teman. Responden juga mengatakan berteman bisa menambah wawasan/pengalaman (26 persen), selain juga sebagai tempat curhat atau berbagi atau bertukar pikiran yang asyik (21 persen).
Asyiknya punya banyak teman membuat remaja berusaha untuk mempunyai teman sebanyak-banyaknya. Berbagai upaya dilakukan untuk menambah teman. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan membuka diri dalam pergaulan (90 persen). Aktif di organisasi sekolah dan ikut komunitas di luar sekolah juga merupakan usaha untuk menambah pertemanan. Media sosial juga menjadi salah satu sarana membuka diri untuk menambah teman. Separuh responden menggunakan sarana ini meskipun harus lebih berhati-hati memilih teman di media sosial.
Berteman juga tidak boleh pilih-pilih. Mayoritas responden mengakui dalam pergaulan di sekolah mereka tidak mengalami atau melihat diskriminasi, baik dalam hal jender, keyakinan agama, keterbatasan fisik, penampilan, maupun status sosial. Hanya dalam hal prestasi pendapat pelajar ini berimbang. Separuh menilai masih ada diskriminasi antara yang pandai dan yang kurang pandai, separuh lagi menilai tidak ada diskrimasi. Namun, hal tersebut sejatinya tidak melunturkan arti pertemanan.
Komunikasi
Sebagian besar waktu remaja yang dihabiskan di luar rumah dengan teman sebayanya membuat pengaruh teman akan sangat kuat terhadap sikap, penampilan, ataupun perilakunya. Terkadang hal ini membuat komunikasi dengan keluarga menjadi kurang. Padahal, komunikasi adalah kunci dalam menjalin hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak.
Komunikasi di dalam keluarga menjadi wadah untuk mengembangkan keterbukaan antara orangtua dan anak. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, komunikasi yang cukup intens berupa curhat, berdiskusi, atau sekadar mengobrol ringan dengan orangtua sangat sering dilakukan oleh 74 persen responden.
Hanya sekitar 19 persen yang mengaku seminggu sekali berkomunikasi dengan ayah dan ibunya. Separuh pelajar ini juga rajin ngobrol dengan kakak atau adik mereka. Hal ini menggambarkan kedekatan antara remaja dalam keluarga masih baik.
Namun, komunikasi antara remaja dan tetangga tampaknya kurang diminati. Komunikasi remaja dengan tetangga di lingkungan rumah sangat jarang mereka lakukan. Bahkan, 30 persen di antaranya mengaku tidak pernah menjalin komunikasi dengan tetangga sekitar.
Untuk urusan mencurahkan isi hati, hampir separuh (47 persen) remaja ini lebih memilih melakukannya dengan teman atau sahabat. Sosok ibu menjadi pilihan kedua buat mereka mencurahkan segala masalah yang sedang dihadapi.
Seiring bertambahnya usia dan meningkatnya rasa penasaran tentang segala hal, remaja lebih suka bertanya kepada teman-teman sebaya. Mereka lebih terbuka membicarakan apa saja dengan teman sebaya atau lebih mendengarkan perkataan sahabat atau temannya dibandingkan orangtuanya, terutama ayah.
Sosok seorang ayah tampaknya bukan menjadi pilihan untuk berbagi cerita, menumpahkan segala kegalauan, ataupun meminta pendapat. Hanya 5 persen pelajar yang lebih nyaman berbagi cerita dengan ayahnya.
Namun, tidak dalam semua hal remaja mau terbuka. Meski mengaku dekat dengan orangtua, untuk hal-hal yang menyangkut privasi, mereka memilih untuk memutuskan sendiri. Dalam pergaulan tidak dapat dimungkiri pengaruh negatif bisa saja terjadi. Misalnya ketika mereka dihadapkan pada masalah-masalah, seperti tawaran merokok, narkoba, seks bebas, minuman keras, atau kasus perundungan, lebih dari separuh responden membuat keputusan sendiri.
Demikian pula untuk cara berpenampilan dan mengisi waktu luang, mereka masih mendengarkan pendapat teman atau sahabat. Kecuali menyangkut pendidikan, tiga dari lima responden masih memercayakan kepada orangtua.
Dalam masa pencarian jati diri, remaja cenderung berusaha melepaskan diri dari pengasuhan orangtua. Namun, masih banyak remaja yang tetap membutuhkan orangtua untuk berbagi. Fase ambivalensi pada remaja ini membuat komunikasi dengan anak yang menginjak masa remaja merupakan tantangan tersendiri bagi orangtua. Tantangan ini harus ditaklukkan agar orangtua bisa membantu anak mengambil keputusan yang terbaik.
(MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)