Harta Mengejar Takhta, Takhta Mengejar Harta?
Muatan kata harta dan takhta dalam jalinan judul inversi di atas menjadi semakin signifikan dikaji relasi kausalitas keduanya. Apabila keduanya saling terkait, kekayaan menjadi modal dalam perburuan jabatan kepala daerah dan selanjutnya jabatan yang disandang dimaksudkan sebagai bekal menumpuk harta, jangan pernah berharap suksesi kepemimpinan dalam pemilihan kepala daerah kali ini menjadi jalan keluar bagi pencapaian kesejahteraan daerah.
Persoalannya, apakah bertautnya harta dan takhta tersebut sudah menjadi gambaran nyata dalam postur calon kepala daerah yang akan berkontestasi dalam waktu dekat ini? Tentu saja, semua proposisi di atas saat ini masih bersifat hipotetik. Belum menjadi suatu konklusi, masih perlu diuji dalam perjalanan kepemimpinan para kepala daerah yang memenangi kontestasi tersebut.
Akan tetapi, becermin pada fakta sebelumnya, cukup beralasan jika tautan harta dan takhta perlu disikapi secara pesimistik. Sebagai gambaran, Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK), 11 Desember 2017, mengungkapkan, sudah 12 gubernur serta 64 bupati dan wali kota ditangkap akibat kasus korupsi.
Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa selama 11 tahun terakhir sedikitnya 18 gubernur dan 78 kepala daerah berurusan dengan KPK. Lebih dramatis lagi, catatan Kementerian Dalam Negeri dalam kurun waktu 2004-2017, sebanyak 392 kepala daerah tersangkut kasus hukum, terbanyak 313 kasus korupsi.
Dalam ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 daerah kali ini menarik diuji, apakah sosok-sosok pemimpin yang dihasilkan tidak banyak berbeda dengan kasus-kasus korupsi yang dialami para kepala daerah pada masa-masa sebelumnya.
Pada pilkada kali ini, sebanyak 1.148 calon mendaftar menjadi calon kepala daerah ataupun wakilnya, baik pada jenjang provinsi maupun kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut, KPK telah menerima dan memverifikasi laporan harta kekayaan para calon.
Berdasarkan data KPK, rata-rata harta kekayaan 58 calon gubernur sebesar Rp 21 miliar, sementara wakilnya rata-rata Rp 18 miliar. Pada level calon bupati atau wali kota, rata-rata kekayaan calon lebih rendah, yaitu Rp 12 miliar pada calon wali kota dan Rp 8 miliar bagi calon bupati. Wakil wali kota sebesar Rp 6 miliar dan wakil bupati sebesar Rp 5 miliar.
Sebaran kekayaan
Gambaran lebih jelas dari distribusi sebaran kekayaan para calon kepala daerah terpaparkan pada Tabel 1 berikut ini. Kurang dari seperlima (18,39 persen) saja kepala daerah yang punya kekayaan di bawah Rp 1 miliar.
Dalam kelompok ini, sosok yang tergolong berharta minus Rp 115,2 juta pun ada, merujuk pada Syapuani, calon bupati Murung Jaya, yang menempatkan sosok ini sebagai calon paling tidak berharta. Terdapat pula Sirajudin Paskalis, calon wakil bupati Manggarai Timur dengan harta minus Rp 94,8 juta.
Di sisi lain, lebih dari separuh calon kepala daerah berharta kekayaan di atas Rp 1 miliar hingga di bawah Rp 10 miliar. Kelompok ini merupakan yang terbesar. Selain itu, satu dari lima calon kepala daerah tergolong sangat makmur, dengan harta kekayaan berkisar Rp 10 miliar hingga Rp 100 miliar.
Bahkan, dalam daftar harta kekayaan calon kepala daerah, terdapat pula lima sosok yang berharta di atas Rp 100 miliar! Terkaya, calon wakil gubernur Sumatera Utara, Sihar PH Sitorus, dengan harta Rp 350,9 miliar.
Selanjutnya, Andi Ikhzan A Mutthalib, calon wali kota Palopo memiliki harta Rp 205,1 miliar. Andi M Nurdin Halid calon gubernur Sulsel dengan harta Rp 167,9 miliar, Arsyadjuliandi Rachman calon gubernur Riau dengan harta Rp 149,5 miliar, dan Moch Anton calon wali kota Malang yang berharta Rp 113,3 miliar.
Jika dielaborasi berdasarkan jenjang jabatannya, calon-calon gubernur dan wakilnya jelas lebih berharta dibandingkan dengan calon bupati ataupun wali kota. Hanya empat calon dari 115 calon gubernur dan wakil gubernur (3,48 persen) yang terdata memiliki kekayaan di bawah Rp 1 miliar.
Proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan proporsi calon bupati atau wali kota bersama wakilnya, di mana tercatat sebanyak 20 persen calon berharta di bawah Rp 1 miliar.
Sebaliknya, proporsi calon gubernur dan wakilnya yang berharta pada kisaran Rp 10 miliar-Rp 100 miliar (43,5 persen) jauh lebih besar dibandingkan dengan calon bupati, wali kota dan wakilnya (19,4 persen).
Berdasarkan data tersebut, tidak terbantahkan bahwa para calon kepala daerah rata-rata kalangan ”berharta”. Harta kekayaan yang dikuasai jauh di atas rata-rata dan sebaran jumlah kekayaan umumnya rakyat di negeri ini.
Begitu pula, fakta menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang kepemimpinan yang diperebutkan, semakin banyak diisi oleh kalangan yang lebih ”berharta” kekayaan miliaran rupiah.
Bagaimana selanjutnya memaknai fakta-fakta distribusi sebaran kekayaan para calon kepala daerah tersebut?
Jika harta kekayaan menjadi variabel signifikan yang menentukan kemenangan, esensi pilkada sebagai ajang kemunculan para pemimpin daerah menjadi tidak lagi ideal. Kekayaan menjadi entry barrier yang menghalangi hak-hak tiap warga negara untuk dipilih atau menjadi pemimpin. Kesan semacam ini sudah menjadi pemandangan umum.
Persoalan mahar politik pencalonan partai, misalnya, menjadi persoalan rutin tiap penyelenggaraan pemilu, yang semakin melegitimasikan anggapan high cost politics di negeri ini.
Lebih parah lagi, sebagaimana yang selalu menjadi temuan dan rujukan KPK, bahwa tingginya biaya politik pada tiap-tiap ajang pilkada punya kaitan terhadap kecenderungan perilaku korup saat menjalankan pemerintahan.
Pada sisi sebaliknya, kekayaan dapat pula menjadi variabel yang turut menopang keberhasilan dari jalannya kepemimpinan. Argumentasinya, semakin makmur kehidupan seseorang, semakin rendah beban pemenuhan kebutuhan material sosok calon tersebut.
Tokoh calon kepala daerah yang tergolong berharta kekayaan miliaran rupiah idealnya semakin terfokus pada tuntutan-tuntutan daerah ketimbang tuntutan material individunya.
Pandangan terakhir menjadi angin segar bagi rata-rata calon kepala daerah Pilkada 2018 yang mayoritas berharta kekayaan miliaran rupiah.
Kehadiran sosok-sosok ”miliarder” ini idealnya merupakan kalangan yang tidak lagi berpikir bahwa takhta jabatan yang kelak disandang sebagai jalan bagi peningkatan harta kekayaan. Takhta lebih banyak diberdayakan sebagai jalan untuk semakin memakmurkan daerah dan warganya.
Kekayaan daerah
Di samping besar kecilnya harta kekayaan calon pemimpin, faktor-faktor potensi kekayaan tiap daerah yang dipimpin juga menarik dikaji tautannya. Data harta kekayaan calon kepala daerah yang dipublikasikan KPK dan berbagai data terkait kondisi ekonomi daerah yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dipetakan dalam empat pengelompokan.
Pertama, merupakan kelompok wilayah dengan tingkat kemakmuran relatif ”rendah”, yang pada ajang pilkada kali ini diperebutkan para calon berharta kekayaan juga ”rendah”.
Pada kelompok ini, terdapat provinsi Jawa Tengah, Lampung, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Harta kekayaan para calon gubernur dan wakilnya tergolong rendah jika dibandingkan dengan calon kepala daerah pada provinsi-provinsi lainnya.
Sebagai gambaran, di Lampung, Muhammad Ridho Ficardo menjadi calon gubernur paling kecil hartanya. Kekayaan calon petahana tersebut hanya sekitar Rp 1 miliar, jauh di bawah calon gubernur Lampung lainnya dengan kekayaan sekitar Rp 10 miliar.
Sementara Lampung jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di negeri ini tergolong kurang spektakuler pengelolaan ekonominya. Tahun 2016, PDRB Lampung sekitar Rp 2,8 triliun atau sebesar Rp 34,3 juta per kapita. Jumlah tersebut masih di bawah rata-rata Indonesia, Rp 47,9 juta.
Kedua, merupakan kelompok wilayah yang sebaliknya terjadi, yaitu tergolong wilayah makmur, di atas rata-rata ekonomi wilayah lainnya di negeri ini. Di samping itu, pada daerah ini pun bersaing para calon gubernur dan wakil gubernur dengan tingkat kekayaan yang tergolong tinggi. Provinsi Riau dan Papua masuk dalam kelompok ini.
Di Papua, misalnya, petahana Lukas Enembe menjadi yang terkaya, dengan harta Rp 21,4 miliar. Begitu pula calon wakil gubernur Habel M Suwae yang berharta Rp 21,1 miliar.
Papua sendiri merupakan wilayah yang secara potensi ekonomi relatif kaya. Namun, pada 2016, tingkat kemiskinan Papua 27, 6 persen, menjadi yang terbesar di negeri ini.
Ketiga, kelompok wilayah yang tergolong makmur, tetapi dalam pilkada mendatang diperebutkan oleh calon-calon kepala daerah dengan harta kekayaan di bawah rata-rata.
Pada kelompok ini, hanya diisi Provinsi Kalimantan Timur. Kecuali pada calon gubernur Isran Noor yang memiliki harta sekitar Rp 17,3 miliar dan Awang Ferdian Hidayat sebagai calon wakil gubernur dengan kekayaan Rp 21,1 miliar, calon gubernur lainnya memiliki harta relatif lebih kecil.
Keempat, kelompok daerah yang termasuk wilayah kurang makmur, tetapi diperebutkan oleh para calon kepala daerah dengan harta kekayaan di atas rata-rata. Kelompok ini menjadi yang terbanyak, di antaranya Provinsi Sumut, Sumsel, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, NTB, NTT, Sulsel, dan Maluku Utara.
Dari keempat kelompok tersebut, menarik dicermati wilayah-wilayah yang termasuk kurang makmur, tetapi pada wilayah ini bertarung calon-calon kepala daerah yang tergolong kaya raya. Apabila tingginya kekayaan tiap calon memberikan jaminan tidak terjadinya potensi korupsi dengan jabatan yang disandangnya, pilkada kali ini memberikan dampak positif bagi daerah tersebut.
Kepala daerah yang terpilih dapat lebih fokus pada upaya memperkuat kemajuan daerah dibandingkan dengan upaya memperkaya diri yang selayaknya sudah tidak lagi menjadi orientasi hidupnya.
Begitu pula bagi daerah-daerah yang tergolong makmur yang bakal dipimpin oleh para calon yang tergolong sudah makmur. Namun, jika kondisi sebaliknya yang terjadi, pilkada kali ini tidak banyak berbeda dengan berbagai ajang kontestasi sebelumnya, yang cenderung menguatkan anggapan jabatan sebagai sarana menumpuk lebih banyak lagi harta kekayaan. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)