Krisis Air Bersih Jakarta yang Tak Disadari
Sari Lubis dan beberapa tetangganya di Kembangan Raya, Kampung Bugis, mengeluh air PAM di rumahnya sering tidak mengalir. Bahkan beberapa tetangganya tidak mendapat aliran PAM selama dua tahun. Akibatnya, warga Jakarta Barat tersebut harus membeli air pikulan atau mengambil air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Keluhan Sari tersebut termuat dalam ”Surat Kepada Redaksi” di harian Kompas edisi 7/11/2017.
Tak hanya Sari dan tetangganya yang kekurangan air baku karena aliran air perpipaan mati. Warga Rusunawa Pesakih, Jakarta Barat, juga mengeluhkan kualitas air yang dialirkan lewat jaringan air perpipaan PD PDAM Jaya tersebut (Kompas, 28/11/2017).
Air terlihat berlendir, berwarna kuning seperti teh dan warga merasa gatal jika menggunakan air untuk mandi. Jelas dengan kondisi tersebut, warga rusunawa tidak berani menggunakannya sebagai air minum.
Keluhan-keluhan soal air bersih tak hanya dialami Sari Lubis dan warga rusunawa Pesakih saja. Tak dimungkiri, masih ada sejumlah warga yang mengeluhkan soal kekurangan air bersih dan kualitas air bersih. Ketahanan air Ibu Kota di atas kertas mengalami defisit.
Data Dinas Tata Air DKI Jakarta menunjukkan, pada 2015 dengan jumlah penduduk Jakarta 10,6 juta jiwa, membutuhkan air bersih sekitar 29.500 liter per detik. Padahal kapasitas produksi air perpipaan hanya 17.875 liter per detik. Kekurangan air 10.099 liter per detik. Data tersebut juga menunjukkan, hingga 2030, Jakarta akan tetap mengalami kekurangan air baku.
Peningkatan jumlah penduduk serta konsumsi air per liter per jiwa per hari, tidak diikuti dengan penambahan kapasitas produksi air. Hingga 2030, kapasitas produksi malah menurun menjadi 16.500 liter per detik.
Hal tersebut menggambarkan pasokan air di Jakarta terbatas. Tak heran jika, pemerintah melalui PAM hanya bisa mencukupi kebutuhan sekitar 62,08 persen warga DKI. Namun, ternyata kualitas air PAM tak bisa diharapkan bagus 100 persen. Kualitas air di Rusunawa Pesakih, misalnya, yang berlendir dan berwarna kuning.
Kualitas air PAM yang tak jernih tersebut membuat mayoritas warga Jakarta tidak lagi menggunakan air PAM sebagai air minum. Sebagai gantinya, warga menggunakan air mineral produksi pabrik. Kecenderungan penggunaan air mineral sebagai sumber air minum ditunjukkan dari Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) DKI Jakarta 2013. Survei Kementerian Kesehatan tersebut menyebutkan, proporsi rumah tangga yang menggunakan air isi ulang 35,6 persen dan air kemasan 33,2 persen.
Harga air mineral yang terjangkau membuat penggunaan air mineral ini marak di semua lapisan masyarakat, dari golongan ekonomi rendah hingga tinggi. Harga air isi ulang dalam satu galon bermerk sekitar Rp 16.000 hingga Rp 20.000. Adapun ada juga dijual air isi ulang tanpa merek yang biasanya diolah dengan mesin isi ulang air minum di industri rumah tangga. Harga air isi ulang ini lebih murah, berkisar Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per galon.
Namun sekarang, kualitas air galon tak selamanya baik. Agustus 2017, kepolisian membongkar produksi pemalsu air minum kemasan isi ulang di Cilandak, Jakarta Selatan. Air mineral dipalsukan dari air tanah dengan kemasan yang nyaris tak bisa dibedakan dengan produk asli. Dalam sehari, produksi dan pemasaran air minum kemasan isi ulang tersebut mencapai 300 galon dan produksinya sudah berlangsung selama 13 bulan.
Air isi ulang kemasan tanpa merek juga tak selamanya bersih. Meski telah disterilisasi memakai teknologi penyaring, air tersebut cukup rentan mendapatkan pencemaran dari kuman atau bakteri. Kuman atau bakteri itu didapatkan dari sikat pembersih galon yang digunakan ke sejumlah galon. Selain itu, lokasi depot air minum cenderung berada di pinggir jalan yang cenderung berisiko terkena polusi, debu, dan berbagai bakteri serta kuman.
Hasil pengujian Kementerian Perdagangan 2013, yang dikutip dari laman Antaranews.com, menunjukkan, sekitar 40 persen dari depo air minum isi ulang di wilayah Jabodetabek tercemar bakteri E. coli. Sebanyak 40 persen depo air minum isi ulang tersebut tidak memenuhi standar dan menyebabkan air tersebut tidak dapat dikonsumsi langsung oleh konsumen.
Penggunaan Air Tanah
Keterbatasan layanan air perpipaan membuat warga Jakarta beralih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air baku. Air tanah lebih banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga selain air minum. Survei jajak pendapat Kompas 2015 hingga 2017 menunjukkan, rata-rata separuh warga telah menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK). Survei tersebut juga sejalan dengan survei Riskesdas 2013. Sebanyak 60 persen rumah tangga di DKI Jakarta menggunakan air tanah yang didapat dari sumur bor/pompa, sumur gali terlindung dan tidak terlindung.
Air tanah yang dimanfaatkan warga yang tak terlayani PDAM biasanya adalah air tanah dangkal. Sumber daya ini berada di lapisan kedap air dan keluar melalui sumur bor. Namun, pengambilan air tanah dangkal ini tak terdaftar oleh pemerintah dan tak dikenai pajak sehingga jumlahnya pun cenderung semakin banyak. Berdasarkan Dinas Tata Air DKI Jakarta, pemakai air tanah terbesar, bukan berasal dari kalangan rumah tangga, melainkan dari kelompok niaga besar meliputi apartemen, hotel berbintang, real estat, bengkel besar, dan bank.
Air tanah terbatas
Cadangan air tanah Jakarta terbatas. Padahal, cekungan air tanah Jakarta seluas batas wilayah adminstrasi DKI Jakarta, Kabupaten dan Kota Tangerang, Kabupaten Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi, serta Kota Depok (6.085,4 hektar).
Akan tetapi, menurut penelitian Delinom dkk (2015) dari laman Amrta Institute, dasar cekungan air tanah Jakarta ternyata bukan merupakan garis yang melandai dari selatan ke utara. Namun, dasar cekungan air tanah Jakarta itu menunjukkan ada struktur tinggian dan rendahan serta lebih tipis. Hal itu berimplikasi pada jumlah cadangan air tanah Jakarta yang jumlahnya mungkin lebih sedikit dari yang selama ini diperkirakan.
Ketersediannya pun cenderung menurun seiring dengan semakin menurunnya daerah tangkapan air di wilayah hulu (Bogor-Puncak-Cianjur). Daerah Bopunjur yang dulu merupakan bukit-bukit hingga pegunungan dan mempunyai curah hujan pertahun tinggi berkisar 3.500-4.000 mm/tahun (lebih tinggi dari Jakarta: 2.000 mm/tahun) merupakan daerah potensial sebagai cadangan dan suplai air tanah bagi Jakarta.
Sebenarnya, di atas kertas, air tanah tidak akan habis. Melalui proses daur ulang hidrologi, secara bertahap, air tanah akan mendapat suplai dari proses infiltrasi. Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Namun syaratnya, celah dan pori tanah tidak boleh tertutup oleh lapisan beton/semen.
Peta Kondisi Muka Air Tanah dari Dinas Tata Air DKI menunjukkan, selama 1950 hingga 2013 telah terjadi penurunan muka air tanah drastis. Tahun 1950, di wilayah utara masih bisa mendapatkan air tanah dangkal hingga kedalam 10 meter dan di selatan hingga 50 meter.
Namun tahun 2013, pola kontur tanah Jakarta berubah. Wilayah Utara Jakarta, untuk mendapatkan air tanah harus mengambil di lapisan air tanah dalam hingga kedalaman minus 20 meter. Dengan kata lain, wilayah pesisir tidak mendapat jatah air tanah dalam. Air tanah dangkal baru bisa didapat di wilayah selatan di sekitar pasar Minggu, Kramatjati, dan Cilandak dengan kedalaman 20 meter serta di wilayah Jagakarsa dan Ciracas masih bisa didapatkan sampai kedalaman 40 meter.
Pencemaran air tanah
Tak hanya terbatas, air tanah di Jakarta pun telah tercemar. Catatan Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Desember 2015, dari 85 lokasi sumur pengamatan pada lapisan akuifer bebas, hanya di 16 lokasi yang memenuhi baku mutu. Untuk akuifer tertekan, dari 69 lokasi sampel, hanya 12 lokasi yang airnya memenuhi baku mutu.
Sebaran air tanah dengan kualitas tidak sesuai baku mutu pada akuifer tertekan (lihat peta) ada di bagian utara, barat, dan timur. Air tanah berkualitas baik cenderung ada di wilayah selatan, seperti di kawasan Jagakarsa, pondok Cina, dan Cijantung.
Hasil pemantauan tersebut menunjukkan, kondisi air tanah dalam di wilayah selatan jauh lebih baik dibandingkan di wilayah utara, barat, dan timur.
Sebaliknya, pada pemantauan di akuifer tidak tertekan, kualitas air di atas baku mutu tersebar di wilayah barat (Bandara, Joglo, Kemanggisan) dan timur (Kramatjati, Duren Sawit, Halim Perdanakusuma, Teluk Pucung).
Selebihnya, kondisi air tanah dangkal di wilayah lainnya terancam tercemar. Bahkan di wilayah selatan pun, harus mengebor lebih dalam sampai batas akuifer tertekan untuk mendapatkan kualitas air tanah yang baik.
Air tanah di wilayah utara, barat, dan timur mengandung garam. Sumur yang air tanahnya mengandung garam berlebih, antara lain, ditemukan di sekitar Cengkareng, Kamal Muara, Penjaringan, Ancol, Cakung, sekitar Bekasi, bahkan di Kuningan, Jakarta Selatan. Kandungan garam tersebut berasal dari intrusi air laut, terutama untuk wilayah utara Jakarta.
Selain itu, beberapa tempat di Jakarta, air tanahnya mengandung kalium permanganat. Di antaranya di Rusunawa Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat. Hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan Daerah menunjukkan, air sumur di rusunawa tersebut mengandung kalium permanganat yang jika kadarnya berlebihan bisa menyebabkan kulit iritasi dan gatal-gatal.
Tidak disadari
Namun, belum semua masyarakat menyadari perihal keterbatasan air tanah di Ibu Kota. Selain itu, warga juga cenderung tidak melakukan upaya konservasi air tanah. Hal tersebut tertangkap pada beberapa jajak pendapat Kompas 2015.
Hampir 80 persen warga Jakarta menilai pasokan air bersih di Jakarta tidak terbatas. Bahkan hampir separuh responden berpandangan bahwa sumber air bersih terbesar di Jakarta berasal dari air tanah.
Penilaian tersebut wajar terjadi karena pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan air baku warga Jakarta melalui air perpipaan. Sampai saat ini, air tanah masih menjadi andalan bagi semua warga Jakarta. Kemudahan mendapatkan air tanah dangkal di sejumlah tempat di Jakarta semakin memperkuat persepsi bahwa persediaan air tanah tak terbatas. Istilahnya, jika ada uang, bisa membuat sumur bor dengan kedalaman 10-30 meter, air tanah bisa didapat.
Pengambilan air tanah pun cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Catatan Dinas Tata Air DKI Jakarta tahun 2011 menunjukkan, jumlah pemakaian air tanah 7,2 meter kubik yang diambil dari 4.231 lokasi. Tahun 2014, meningkat menjadi 8,8 juta meter kubik dari 4.431 lokasi. Itu baru dari data sumur legal yang biasanya merupakan sumur air dalam. Belum termasuk sumur-sumur dari air tanah dangkal yang biasanya digunakan rumah tangga.
Namun, musim kemarau 2015 yang berkepanjangan lalu, sempat membuat sebagian warga khawatir jika air tanah tak bisa lagi didapat. Solusi yang diambil warga pun adalah memperdalam sumur hingga membeli air di penjaja air. Dari penelusuran pemberitaan Kompas 2015, kasus-kasus kekurangan air tanah terjadi di Jakarta,Tangerang, dan Bekasi.
Meski sempat khawatir, masyarakat tidak juga tergerak melakukan upaya konservasi air tanah. Hasil jajak pendapat Kompas 2015 menunjukkan, sebagian besar warga (61,4 persen) belum berupaya menyimpan kembali cadangan air tanah. Padahal upaya membuat sumur resapan, sumur biopori, ataupun menyisakan lahan untuk lahan nonterbangun pun sudah merupakan upaya konservasi air tanah.
Nyatanya, pembangunan yang terus dilakukan di setiap jengkal lahan di Jakarta hanya menyisakan sedikit ruang terbuka hijau untuk areal penyerapan air. Sampai 2015, proporsi ruang terbuka hijau Jakarta baru mencapai 9,98 persen, belum bisa menjangkau target ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan 30 persen.
Pembangunan bangunan vertikal di Jakarta juga menimbulkan kekhawatiran bagi pasokan air tanah. Bangunan vertikal banyak dibangun di Jakarta untuk efisiensi lahan Jakarta yang terbatas. Namun karena PD PAM Jaya belum bisa memenuhi kebutuhan air baku secara menyeluruh, rata-rata bangunan vertikal menggunakan air tanah dalam sebagai persediaan air gedung meski secara aturan tidak dibenarkan.
Pemerintah menyadari hal tersebut dan sebagai langkah untuk membatasi penggunaan air tanah adalah penerapan pajak air tanah. Pajak air tanah telah diterapkan sejak 2005 dan aturannya terus diperbarui pada 2010 dan 2017. Namun, hal tersebut juga belum efektif untuk membatasi pengambilan air tanah.
Kenyataannya, masih ada beberapa pihak yang melakukan pengambilan air tanah dalam tanpa izin pada pemerintah untuk menghindari pajak. Petugas dari Dinas Tata Air yang bertugas mengawasi izin keberadaan sumur dalam pun jumlahnya terbatas. Tak hanya itu, pihak yang sudah mengantongi izin sumur dalam pun masih menunggak pembayaran pajak.
Krisis air bersih Jakarta ini bagaikan bom waktu yang bisa ”meledak” setiap saat. Mungkin sampai 10 tahun ke depan, air tanah bisa dengan mudah didapat. Meski belum bisa menjangkau 100 persen warga, air perpipaan masih tersedia. Namun jika warga Jakarta tidak bijak menggunakan air perpipaan dan air tanah, krisis air bersih benar-benar akan terwujud. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)