Upaya Menghindarkan Jakarta dari Kebakaran
Setiap tahun, lebih dari 900 kejadian kebakaran ditangani Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta.
Setiap tahun, lebih dari 900 kejadian kebakaran ditangani Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta. Meski fasilitas dan perlengkapan yang diperlukan untuk memadamkan api cukup memadai, berbagai faktor sering kali menyebabkan kebakaran telanjur meluas sebelum berhasil diatasi. Dengan demikian, korban jiwa dan kerugian materi tak terhindarkan. Peralatan saja tidak cukup, kesadaran warga akan bencana kebakaran perlu ditingkatkan agar Ibu Kota tidak habis dilalap api.
Dampak urbanisasi dan berkembangnya permukiman telah memberi beban cukup besar terhadap daya dukung lingkungan. Potensi terjadinya bencana pun kian besar. Alam menjadi rentan akibat aktivitas manusia dan pembangunan berada di area rawan bencana, infrastruktur dasar tidak memadai, sementara permukiman padat dan kumuh tumbuh tak terkendali. DKI Jakarta sebagai provinsi terpadat di Indonesia tidak lepas dari permasalahan ekologis ini.
Bencana, seperti banjir ataupun kebakaran, sering melanda Ibu Kota Indonesia ini. Dilihat dari frekuensinya, bencana kebakaran cenderung lebih sering terjadi. Kebakaran di permukiman padat penduduk di sejumlah lokasi di DKI Jakarta silih berganti. Potensi jatuhnya banyak korban jiwa dan kerugian materi menjadi ancaman yang selalu menghantui.
Masih segar di ingatan, dua tahun silam kebakaran dahsyat melanda permukiman padat penduduk di Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat. Kebakaran yang terjadi pada Sabtu petang, 26 September 2015, melahap 175 rumah penduduk. Setidaknya 1.200 warga harus mengungsi.
Kebakaran itu diduga muncul akibat hubungan pendek arus listrik di salah satu rumah warga. Api kemudian cepat merambat sebab saat kejadian angin berembus cukup kencang. Kondisi ini diperparah oleh bahan bangunan sebagian besar rumah yang terbuat dari kayu dan tripleks sehingga mudah terbakar.
Suku Dinas Kebakaran Jakarta Barat, Pusat, dan Utara sampai mengerahkan 36 mobil pemadam dan ratusan petugas. Walaupun upaya juga telah dibantu warga, kebakaran itu baru padam pada Minggu pukul 02.00 karena proses pemadaman terkendala air.
Ancaman kebakaran
Kebakaran di Tambora ini hanya satu dari sejumlah kebakaran yang kerap terjadi di Ibu Kota. Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) DKI Jakarta mencatat selama tahun 2016 terdapat 1.162 kejadian kebakaran dengan korban jiwa mencapai 20 orang dan kerugian materi sekitar Rp 212 miliar.
Bangunan perumahan menjadi obyek terbakar paling banyak (30,6 persen), disusul bangunan perdagangan, seperti pasar, pusat perbelanjaan, dan warung (18,7 persen). Sisanya obyek kendaraan dan bangunan industri. Selain berasal dari perabotan di dalam rumah, mayoritas kejadian kebakaran di Jakarta ini disebabkan oleh korsleting listrik. Setidaknya ada 290 kejadian kebakaran akibat korsleting baik melalui kabel maupun gardu PLN.
Jika dilihat berdasarkan sebaran lokasi, tahun 2016 kebakaran terpantau paling sering terjadi di wilayah Jakarta Barat (24,3 persen). Selanjutnya diikuti Jakarta Utara sebesar 22,12 persen, Jakarta Timur 20,9 persen, Jakarta Selatan 20,7 persen, Jakarta Pusat 11,7 persen, dan terakhir Kepulauan Seribu 0,26 persen. Pola ini mirip dengan kondisi kebakaran tahun 2013 dan 2011.
Selama tahun 2013, Jakarta Barat juga panen kejadian kebakaran (26,3 persen). Namun, peringkat kedua justru terjadi di Jakarta Selatan sebesar 22,5 persen. Selanjutnya, di Jakarta Timur 21,2 persen, Jakarta Utara 16,2 persen, Jakarta Pusat 13,7 persen, dan Kepulauan Seribu 0,1 persen. Begitu juga data rekapitulasi kebakaran tahun 2011, kebakaran paling banyak ada di Jakarta Barat.
Kebakaran yang segera teratasi akan meminimalisasi luasan area yang terbakar, kerugian materi, dan jatuhnya korban. Namun, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kebakaran tidak langsung cepat teratasi. Faktor-faktor tersebut di antaranya tingkat kepadatan penduduk (permukiman) yang tinggi, bahan bangunan rumah yang mudah terbakar, jalan lingkungan relatif sempit dan banyak tikungan tajam, sumber air relatif jauh, jaringan atau instalasi kabel listrik yang tidak teratur, serta kesadaran warga terhadap keamanan dari kebakaran masih belum tertanam.
Dari faktor-faktor tersebut, bisa dikatakan bahwa Jakarta Barat memiliki potensi kerawanan yang sangat tinggi yang dapat memicu kebakaran. Dari sisi demografi, kepadatan penduduk di sana diketahui paling tinggi. Tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kepadatan di Jakarta Barat mencapai 19.700 jiwa per kilometer persegi. Sementara kepadatan penduduk terendah ada di Kepulauan Seribu dengan hanya 2.200 jiwa per kilometer persegi. Kondisi ini berdampak pada padatnya permukiman dengan berbagai karakteristik bangunan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2016 menunjukkan keluarga di DKI Jakarta yang tinggal di permukiman tapak tanah dengan luas bangunan kurang dari 25 meter persegi mencapai 27,1 persen. Terbanyak tersebar di Jakarta Utara, kedua di Jakarta Barat.
Informasi ini sesuai dengan jumlah keluarga yang tinggal di permukiman kumuh di DKI Jakarta. BPS melalui data Potensi Desa mencatat tahun 2014 jumlah keluarga di permukiman kumuh terbanyak ada di Jakarta Utara sebesar 35,55 persen kemudian disusul Jakarta Barat 19,33 persen.
Kondisi rumah seluas kurang dari 25 meter persegi ini identik dengan kondisi rumah di permukiman kumuh yang padat. Permukiman ini biasanya terletak di gang sempit dan hanya bisa dilewati sepeda atau sepeda motor. Karakteristik jalan seperti ini tidak kondusif bagi proses pemadaman karena mobil pemadam kebakaran sulit masuk ke lokasi kebakaran.
Jenis permukiman ini banyak ditemukan di sejumlah lokasi di Jakarta, seperti di Kecamatan Tambora, contohnya Kelurahan Krendeng, Jembatan Besi, dan Kali Anyar. Begitu juga di Kecamatan Cengkareng di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, dan masih banyak lagi.
Petugas bersiaga
Antisipasi terhadap kebakaran sudah dilakukan dengan baik oleh Pemprov DKI Jakarta. Terlihat dari lengkapnya koleksi armada pemadaman dengan teknologi canggih yang dimiliki DKPB. Mulai dari mobil reaksi cepat (quick response) sebanyak 73 unit, mobil rescue 67 unit, dan mobil pompa sebanyak 149 unit yang terdiri dari kapasitas 2.500 liter, 4.000 liter, dan 10.000 liter.
Selain itu, ada juga mobil tangga sebanyak 8 unit dengan ketinggian tangga 33 meter, 55 meter, dan 90 meter. Mobil ini sangat berguna ketika kebakaran terjadi di gedung bertingkat. Bahkan, untuk menjangkau lokasi di gang sempit, DKPB juga memiliki ratusan sepeda motor unit pemadam rekasi cepat (UPRC).
Sementara itu, sebagai pos penjagaan, DKPB memiliki 5 kantor suku dinas, 25 kantor sektor, 90 pos pemadam kebakaran, dan 5 pos karavan. Setiap pos dijaga sejumlah personel yang selalu bersiaga untuk pencegahan kebakaran, penyelamatan korban kebakaran, dan bencana lain.
Pos ini tersebar di lima wilayah di Jakarta. Namun, jika dilihat dari sebarannya, jumlah kantor dan pos pemadam terbanyak justru ada di Jakarta Utara, yakni 28 unit. Disusul Jakarta Selatan dan Jakarta Timur masing-masing 27 unit, sementara Jakarta Barat 26 unit dan paling sedikit ada di Jakarta Pusat 18 unit.
Keberadaan hidran juga kerap membantu proses pemadaman. Namun, tidak semua hidran dalam kondisi baik. Data di awal tahun 2017 menunjukkan, dari 1.374 hidran di DKI Jakarta, hanya 755 unit (55 persen) yang masih bisa mengeluarkan air. Pasokan air hidran ini memang tidak bisa dikendalikan karena bergantung pada pasokan air PDAM yang juga melayani kebutuhan penduduk.
Ironisnya, Jakarta Barat yang paling sering mengalami kebakaran hanya memiliki 64 hidran dalam kondisi baik. Jumlah ini paling sedikit dibandingkan kondisi hidran di wilayah DKI Jakarta lainnya.
Kesadaran masyarakat
Dengan keterbatasan kondisi kota, upaya mandiri masyarakat mengantisipasi kebakaran di Ibu Kota sangat penting. Setidaknya, ketika petugas pemadam kebakaran belum datang, ada upaya yang dilakukan warga agar kebakaran tidak meluas. Agar masyarakat memiliki kesadaran mengatasi bencana kebakaran, masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan penyelamatan dasar.
Tahun lalu, DKPB telah berupaya memberdayakan masyarakat melalui pemberian dan simulasi penggunaan alat pemadam api ringan (APAR) berukuran 3,5 kilogram di sejumlah kecamatan di DKI Jakarta. APAR ini diletakkan di rumah ketua RT atau RW sebagai antisipasi kebakaran.
Selain itu, ada juga 65 alat pemadam kebakaran manual (pawang geni) yang telah disebar ke masyarakat. Alat ini berupa tong besar berwarna merah, memiliki selang, pompa manual, dan roda. Walau hanya bisa memadamkan kebakaran dalam skala kecil, pawang geni bisa diandalkan warga sampai bantuan dari DKPB datang.
Sebagai wilayah yang terus berkembang, DKI Jakarta sulit untuk lepas dari intaian bencana seperti kebakaran. Kekuatan armada dan tenaga pemadam yang lengkap saja tidak cukup jika belum tumbuh kesadaran warga akan keamanan dari kebakaran.
Kesadaran untuk senantiasa menggunakan alat pemadam ringan, merawat hidran, mengecek jaringan instalasi listrik, hingga membangun permukiman dari bahan yang relatif aman perlu kembali diperhatikan semua pihak. (ALBERTUS KRISNA PRATAMA/ LITBANG KOMPAS)