Dari 330 halaman novel menjadi film 120 menit. Itulah kisah Dilan, sang remaja yang tergabung dalam geng motor dan hubungan cintanya dengan Milea, seorang siswi pindahan dari Jakarta yang bertemu di Bandung pada tahun 1990-an sebagai latar belakangnya.
Novel berjudul Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 yang ditulis Pidi Baiq memang menuai kesuksesan hingga ada dua kelanjutannya, yakni Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1991 dan Milea: Suara dari Dilan.
Ekspektasi yang meluap untuk menyaksikan kisah percintaan yang memikat para pembaca agar bisa mengulangi sihirnya kepada para penonton bioskop memang cukup tinggi.
Pidi Baiq sebagai penulis pun tetap turun tangan dalam mengawasi produksi film yang melibatkan Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla sebagai pemain utama.
Film ini akhirnya menyapa layar bioskop pada tanggal 25 Januari. Dan bisa dibilang sihir yang diboyong penulis novel cukup efektif hingga film ini tetap dibicarakan hingga seminggu berikutnya.
Kesan yang muncul dari penonton umumnya positif. Hubungan Dilan dan Milea bahkan disebut sebagai kisah cinta remaja berikutnya setelah tokoh Rangga dan Cinta yang digambarkan dalam film Ada Apa Dengan Cinta? dan sekuelnya Ada Apa Dengan Cinta? 2.
Mungkin ada yang tidak cocok mendengarkan rayuan gombal yang dilancarkan Dilan kepada Milea, dialog yang klise, seolah tidak lagi relevan. Justru itulah pesona film yang bisa dinikmati secara ringan di tengah timbunan berita politik yang membuat kening berkerut.
Salah satu kutipan yang paling banyak diperbincangkan di linimasa terkait film Dilan adalah ”rindu itu berat, kamu takkan kuat, biar aku saja” yang cukup berkesan di benak penonton.
Berdasarkan pemantauan oleh layanan Keyhole, setidaknya ada 8.200 twit yang dicuitkan menggunakan tagar #Dilan1990 yang resmi dipakai untuk promosi film tersebut.
Saking terkenalnya, pengguna internet Indonesia pun dengan cerdik memplesetkan kutipan tersebut. Penggunannya pun beragam, mulai dari sekadar bersenang-senang, serius, hingga punya tujuan politik.
Bukan tanpa masalah, pembicaraan mengenai film Dilan juga masuk ke ranah politik saat popularitas film ini dimanfaatkan untuk promosi agenda sebuah partai politik. Pidi Baiq pun sampai harus memberikan klarifikasi.
Belum lagi setelah dia diundang sebagai pembicara untuk acara yang digelar oleh partai politik yang sama, makin besarlah dugaan itu sampai ada klarifikasi.
Tidak ketinggalan pula kampanye hitam yang menerpa Dilan berikut penulisnya, kali ini mengkaitkan sosok Dilan di dalam novel dengan aliran Syiah yang hingga kini masih mengalami persekusi di Indonesia. Asosiasi itu diduga berasal dari potongan cerita di dalam novel saat sang penulis menggambarkan isi kamar Dilan.
Pidi menempatkan poster Ayatullah Khomeini di dinding kamar Dilan pada novelnya. Informasi inilah yang kemudian dipakai untuk membentuk narasi bahwa Dilan mengidolakan Imam Besar Syiah di Iran.
Lantas dipelintir menjadi Dilan sebagai media penyebaran ajaran tersebut. Kampanye hitam ini bahkan sudah beredar melalui layanan perpesanan seperti Whatsapp. Lagi-lagi, Pidi harus membuat klarifikasi.
Besarnya perhatian publik terhadap film ini sebetulnya juga menunjukkan kerinduan publik Indonesia terhadap karya seni baik berupa teks ataupun film yang bisa memikat dengan sederhana. Dan Dilan bisa menjadi awalan yang baik.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.