Paradigma Baru Penguasaan Hutan
Kapal cepat berwarna putih dengan 12 penumpang perlahan mengurangi kecepatan dan berhenti di dermaga Desa Anca. Satu per satu penumpang turun dari kapal dan berjalan beriringan menuju kumpulan warga dan tokoh masyarakat Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Upacara penyematan ikat kepala kepada tiga tamu yang ditunggu-tunggu mengawali penyambutan sekaligus penghormatan tertinggi dari masyarakat adat Lindu.
Siang hari di awal Desember 2017 itu merupakan momen bersejarah bagi masyarakat adat yang berdiam di wilayah Taman Nasional Lore Lindu, Kabupaten Sigi. Hari itu pertama kalinya dalam sejarah warga Kecamatan Lindu bisa bertatap muka dengan pejabat pemerintah pusat dan daerah sekaligus. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno, perwakilan dari Kantor Staf Presiden (KSP) Noer Fauzi Rahman, serta Bupati Sigi Irwan Lapata bersama-sama berkunjung dan berbincang langsung dengan warga dari lima desa.
Upacara penyambutan tersebut dilanjutkan dengan acara makan bersama secara adat di mana warga menghidangkan nasi di atas nampan tembaga yang merupakan warisan leluhur beserta lauk ayam kampung dimasak kuah dan ikan mujair bumbu cabai hijau hasil tangkapan dari danau Lindu. Makan bersama secara adat melambangkan penerimaan tamu sebagai bagian dari keluarga besar warga Lindu. Kebersamaan itu diiringi juga oleh aturan adat setelah makan yaitu mencuci tangan secara bersama ketika semua sudah selesai makan. Saat masih ada yang belum selesai makan, tak satu pun boleh mencuci tangan. Jika ada yang melakukannya akan dikenai denda adat.
Acara adat yang mengawali pertemuan itu merupakan simbol dua hal, yaitu level kepentingan peristiwa tersebut serta adanya perubahan karakter hubungan masyarakat adat Lindu dengan pemerintah. Menyambut tamu dengan upacara adat menunjukkan tamu yang disambut adalah orang-orang yang dinilai sangat penting dan berkaitan langsung dengan kehidupan warga. Di samping itu, upacara adat itu juga menandai telah cairnya hubungan masyarakat adat Lindu dengan pemerintah. Masyarakat Lindu telah menerima pemerintah sebagai bagian dari kehidupan mereka. Hal ini penting diungkapkan mengingat selama beberapa dekade hubungan kedua pihak cenderung kurang harmonis. Penyebabnya tidak lain karena kebijakan pemerintah yang mengabaikan kehadiran masyarakat adat.
Hutan dan Masyarakat Adat
Hutan dan masyarakat adat adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Hutan merupakan sumber kehidupan masyarakat adat. Sebaliknya, masyarakat adat melalui kearifan lokal yang mereka praktikkan merupakan penjaga pelestarian hutan yang merupakan sumber kehidupannya. Namun, selama puluhan tahun, kebijakan pemerintah berusaha menjauhkan masyarakat adat dari hutannya.
Dimulai dengan aturan yang ditetapkan oleh rezim Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. UU ini menyebutkan bahwa negara berhak atas semua kawasan yang disebut sebagai hutan. Di samping itu, negara diberi kewenangan penuh untuk mengatur perencanaan, peruntukan dan penggunaan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan demi memberi manfaat bagi pembangunan. Implikasinya, semua hutan yang sebelum UU itu diberlakukan sudah dikelola oleh masyarakat adat, diakui sebagai hutan negara dan penggunaannya sepenuhnya di tangan negara.
Dalam praktik di lapangan selama bertahun-tahun masyarakat adat dipersekusi, dilarang masuk hutan yang menjadi bagian hidupnya, dikriminalisasi, dipenjara, bahkan tak sedikit yang mengalami kekerasan. Stigma sebagai perusak hutan kerap diberikan kepada masyarakat adat sehingga praktik kriminalisasi terhadap mereka dianggap hal yang wajar.
Di sisi lain, paradigma pembangunan kapitalistik membuat pemerintah Orde Baru memberikan konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi swasta dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HPH berkembang pesat tanpa hambatan. Pada 1989 tercatat 572 unit HPH menguasai 64 juta hektar hutan produksi. Hingga tahun 2000 terdapat 600 unit HPH beroperasi di Indonesia (Indoprogress, 30 Desember 2013).
Kebijakan pemberian konsesi HPH secara ekonomi sangat menguntungkan. Pada tahun 1970an sektor kehutanan menyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor energi minyak bumi. Tahun 1974 devisa yang diperoleh mencapai 564 juta dollar AS. Jumlah tersebut terus membengkak setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan pemanfaatan hutan dari hulu hingga hilir melalui pembangunan plywood. Dengan kebijakan ini pada periode 1983-1997 pemerintah memperoleh devisa 50 milyar dollar AS.
Kebijakan pembangunan plywood membawa implikasi pembukaan hutan besar-besaran sebagai bahan dasarnya. Maka pemerintah pun membuka Hutan Tanaman Industri (HTI). Periode 1980-an dibuka 1,5 juta hektar hutan untuk HTI. Hingga 1998 pemerintah telah membuka sekitar 2,4 juta hektar hutan untuk HTI.
Dengan menjamurnya HPH dan HTI, menurut badan pangan dunia FAO, antara 1976-1980 terdapat 550.000 hektar hutan rusak setiap tahun. Lima tahun kemudian luasan hutan rusak terus bertambah mencapai 600 – 1,2 juta hektar. Pada periode 1985-1997 laju deforestasi menjadi 1,7 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan yang luar biasa ini sebetulnya tidak dibarengi dengan pemasukan riil yang memadai bagi pemerintah. Laporan Bank Dunia 2006 menyebutkan sektor kehutanan hanya memberi kontribusi 3-4 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Oleh karena itu, sumber daya hutan tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, pembangunan sosial ekonomi, serta keberlanjutan lingkungan hidup (Indoprogress, 30 Desember 2013).
Pasca Orde Baru menyaksikan meningkatnya tuntutan masyarakat adat terhadap pengembalian hutan adat mereka. Kongres Masyarakat Adat pada Maret 1999 menuntut pemerintah mengakui kedaulatan masyarakat adat nusantara termasuk mengakui hak mereka atas tanah ulayat warisan para leluhur. Angin reformasi yang kencang berhembus serta desakan masyarakat merebut kembali tanah milik adat membuat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Penerbitan UU ini sekaligus menyatakan UU No. 5 Tahun 1967 tidak berlaku lagi. Salah satu pasal di dalam UU No. 41 Tahun 1999 ini menyatakan pemerintah dapat memberikan pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat adat.
Meskipun demikian, kedaulatan masyarakat adat atas tanah ulayat mereka tak sepenuhnya bisa langsung digenggam. Salah satu pasalnya menyatakan “hutan adat adalah hutan Negara yang berada di dalam wilayah hukum adat”. Aturan perundangan ini pada dasarnya hanya memperkuat undang-undang sebelumnya yaitu mengadopsi pendekatan konvensional dalam melihat ekosistem yang tidak menganggap penting manusia yang hidup di dalamnya. Hal ini terjadi karena sejumlah syarat dan kriteria untuk mendapat pengakuan atas hutan adat dibuat sulit dan muskil bisa dipenuhi oleh masyarakat adat (Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto, 2010). Bentuk pengakuan seperti itu sama artinya dengan melakukan politik penyangkalan menggunakan kerangka hukum Negara.
Tumpang tindih tanah ulayat masyarakat hukum adat dengan kawasan hutan Negara cenderung merugikan masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999 melarang berbagai kegiatan pertanian terkait hutan seperti mengerjakan/membudidayakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan, melanggar batas-batas suatu kawasan hutan, di dalam radius atau jarak tertentu; membakar hutan, menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau surat izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwewenang.
Sejumlah masyarakat adat kerap berkonflik dengan Taman Nasional yang diserahi tanggungjawab menjaga pelestarian hutan. Seperti yang terjadi pada Masyarakat Hukum Adat (MHA) Ketemenggungan Siyai di kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dengan pengelola Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya (TNBBBR) di kabupaten Melawi. Penetapan kawasan hutan yang kemudian menjadi TNBBBR dilakukan secara bertahap sejak 1978 hingga tahun 2000 dengan luas 123.029,60 hektar. Sementara di dalam wilayah TNBBBR tersebut sejak sebelum penetapan TNBBBR telah berdiam ribuan warga sub etnis dayak yang disebut Orang Limbai, Ransa, dan Kenyilu. Sejak UU No.41 Tahun 1999 diterbitkan, tindakan represif terhadap MHA Ketemenggungan Siyai semakin kerap terjadi.
Tindakan tersebut berupa penanaman gaharu di lahan sawah milik warga, membongkar paksa pondok dan tenda serta merusak perkakas kerja warga yang sedang bekerja di kawasan hutan adat, penyitaan kayu balok, papan dan ring rumah milik warga, serta menghentikan aktivitas berladang warga. Semuanya dengan alasan telah merusak kawasan hutan konservasi. (“Setelah Kami Dilarang Masuk Hutan”, HuMa, 2010)
Di sisi lain, otonomi daerah memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin konsesi baru untuk usaha ekstraktif dan eksploitatif hutan. UU No. 41 Tahun 1999 berperan sebagai payung hukum atas tindakan sewenang-wenang Negara mengambil alih hak kesatuan masyarakat adat atas hutan adatnya dan menjadikannya hutan Negara. Seringkali pemerintah daerah selanjutnya memberikan hak pengelolaan hutan tersebut kepada korporasi melalui berbagai skema perizinan.
Seperti terjadi di Kabupaten Keerom, Papua dimana beroperasi perusahaan kayu PT Batasan sejak 2010 hingga 2017. Menurut laman mongabay.co.id wilayah operasi perusahaan ini berada di kawasan hutan adat warga Waris. Penebangan kayu yang dilakukan telah membabat kayu hutan warga Waris sekaligus juga merusak jalan ke Distrik Waris, Arso Timur akibat dilewati kendaraan berat dan truk-truk pengangkut kayu.
Berangkat dari keprihatinan atas kondisi yang ada, sejumlah masyarakat hukum adat dan organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengajukan pengujian materi UU No. 41 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi ini akhirnya dikabulkan sebagian oleh para hakim MK melalui Putusan MK No. 35 Tahun 2012. Dalam salah satu pertimbangan putusan MK disebutkan UUD 1945 pasal 18 dan 28 telah memberikan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat.
Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung lama dan diteruskan hingga sekarang (laman Mahkamah Konstitusi). Pokok yang paling penting dari putusan ini adalah penetapan bahwa hutan adat adalah hutan hak dan bukan hutan Negara sehingga dengan demikian masyarakat adat memiliki kedaulatan untuk menguasai tanah ulayatnya.
Paradigma Baru
Meskipun telah ada putusan MK, praktik di lapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2016 menyatakan bahwa konflik tenurial menyangkut agrarian dan perhutanan mencapai 450 kasus, meningkat dua kali lipat dibanding 2015 (252 kasus). Dari 1.265.027 hektar luasan konflik, lebih dari 1 juta hektar terjadi di area perkebunan (601.680,57 ha) dan kehutanan (450.215,30 ha).
Walaupun demikian di penghujung tahun 2016 lalu Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung hutan adat seluas 13.122,3 ha kepada sembilan masyarakat adat yang ada di pulau Sumatera maupun Sulawesi (Kompas 27/3/2017). Pengakuan hutan adat ini dilakukan melalui instrumen perda maupun surat ketetapan kepala daerah. Dalam catatan Epistema Institute, terdapat 69 produk hukum daerah yang diterbitkan sejak Mei 2013 hingga Desember 2016. Angka ini sangat signifikan dan intens karena terjadi hanya dalam waktu kurang dari empat tahun. Ditambah terbaru 756 ha Hutan Adat Sigi di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 351 ha area penggunaan lain dan 405 ha hutan produksi terbatas serta 40,5 ha Hutan Adat Sekadau di Kalimantan Barat.
Pengakuan terhadap hutan adat ini merupakan bagian dari paradigma baru yang berupaya diterapkan oleh pemerintah saat ini, khususnya Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Paradigma ini terutama ingin memposisikan masyarakat adat sebagai subyek atau pelaku utama dalam model pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli dan penjagaan kawasan, restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, hingga pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.
Cara baru ini diharapkan sangat mempertimbangkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga jika muncul persoalan penguasaan lahan termasuk konflik klaim terkait batas wilayah konservasi dengan wilayah masyarakat adat bisa diselesaikan dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan atau melalui pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog.
Hutan adat disamping merupakan lumbung penghidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya, wilayah tersebut juga merupakan wilayah konservasi, penjaga lingkungan hidup. Saat ini Indonesia memiliki wilayah konservasi yang tersebar di seluruh provinsi. Data dari Ditjen KSDAE menyebutkan terdapat 556 unit wilayah konservasi dengan luas mencapai 27,26 juta hektar dimana 5,32 juta hektar (21,26 persen) merupakan kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi yang luasnya 38 kali Singapura itu dikelilingi oleh 5.860 desa. Beberapa lembaga swadaya masyarakat seperti Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), AMAN, HuMa mengusulkan sebagian dari wilayah konservasi tersebut dikukuhkan sebagai Wilayah Adat yakni seluas 1.640.264 hektar yang ada dalam 129 masyarakat hukum adat.
Proses pengukuhan hutan adat sebagai wilayah Masyarakat Hukum Adat masih terus berlangsung. Epistema Institut menyebut pengukuhan itu baru 10 persen dari luas hutan adat yang ditetapkan melalui produk hukum daerah. Masyarakat Lindu adalah salah satu komunitas adat yang saat ini bisa agak bernafas lega karena 756 hektar hutan adatnya sudah diakui. Warga lima desa di Lindu bisa mengambil manfaat dari hutan mereka tanpa perlu khawatir dikejar-kejar oleh petugas patroli Taman Nasional Lore Lindu. (B.I. Purwantari/Litbang Kompas)