Membaca Potensi Petahana dalam Pilkada Gubernur di Jawa
Pemilihan Gubernur di Jawa pada 27 Juni 2018 akan menjadi arena perang bintang yang mempertarungkan kader-kader terbaik partai yang sudah teruji kemampuannya menjadi gubernur atau wakil gubernur. Pilgub yang diselenggarakan secara serentak ini juga akan menjadi ajang pertarungan partai politik dalam mengadu strategi dan koalisi untuk mengantarkan calon mereka menjadi penguasa provinsi.
Saat ini bisa dipastikan tiga pejabat petahana menyatakan diri siap bertarung kembali dalam pilgub yang akan dilaksanakan di daerah mereka masing-masing. Ketiga pejabat tersebut adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, dan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar. Ketiga pejabat ini sama-sama membidik posisi sebagai calon gubernur untuk periode lima tahun mendatang.
Ganjar Pranowo adalah Gubernur Jateng terpilih dalam pilgub lima tahun yang lalu. Saat itu Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Heru Sudjatmiko bertarung melawan Bibit Waluyo yang merupakan calon petahana. Duet kader PDI-P ini mampu mengalahkan kekuatan calon petahana. Kali ini Ganjar ingin bertarung kembali merebut jabatan yang sama untuk periode lima tahun mendatang.
Saifullah Yusuf merupakan Wakil Gubernur Jatim pendamping Soekarwo selama dua periode berturut-turut, yaitu 2008-2013 dan 2013-2018. Kali ini Gus Ipul akan menjajal posisi calon gubernur Jatim untuk menyempurnakan kariernya sebagai kepala daerah di tanah kelahirannya sendiri.
Sementara Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar juga memiliki ambisi yang sama seperti rekan sejawatnya dari Jatim. Setelah satu periode (2013-2018) mendampingi Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, kali ini Deddy Mizwar ingin menapakkan karier politiknya selangkah lebih tinggi lagi, yaitu calon gubernur Jabar. Posisi ini akan menjadi jabatan pamungkas dalam karier politik aktor kawakan ini.
Modal dasar
Ganjar, Gus Ipul, dan Deddy Mizwar merupakan pejabat petahana yang sedang berkuasa ketika mengajukan diri sebagai bakal cagub di daerah mereka. Kesempatan menjadi kepala daerah atau pendamping kepala daerah selama lima tahun—atau lebih—merupakan pengalaman yang menjadi bekal mereka dalam mengelola urusan pemerintahan dan pelayanan publik. Bekal inilah yang menjadi modal dasar bagi ketiga pejabat ini ketika mengajukan diri sebagai bakal cagub.
Ganjar Pranowo yang menjabat sebagai Gubernur Jateng selama lima tahun terakhir ini memiliki potensi meraup popularitas yang tinggi di daerahnya. Jabatan gubernur yang diemban ini memberi akses secara langsung kepada kader PDI-P ini mengeksekusi kebijakan-kebijakan strategis terkait soal pemerintahan atau hajat hidup masyarakat Jateng.
Selain itu, wewenang sebagai gubernur juga memberikan akses kepada mantan anggota DPR ini melayani urusan publik dan tampil secara langsung di tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya. Di luar kebiasaan formal ini, Ganjar Pranowo juga memiliki kebiasaan melakukan ”blusukan” seperti yang pernah dilakukan Presiden Joko Widodo untuk mendengarkan aspirasi masyarakat secara langsung.
Akses formal dan kebiasaan ini menjadikan Ganjar Pranowo sebagai sosok yang paling menonjol dan dikenali dengan cepat oleh masyarakat Jateng. Selama menjadi gubernur, Ganjar mampu mengapitalisasi semua aktivitas populisnya menjadi popularitas yang terus meningkat. Modal inilah yang sedang ditawarkan Ganjar kepada masyarakat Jateng dan partai politik untuk maju sebagai bakal cagub Jateng.
Di Jawa Timur, Saifullah Yusuf yang menjabat Wagub Jatim untuk periode kedua pun sudah menyiapkan diri menjadi bakal cagub yang kelak akan menggantikan Gubernur Soekarwo. Saat ini, cucu KH Bisri Syansuri—salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU)—merupakan bakal cagub yang sudah diusung PDI-P dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Penunjukan mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini dibacakan langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Kantor DPP PDI-P Jakarta pada 15 Oktober lalu. Nama Ketua PBNU ini dipasangkan dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas sebagai wakilnya.
Figur Saifullah Yusuf sudah sangat populer di Jatim karena jabatannya sebagai wagub sekaligus kedekatannya dengan NU, ormas Islam terbesar dan paling berpengaruh di Jatim. Sosoknya tidak saja dikenal sebagai kader atau fungsionaris NU, tetapi juga memiliki hubungan geneologi dengan ormas ini melalui kakeknya KH Bisri Syansuri, salah satu kiai pendiri NU.
Perpaduan antara jabatan formal dan garis geneologi di NU membuat Gus Ipul menjadi tokoh NU yang paling menonjol dan layak dipromosikan menjadi calon pengganti Soekarwo, gubernur yang sudah didampinginya sejak 10 tahun yang lalu. Semua persyaratan formal yang dibutuhkan dalam pencalonan sudah ada dalam genggaman tangan Gus Ipul. Kondisi ini membuat mantan Ketua GP Ansor ini berada dalam posisi aman untuk maju dalam pencalonan.
Di Jawa Barat, nama Wagub Jabar Deddy Mizwar memiliki peluang yang sama kuat dengan rekan sejawatnya yang ada di Jateng dan Jatim. Hingga saat ini, Ketua Majelis Pertimbangan Daerah Demokrat ini positif mengantongi dukungan dari Partai Demokrat. Setidaknya, sejak menyatakan dukungan untuk Deddy Mizwar sebagai calon Jabar 1 pada 5 Desember lalu, partai ”Bintang Mercy” ini tetap konsisten mengusung pemeran ”Naga Bonar” ini menuju kursi gubernur Jabar.
Nasib Deddy Mizwar pada saat-saat menjelang tenggat waktu pendaftaran cagub terombang-ambing setelah PKS dan PAN yang menjadi mitra koalisi Demokrat dalam Koalisi Zaman Now menarik diri dari koalisi ini. Padahal, melalui koalisi ini Deddy Mizwar sudah bisa melenggang bebas bersama Ahmad Syaikhu masuk ke arena pendaftaran, yang mulai dibuka pada 8 Januari 2018. Harapan ini sirna seketika seiring hengkangnya PKS dan PAN yang memilih bergabung bersama Partai Gerindra.
Penarikan dukungan untuk Deddy Mizwar kali ini merupakan ganjalan politik yang kedua bagi aktor kawakan ini meraih takhta tertinggi di Provinsi Jabar. Ganjalan pertama terjadi ketika Partai Gerindra mencabut dukungan terhadap pasangan Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu, dan menarik diri dari koalisi bersama PKS pada September lalu. Alasannya, Gerindra merasa belum cocok dengan figur Ahmad Syaikhu yang dipasang PKS sebagai pendamping Deddy Mizwar.
Ketika Gerindra meninggalkan PKS dan pasangan Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu, Demokrat dan PAN merapat untuk mengusung bakal cagub dan cawagub dari PKS ini. Kedua partai ini sama sekali tidak mempersoalkan sosok Ahmad Syaikhu yang dipasang PKS sebagai bakal cawagub.
Tantangan
Saat ini, suhu politik di Jatim, Jabar, dan Jateng belum menunjukkan peningkatan serius. Aktivitas politik masih didominasi manuver tokoh politik dalam mendekati partai politik untuk mendapatkan dukungan politik. Sebaliknya, partai politik pun bermanuver dengan mengadakan komunikasi sesama parpol untuk membentuk koalisi yang solid, atau menjalin komunikasi dengan sosok yang paling potensial untuk diusung sebagai bakal cagub.
Tujuh bulan menjelang pilkada serentak 2018, suhu politik Jateng terbilang paling adem dibandingkan dua provinsi lainnya. Manuver tokoh politik secara terbuka untuk mempromosikan pencalonan mereka masih terbatas pada beberapa tokoh saja. Ada tokoh yang sudah memiliki kendaraan politik, ada yang masih sebatas pendekatan kepada parpol. Sementara tokoh yang lain, pencalonannya masih dalam wacana karena tingkat popularitas mereka rendah.
Ganjar Pranowo sendiri hingga saat ini baru sebatas mendaftarkan diri sebagai bakal cagub kepada PDI-P. Selain Ganjar, beberapa kepala daerah di Jateng juga mengajukan pendaftaran bakal cagub atau cawagub. Jika Ganjar mendapat restu dari Ketua Umum PDI-P, ambisinya untuk menjadi bakal cagub dalam Pilgub Jateng 2018 akan berjalan mulus. Sebaliknya, jika Megawati mengalihkan dukungan PDIP kepada calon lain, harapan Ganjar untuk menjadi Gubernur Jateng periode kedua kemungkinan besar akan pupus.
Padahal, popularitas dan elektabilitas kader PDI-P ini terbilang paling tinggi dibandingkan tokoh-tokoh lain yang ingin menjadi Gubernur Jateng periode 2018-2023. Ganjar selama ini dikenal sebagai gubernur yang mau berinisiatif bertemu warganya untuk mendengarkan aspirasi mereka secara langsung. Selain itu, Ganjar juga dikenal sebagai kader partai yang loyal dan berkualitas.
Di sinilah tantangan terberat Ganjar Pranowo untuk maju dalam pilgub periode kedua ini. Semua prestasi dan keunggulan Ganjar tersebut belum bisa mengetuk perhatian Ibu Mega dan jajaran pengurus DPP untuk segera mendeklarasikan dukungan kepada mantan anggota DPR ini. Sejak November 2017 hingga awal Januari 2018 PDI-P telah mendeklarasikan dukungan kepada bakal cagub di Bali, Jatim, Sulsel, NTT, Maluku, Riau, Sultra, Maluku Utara, Lampung, dan Sumut. Hanya Jateng dan Jabar yang belum dideklarasikan.
Ganjar Pranowo paham, hanya dukungan PDI-P-lah yang bisa mewujudkan cita-citanya memimpin kembali di provinsi yang menjadi tanah kelahirannya. Berkaca dari pengalaman dalam pilkada 5 tahun silam, kemenangan Ganjar atas Bibit Waluyo berkat dukungan PDI-P. Bahkan, dalam pilkada 10 tahun silam, Bibit Waluyo pun bisa menang lantaran dukungan PDI-P.
Padahal, baik Ganjar maupun Bibit merupakan sosok yang masih asing bagi masyarakat dan pemilih Jateng. Bahkan, ketika Litbang Kompas mengadakan jajak pendapat, popularitas dan elektabilitas kedua kandidat PDI-P ini terbilang paling rendah hingga detik-detik menjelang pilkada. Dengan potensi yang terbilang kecil tersebut, Ganjar dan Bibit tetap didukung sehingga keduanya berhasil menjadi Gubernur Jateng pada 2013 dan 2008.
Fanatisme pengurus dan loyalitas pemilih ini hingga sekarang masih senyap di Jateng. Kondisi ini membuat Ganjar semakin penasaran, hendak ke mana fanatisme dan loyalitas tersebut akan diberikan oleh Megawati di Pilgub Jateng nanti? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kekuatan sekaligus kelemahan posisi Ganjar dalam Pilgub Jateng ini.
Suhu politik Jawa Timur relatif stabil meskipun setelah deklarasi pencalonan Gus Ipul-Abdullah Azwar Anas dinamika politik berjalan cepat. Partai Golkar beberapa pekan kemudian langsung merekomendasikan Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Bupati Trenggalek Emil Dardak untuk menjadi bakal cagub dan cawagub Jatim. Sehari sebelumnya Partai Demokrat dikabarkan telah merekomendasikan pasangan ini.
Potensi politik Saifullah Yusuf dalam peta persaingan ini menunjukkan, kekuatan utama Gus Ipul ditopang posisinya sebagai petahana Wagub Jatim. Karakter pribadi dan hubungannya dengan NU dan semua elemen masyarakat Jatim selama ini menjadi modal sosial yang bisa meningkatkan potensi politik.
Duet Saifullah Yusuf-Abdullah Azwar Anas ideal untuk merepresentasikan karakter kultur keagamaan Jawa Timur yang terlembagakan dalam NU. Pasangan ini bisa dibilang menggambarkan perkawinan kader NU lintas generasi. Duet pasangan ini diharapkan bisa meraup dukungan di wilayah yang menjadi kantong suara NU.
Tantangan utama di balik potensi tersebut berasal dari sosok pesaingnya yang terbilang memiliki ketangguhan yang setara. Khofifah, meskipun telah kalah dalam dua kali pilgub, tetap memiliki daya juang yang tinggi untuk menjadi gubernur Jatim. Posisinya sebagai Ketua Fatayat NU menjadi kekuatan yang bisa dipertandingkan secara frontal dengan Gus Ipul.
Kehadiran Emil Dardak dianggap bisa merepresentasikan kelompok Mataraman yang secara ideologis berorientasi kepada nasionalisme. Kelompok Mataraman ini secara geografis berada di Malang, Blitar, dan sekitarnya yang menjadi kantong suara PDI-P. Sementara di Pacitan merupakan basis Demokrat. Pasangan Khofifah-Emil dinilai paling ideal untuk menjembatani keragaman karakter politik dan kultur keagamaan di Jatim.
Sebagaimana diketahui, duet Gus Ipul-Anas ini dipandang menafikan keterwakilan kelompok politik nasionalis yang terpusat di bagian selatan Jatim. Padahal, lumbung suara yang tersebar di wilayah Mataraman ini memiliki posisi yang signifikan dalam membentuk kekuatan calon. Di titik inilah potensi politik yang ditanam Gus Ipul melalui jabatannya sebagai Wagub Jatim selama 10 tahun, dan dukungan PDI-P dikelola untuk bisa menutupi kesenjangan elektabilitas di wilayah Mataraman.
Kabar mundurnya Abdullah Azwar Anas dari bursa bakal cawagub Jatim menjelang masa pendaftaran dibuka bisa menjadi batu sandungan bagi Gus Ipul. Figur pengganti yang bisa menyamai sosok Anas dengan segudang pengalaman politik dan prestasi sebagai bupati selama dua periode bukan perkara mudah. Bahkan, PDI-P sendiri harus bekerja keras untuk memikirkan dan mencari sosok pengganti Bupati Banyuwangi ini sebagai pendamping Gus Ipul.
Di Jawa Barat, Deddy Mizwar yang kehilangan wakil dan dukungan politik dari PKS dan PAN jelas menjadi ganjalan berat baik bagi Deddy Mizwar maupun Partai Demokrat. Tantangan bagi Deddy Mizwar adalah tetap menjaga semangat, popularitas, dan elektabilitas dirinya di tengah ketatnya persaingan politik dan tenggat waktu pendaftaran yang semakin terbatas. Peluang Deddy Mizwar dan Demokrat tetap terbuka karena beberapa partai, terutama partai-partai besar, seperti Golkar dan PDI-P, belum menutup pintu koalisi.
Langkah Demokrat membangun koalisi dengan Golkar belakangan ini bisa dibaca sebagai upaya partai ini melakukan kompromi politik agar Deddy Mizwar bisa dipasangkan dengan Deddy Mulyadi, satu-satunya bakal cagub Jabar yang direkomendasikan DPP Golkar pimpinan Airlangga Hartarto. Jika Golkar menerima tawaran Golkar, boleh jadi poros baru ini akan mengusung duo dedi-(Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi atau Dedi Mulyadi-Deddy Mizwar)—sebagai bakal cagub dan cawagub.
Tantangan yang harus dihadapi Deddy Mizwar adalah meningkatkan elektabilitas terhadap kandidat lain yang sudah melebihinya, terutama Ridwan Kamil. Wali Kota Bandung ini akan menjadi lawan politik paling tangguh Deddy Mizwar karena memiliki popularitas dan elektabilitas yang paling tinggi. Meskipun bukan sosok politisi partai, figur Kang Emil disukai khalayak Jabar dan tokoh-tokoh politik.
Semua calon petahana yang akan maju dalam pilkada di Jatim, Jateng, dan Jabar memiliki potensi yang relatif setara untuk bertarung di daerah mereka. Jabatan petahana saat ini yang ditopang dukungan partai yang solid diperkirakan bisa menutupi kekurangan yang akan menjadi sasaran serangan dari lawan-lawan politik. (Sultani/Litbang Kompas)