Bahasa Indonesia di Tanah Suci
Menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk pertama kali serasa berada di Tanah Air. Setidaknya, perasaan ini muncul ketika berada di sekitaran Masjidil Haram di kota Mekkah dan Masjid Nabawi di kota Madinah, dua tempat yang menjadi tujuan utama warga Muslim Indonesia yang beribadah umrah ataupun haji. Identitas Indonesia seakan lebih melekat dan hadir di Tanah Suci.
Kehadiran identitas ini terasa langsung sejak pintu kedatangan di Bandara King Abdulaziz, Jeddah. Ketika berada di loket imigrasi untuk pemeriksaan dokumen, setiap pendatang, khususnya yang belum pernah berkunjung ke Tanah Suci, harus didata dan dientri dalam sistem imigrasi Arab Saudi. ”Ya, empat jari…ya, jempol”, ujar petugas imigrasi meminta warga Indonesia menempelkan tangannya di mesin pemindai. Penggunaan bahasa Indonesia sudah fasih dilafalkan para petugas imigrasi di bandara bekas ibu kota Arab Saudi tersebut.
Tidak hanya itu, petugas bandara juga kerap kali menggunakan sapaan bahasa Indonesia, seperti ”apa kabar”, ”selamat datang”, dan ”terima kasih”, termasuk perintah kepada jemaah rombongan umrah untuk menuju pintu keluar bandara. ”Keluar… keluar!” ujar petugas keamanan bandara memberi arah keluar kepada jemaah untuk melanjutkan perjalanan ke Mekkah.
Perjalanan Jeddah menuju Mekkah lebih kurang ditempuh dalam 2,5 jam. Di perbatasan kedua kota ada satu daerah pertokoan di wilayah Jeddah yang sering menjadi transit bagi rombongan jemaah umrah dari Tanah Air. Hampir sebagian besar toko yang ada menggunakan bahasa Indonesia. Sebut saja Tokoh Ali Murah dan Toko Gani Murah merupakan sebagian nama tokoh pusat oleh-oleh di Jeddah yang memakai bahasa Indonesia.
Fasilitas publik di Arab Saudi, khususnya di Mekkah dan Madinah, hampir sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu, di kompleks yang sama, terdapat restoran Indonesia yang sudah memiliki nama di Tanah Air. Tidak lupa juga ada ”bakso” tertulis di sebuah depot di sekitar wilayah ini. Memang terasa seperti berada di Tanah Air jika melihat tulisan-tulisan yang terpasang di toko-toko tersebut.
Selain di toko, sejumlah fasilitas publik di Arab Saudi, khususnya di Mekkah dan Madinah, hampir sebagian besar juga menggunakan bahasa Indonesia. Di Mekkah, misalnya, di jalan menuju bagian pintu King Abdulazis Masjidil Haram terpampang iklan layanan masyarakat yang ditulis dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Salah satunya adalah seruan untuk menghindari keluar masjid bersamaan agar tidak terjadi penumpukan atau berdesak-desakan antarjemaah setelah ibadah.
Di dinding menjelang pintu masuk utama Masjidil Haram itu terpampang tulisan, ”Saudaraku yang mulia. Dengan menunggu beberapa menit setelah menunaikan shalat, Anda menghindarkan diri dari kepadatan, sebagaimana juga duduk beberapa saat setelah shalat adalah ibadah”. Seruan ini tercantum dalam videotron yang disajikan secara bergantian antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia.
Hal yang sama bisa kita jumpai di Masjid Nabawi. Masjid yang dibangun Nabi Muhammad SAW ini juga memajang ucapan salam dalam sejumlah bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. ”Kedatangan Anda membahagiakan kami. Kenyamanan Anda harapan kami”, begitu sapaan yang terpajang di Masjid Nabawi. Tidak hanya itu, di masjid ini juga terpampang kutipan ayat suci Al Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Menariknya, penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan masjid tidak hanya terkait sapaan dan seruan ibadah. Di Masjid Ji’ranah di daerah Tasneem, sekitar 26 kilometer dari Mekkah, misalnya, mudah ditemui kata-kata dalam bahasa Indonesia.
Masjid yang biasanya dipakai untuk miqat ( batas dimulainya ibadah haji atau umrah) ini menggunakan bahasa Indonesia untuk penyampaian informasi kepada pengunjung masjid. Misalnya, penunjukan lokasi di mana toilet laki-laki dan perempuan serta lokasi tempat shalat bagi jemaah.
Bahkan, ketika penulis mendatangi masjid ini, ada satu toilet tidak bisa digunakan dan diberikan keterangan dengan bahasa Indonesia, ”Rusak”.
Komunikasi dan transaksi
Selain mudah ditemui dalam bentuk tulisan yang dipajang, bahasa Indonesia juga banyak digunakan sebagai alat komunikasi meskipun dalam kosakata yang terbatas.
Bagi jemaah umrah dan haji di kawasan Masjidil Haram, Mekkah, dan Masjid Nawawi, Madinah, misalnya, tidak jarang para askar (petugas keamanan masjid) memakai bahasa Indonesia untuk memberi isyarat kepada jemaah yang diketahui berasal dari Indonesia. ”Cepat hajj, cepat…,” begitu para askar memerintahkan jemaah untuk bergerak mencari tempat kosong untuk shalat.
Komunikasi menggunakan bahasa Indonesia juga mudah ditemui ketika bertransaksi atau jual beli di toko-toko atau pasar di Mekkah dan Madinah. Ahmad (18), pedagang baju muslimah di pusat perbelanjaan di depan Masjid Nabawi, relatif fasih dan lancar berbahasa Indonesia dan bahasa Melayu. ”Banyak pembeli dari Indonesia,” ujar Ahmad.
Tidak hanya itu, dalam transaksi, tidak jarang proses tawar-menawar sampai pada penggunaan uang rupiah sebagai alternatif dari mata uang riyal.
Lain lagi dengan Abdullah (25), pemuda asli Afghanistan yang sudah tinggal lama di Mekkah. Dia memiliki gerai pakaian dan perlengkapan ibadah, seperti baju muslim, tasbih, dan sajadah. Di tokonya, Abdullah menerima uang rupiah sebagai alat transaksi selain riyal.
Penggunaan uang rupiah sebagai alternatif dari mata uang riyal.
Menariknya, Abdullah juga bisa berbahasa Jawa Timur saat menghitung lembar rupiah yang diterimanya dari pembeli jemaah Indonesia. ”Siji, loro, telu… (satu, dua, tiga..),” ucap Abdullah.
Fenomena penggunaan bahasa Indonesia di Tanah Suci boleh jadi tidak lepas dari jumlah kunjungan jemaah Indonesia yang lebih besar dibandingkan pengunjung asal negara lain.
Menurut catatan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, seperti yang dikutip oleh Katadata.com, jemaah umrah Indonesia merupakan salah satu terbesar ketiga di dunia setelah Mesir dan Pakistan. Lihat saja jumlah visa umrah yang dikeluarkan untuk Indonesia pada 2016, mencapai 699.600 anggota jemaah. Angka ini meningkat 7,2 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara Mesir sebagai negara yang mendapatkan paling banyak visa umrah, tercatat pada 2016 mencapai 1,3 juta anggota jemaah atau naik 17 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1,1 juta anggota jemaah.
Visa umrah yang dikeluarkan untuk Indonesia pada 2016, mencapai 699.600 anggota jemaah
Adapun Pakistan di posisi kedua, visa mencapai 991.000 anggota jemaah, meningkat 29 persen dari tahun sebelumnya. Tingginya jumlah jemaah umrah ini tidak lepas sebagai jalan untuk bisa ke Tanah Suci karena untuk menunggu kuota haji, misalnya, jemaah harus antre sampai puluhan tahun.
Jika jumlah jemaah umrah Indonesia menempati posisi ketiga terbesar, untuk jemaah haji tahun 2017, Indonesia mencatat paling banyak. Sebanyak 221.000 anggota jemaah haji Indonesia tercatat sudah berangkat haji pada musim haji tahun ini. Dalam sembilan tahun terakhir, jumlah kuota haji Indonesia ini tercatat paling tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kunjungan Raja Salman dari Kerajaan Arab Saudi beberapa bulan lalu, yang kemudian memberi tambahan kuota bagi jemaah haji Indonesia, memberi konstribusi pada peningkatan jumlah jemaah haji Indonesia tahun ini.
Jika melihat lonjakan jumlah jemaah haji dan umrah dari Indonesia yang tercatat mendominasi, tidak heran jika kemudian bahasa Indonesia lebih banyak digunakan, baik secara tulis maupun lisan, di Tanah Suci. Tentu banyaknya jemaah Indonesia yang pergi beribadah ke Tanah Suci menjadi pasar potensial untuk digarap secara ekonomi.
Setidaknya, hal ini berangkat dari fenomena ibadah haji bagi masyarakat Indonesia, selain berdimensi ibadah, juga berdimensi sosial budaya yang menempatkannya sebagai salah satu peribadatan yang istimewa. Hal ini kemudian melahirkan tradisi keberangkatan dan kepulangan jemaah haji selalu diliputi berbagai ritual dan berbagai hiruk-pikuk yang melibatkan sanak keluarga dan masyarakat luas, sampai pada tradisi buah tangan bagi saudara sepulang dari beribadah haji ataupun umrah.
Tidak jarang kemudian seakan menjadi keharusan bagi setiap anggota jemaah haji Indonesia untuk membeli suvenir dan berbagai pernak-pernik sebagai cendera mata bagi keluarga dan masyarakat yang akan menyambutnya saat pulang ke Tanah Air.
Di situlah letak potensi pasar yang layak digarap pedagang ataupun produsen di Tanah Suci. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi salah satu strategi pemasaran untuk menggaet pasar dari jemaah haji ataupun umrah dari Indonesia. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)