Provinsi-provinsi Paling ”Bahagia” di Indonesia
Tinggi rendahnya derajat kemakmuran atau kemiskinan yang melekat di tiap-tiap provinsi di negeri ini faktanya tidak selalu berkorelasi dengan kualitas kebahagiaan yang dirasakan oleh penduduknya.
Kesimpulan semacam ini menunjukkan, provinsi-provinsi yang tergolong kaya dan maju ekonominya bukan jaminan penduduknya menjadi semakin bahagia. Di beberapa wilayah yang secara ekonomi tergolong rendah atau bahkan memiliki angka kemiskinan yang relatif tinggi justru memiliki indeks kebahagiaan yang tinggi.
Temuan demikian merupakan interpretasi terhadap berbagai indeks sosial ekonomi Indonesia yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 ini. Salah satunya, Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI). Indeks Kebahagiaan dirancang untuk memahami seberapa jauh gambaran kebahagiaan yang dipersepsikan dan yang dirasakan penduduk di 34 provinsi di negeri ini. Indeks tersebut meranking setiap provinsi berdasarkan capaian tiga dimensi utama ”kebahagiaan” di tiap-tiap rumah tangga, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan atau kondisi emosional yang dirasakan (affection), dan makna hidup (eudaimonia).
Hasilnya, Indeks Kebahagiaan penduduk Indonesia tahun 2017 ini sebesar 70,69. Besaran angka indeks tersebut, jika diinterpretasikan dalam batasan pengelompokan kuartil, menempatkan penduduk di negeri ini dalam kategori kelompok ”bahagia”.
Derajat kebahagiaan di atas rata-rata Indonesia dapat dijumpai di 24 provinsi di negeri ini. Tiga provinsi teratas, dengan skor indeks tertinggi, ditempati Provinsi Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara. Sebaliknya terdapat 10 provinsi dengan Indeks Kebahagiaan di bawah nilai rata-rata Indonesia. Tiga terendah ialah Provinsi Papua, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. (Tabel 1)
Menarik mencermati, mengapa Maluku Utara ataupun Maluku, dan beberapa provinsi lain masuk 10 provinsi teratas paling bahagia. Dalam berbagai pengukuran indeks di negeri ini, baru kali ini Maluku Utara dan Maluku menempati posisi teratas. Lain persoalan dengan Papua, Nusa Tenggara Timur, serta beberapa provinsi lain yang masuk dalam kategori provinsi terendah kebahagiaannya. Provinsi-provinsi tersebut dalam beberapa indeks selalu ditempatkan di posisi bawah dibandingkan capaian provinsi-provinsi lainnya.
Maluku Utara menjadi paling tertinggi (skor indeks 75,68) disebabkan oleh ”kepuasan hidup” tertinggi yang diekspresikan warganya. Dari sisi ”kepuasan hidup personal”, seperti pendidikan dan keterampilan, pekerjaan atau usaha, pendapatan rumah tangga, kesehatan, dan kondisi fasilitas rumah, responden Maluku Utara tampak tinggi. Begitu pula dari sisi ”kepuasan hidup sosial” yang menyangkut keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, keamanan, dan hubungan sosial mereka yang tergolong sangat tinggi.
Kepuasan hidup warga yang sangat tinggi diikuti pula oleh pemaknaan hidup mereka. Skor ”makna hidup” Maluku Utara menjadi tertinggi oleh sebab aspek kemandirian, penguasaan hidup, penerimaan hidup, dan tujuan hidup mereka paling tinggi dibandingkan provinsi lain.
Dalam rentang yang tidak jauh berbeda, Provinsi Maluku pun berhasil menorehkan tingkat ”kepuasan hidup” yang tinggi. Skor kepuasan hidup, baik kepuasan personal maupun kepuasan sosial warga, kedua terbesar. Sekalipun dimensi ”Perasaan” tidak tertinggi, dimensi lainnya, ”Makna hidup” termasuk paling tinggi. Itulah mengapa, secara keseluruhan Maluku menduduki peringkat kedua ”terbahagia”.
Bukan kemakmuran
Skor kebahagiaan tertinggi yang disandang oleh Maluku Utara dan Maluku tampak menjadi semakin mengejutkan jika dibandingkan dengan indikator-indikator lain yang terkait dengan kondisi provinsi ini. Dari sisi perekonomian, misalnya, kedua provinsi tersebut bukan tergolong provinsi dengan capaian tertinggi. Begitu pula dari sisi angka kemiskinan, kecuali pada Maluku Utara, bukan tergolong rendah.
Apabila ditelusuri, pada provinsi-provinsi lain yang tinggi kualitas kebahagiaannya juga terdapat kesamaan. Tampaknya, indikator perekonomian wilayah tidak berkorelasi dengan derajat kebahagiaan yang diekspresikan penduduk di wilayah tersebut. Dalam kajian ini, semakin tinggi Indeks Kebahagiaan provinsi tidak berkait secara signifikan dengan besaran capaian PDRB per kapita provinsi tersebut. Begitu pula, semakin tinggi tingkat kebahagiaan kurang terkait dengan derajat proporsi kemiskinan penduduknya.
Kondisi semacam itu dapat dijelaskan pada contoh-contoh berikut. Warga DKI Jakarta dengan PDRB per kapita paling tinggi dan angka kemiskinan paling rendah hanya berada pada urutan ke-19 pada Indeks Kebahagiaan. Menjadi penduduk DKI Jakarta, ibu kota yang secara ekonomi tergolong makmur dan serba lengkap ini tidak menjamin kebahagiaan. Begitu pula dengan Riau, provinsi yang hasil pengelolaan ekonomi wilayahnya tergolong ”kaya”.
Namun sebaliknya, bagi DI Yogyakarta. Provinsi dengan PDRB per kapita relatif rendah, sementara di sisi lain angka kemiskinannya tergolong tinggi berada di atas rata-rata nasional, tetapi memiliki Indeks Kebahagiaan jauh di atas DKI Jakarta dan Riau. (Tabel 2)
Akan tetapi, sekalipun kemakmuran dan kebahagiaan tidak siginifikan terkait, perlu juga mendapat sorotan jika terdapat pula provinsi-provinsi yang tergolong di bawah rata-rata nasional, baik Indeks Kebahagiaan maupun kondisi ekonomi-kemiskinannya. Provinsi Papua, NTT, Sulawesi Barat, Lampung, Bengkulu, NTB merupakan daerah dengan proporsi kemiskinan tinggi dan Indeks Kebahagiaan penduduknya di bawah rata-rata nasional. Dapat dikatakan, kemakmuran dan kebahagiaan masih teramat jauh direngkuh.
Kualitas manusia dan kebebasan
Jika berbagai indikator ekonomi kurang berelasi dengan kebahagiaan yang diekspresikan penduduk, persoalannya kini faktor apa yang masih dapat disandingkan terhadap kebahagiaan penduduk di tiap-tiap provinsi?
Tampaknya, kebahagiaan lebih dekat dengan indikator-indikator yang terkait dengan kesejahteraan, seperti kualitas pembangunan kesejahteraan manusia dan derajat kebebasan (demokrasi) yang terbangun di tiap-tiap provinsi.
Hasil kajian ini menunjukkan, terhadap kualitas pembangunan manusia, derajat kebahagiaan masih tampak siginifikan berkorelasi. Semakin tinggi kualitas pembangunan manusia di provinsi cenderung semakin tinggi pula kebahagiaan yang diekspresikan. Sebaliknya, semakin rendah derajat pembangunan manusianya, semakin rendah pula kebahagiaan yang dirasakan.
Kesimpulan semacam itu tampak nyata jika disandingkan dengan berbagai indikator Indeks Pembangunan Manusia dengan Indeks Kebahagiaan. Indeks Pembangunan Manusia menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil-hasil pembangunan yang ditunjukkan dengan indikator standar hidup layak, pengetahuan, umur panjang, dan hidup sehat.
Ketiga dimensi kualitas pembangunan manusia tersebut cukup berelasi dengan kebahagiaan. Sekalipun beberapa provinsi, seperti Maluku Utara, Maluku, Gorontalo, dan Kalimantan Utara, tergolong memiliki Indeks Kebahagiaan tinggi, skor Indeks Pembangunan Manusianya tampak rendah. Secara keseluruhan kedua indikator tersebut masih saling menunjang. (Tabel 3)
Di sisi lain, derajat kebebasan juga berelasi dengan kebahagiaan yang diekspresikan penduduk. Dengan mengambil indikator-indikator pada Indeks Demokrasi Indonesia, terlihat hubungan yang cukup signifikan di antara kedua indikator tersebut. Indeks Demokrasi dalam pengukurannya menampilkan tiga dimensi besar, yaitu terkait dengan derajat kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi. Kecenderungannya, semakin tinggi kualitas demokrasi, khususnya derajat kebebasan sipil suatu daerah, semakin tinggi pula kebahagiaan yang dirasakan (Tabel 4).
Bagi tiap-tiap provinsi, berbagai indikator kebahagiaan penduduk semacam ini berimplikasi pada orientasi kebijakan-kebijakan apa yang patut dilakukan dalam pengelolaan wilayah dan penduduknya. Bagi wilayah-wilayah yang tergolong makmur secara ekonomi, pendekatan kualitas manusia dan kebebasan dapat menjadi fokus kebijakan wilayah. Namun, menjadi persoalan terhadap provinsi-provinsi yang memiliki problem dalam kemakmuran ataupun kualitas kebahagian penduduknya. Di mana saja dan kebijakan apa yang harus dilakukan? (Litbang Kompas) (Bersambung)