Mendaftar untuk Lindung Diri
Kebijakan baru yang digaungkan penguasa biasanya selalu melahirkan dua hal, pro dan kontra. Demikian halnya dengan aturan pendaftaran ulang kartu SIM telepon seluler yang belum lama ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2017.
Sejak awal Oktober 2017, pemerintah sudah mulai menyosialisasikan ketentuan baru tersebut kepada masyarakat. Kewajiban mendaftarkan kartu SIM ini sebenarnya dirancang sudah cukup lama, tetapi baru Oktober tahun lalu terlaksana.
Pendaftaran kartu SIM dimaksudkan untuk menjaga keamanan dan melindungi pengguna telepon seluler dari segala bentuk penyalahgunaan nomor. Selain itu, pemerintah juga sedang merancang sistem identitas tunggal (national single identity) bagi seluruh pengguna telepon seluler. Sistem ini akan menghubungkan database Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dengan operator seluler.
Pelanggan kartu seluler di seluruh Indonesia harus sudah terdaftar sejak 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018. Jika lewat dari tanggal tersebut, nomor yang selama ini digunakan akan tidak aktif atau terblokir perlahan-lahan.
Meski sudah disosialisasikan lewat berbagai saluran informasi, baik media sosial maupun media konvensional, masyarakat masih banyak yang belum mengetahuinya. Hasil jajak pendapat Kompas pada akhir tahun lalu menyebutkan, lebih dari separuh responden (54,1 persen) mengaku tidak tahu mengenai aturan pendaftaran kartu SIM seluler. Baru 45,9 persen responden yang sudah tahu mengenai aturan ini.
Padahal, dalam menyebarkan informasi ini, pemerintah sudah melakukan sejumlah cara unik. Salah satunya melalui meme yang di-posting di Instagram resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang mengangkat sosok ”Ibu”, salah satu tokoh utama dalam film horor lokal Pengabdi Setan. Dalam meme itu, Ibu menginformasikan bahwa pendaftaran kartu SIM seluler tidak membutuhkan penyebutan nama ibu kandung pemilik kartu.
Perlu mendaftar
Ketentuan pendaftaran kartu SIM seluler sebenarnya cukup mendapat dukungan masyarakat. Hal ini tergambar dalam hasil jajak pendapat yang menyebutkan 70,1 persen responden menganggap perlunya pemilik telepon seluler mendaftarkan kartu SIM. Hampir separuh responden (49,1 persen) yang setuju adalah mereka yang beralasan ketentuan itu bermanfaat untuk keamanan pengguna nomor dan keamanan orang lain. Sisanya menganggap peraturan tersebut cukup penting dan dapat menyaring konten-konten bermuatan spam dan hoaks.
Sementara sebagian kecil responden (13,1 persen) menganggap saat ini peraturan tersebut belum perlu diberlakukan. Sebanyak 14,2 persen responden bahkan menyatakan aturan tersebut tidak diperlukan selamanya. Mereka yang berpendapat aturan itu tidak perlu saat ini ataupun tidak perlu selamanya merasa ketentuan itu akan merepotkan atau menyulitkan pengguna telepon seluler (16,8 persen).
Selain itu, sebanyak 6,8 persen responden mengeluhkan pendaftaran justru akan memunculkan kejahatan yang memanfaatkan data pribadi pengguna telepon seluler.
Sebenarnya, prosedur pendaftaran kartu SIM seluler relatif tidak merepotkan. Pelanggan hanya harus mengirim pesan singkat berupa SMS ke nomor tertentu yang berisi nama dan nomor identitas berupa KTP atau kartu keluarga (KK).
Sebelumnya bahkan sudah ada kewajiban pelanggan seluler untuk mendaftarkan nomor kartu mereka dengan identitas pribadi. Namun, karena sistem yang belum baik, aturan tersebut dijalankan masyarakat dengan sembarangan. Nomor dan nama yang didaftarkan kebanyakan menggunakan identitas palsu. Hal ini membuat sistem database pelanggan seluler tidak valid.
Keamanan data
Lantas, apakah ketentuan ini akan dapat menjamin keamanan pelanggan seluler, dapat meminimalkan kejahatan di dunia maya, seperti penyalahgunaan nomor, penipuan dan penyebaran berita bohong?
Terkait hal ini, jawaban responden cukup optimistis. Setidaknya, 67 persen responden menjawab yakin jika aturan ini akan dapat mencapai tujuan keamanan yang diharapkan. Keseriusan pemerintah dengan menuangkan ketentuan ini dalam sebuah peraturan resmi cukup membuat masyarakat yakin dengan hal tersebut. Lagi pula, ada sanksi yang cukup berat menanti mereka yang enggan mendaftarkan nomornya sesuai ketentuan perundang-undangan.
Menurut asosiasi operator jaringan mobile seluruh dunia (GSMA), saat ini aturan registrasi kartu SIM seluler sudah diterapkan di 90 negara di dunia. Namun sayangnya, belum ada panduan global yang permanen dalam mengimplementasikan peraturan ini.
Selain itu, data empiris yang memperlihatkan keterkaitan langsung antara aturan registrasi kartu SIM dan berkurangnya kejahatan juga belum tersedia. Meski demikian, aturan ini tetap diyakini akan membawa manfaat bagi sebuah negara yang sedang bergerak menjadi negara berbasis teknologi.
Di Indonesia, di satu sisi, regulasi pendaftaran kartu SIM saat ini diharapkan dapat mencegah kejahatan berbasis telepon seluler dan melindungi konsumen. Di sisi lain, kekhawatiran bahwa hal ini berpotensi memunculkan kejahatan yang lain juga cukup tinggi. Misalnya, pelanggaran hak privasi pengguna telepon oleh operator seluler yang memegang data seluruh pelanggan.
Sebagaimana yang dikatakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indonesia belum memiliki regulasi jelas yang mengatur perlindungan data pribadi. Menurut Elsam, saat ini sudah ada 16 dari 88 negara yang memiliki aturan yang sangat kuat dalam melindungi data warga negara. Sebanyak 24 negara kuat perlindungannya, 32 negara dalam kategori sedang, dan 16 negara dalam kategori rendah. Indonesia termasuk dalam kategori rendah, bersanding dengan Brasil, China, Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Swiss, dan Zimbabwe. (PALUPI PANCA ASTUTI/LITBANG KOMPAS)