Syarat Guru Zaman ”Now”: Pintar Bela Diri!
Syarat guru ”jaman now”: 1. Berijazah sarjana pendidikan (untuk memajukan kualitas); 2. Berijazah sarjana hukum (untuk menghadapi tuntutan wali murid); 3. Berijazah bela diri (untuk duel dengan siswa ndableg).
Teks di atas adalah bagian dari meme yang beredar hari-hari ini di media sosial. Meme berwarna hijau itu disebar oleh sejumlah akun di Instagram juga—terutama--di aplikasi layanan obrolan WhatsApp, akhir pekan lalu dan terus diunggah ulang hingga awal akhir pekan ini.
Tentu saja, isi meme itu berlebihan. Guru memang dituntut untuk menguasai ilmu yang diajarkannya serta mampu mengajar dengan baik kepada para siswa. Namun, tidak setiap guru mesti sarjana hukum, apalagi ahli bela diri—kecuali bertugas mengajar dua hal tersebut.
Lantas, kenapa ungkapan satire guru mesti pintar bela diri muncul dan banyak diposting? Ini semacam sindiran warga internet (warganet) atas kasus tragis yang dialami Budi Cahyono (27). Guru honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur, itu dianiaya muridnya sendiri yang berinisial MH dan akhirnya meninggal di Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, Kamis (1/2) malam.
https://kompas.id/baca/nusantara/2018/02/02/guru-meninggal-diduga-dianiaya-siswa/
Mengutip penjelasan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera, Jumat (2/2/2018), Budi mengajar mata pelajaran seni rupa di kelas XI sebagaimana biasa. Guru itu melihat salah satu muridnya, MH, tidur dan tidak mendengarkan pelajaran yang disampaikannya.
Budi menegur MH, tapi diabaikan, bahkan MH justru mengganggu siswa lain dengan mencorat-coret lukisan teman-temannya. ”Akhirnya korban menindak siswa tersebut dengan mencoret pipi MH,” kata Barung.
Tidak terima, MH serta-merta memukul pelipis Budi hingga tersungkur. Siswa lain di kelas melerai keduanya. Tak brhenti di situ. Sepulang sekolah, MH mencegat Budi. Dia kembali menganiaya gurunya itu.
Tiba di rumah, Budi mengeluh lehernya sakit. Dia lantas tidak sadarkan diri dan dibawa ke RS Dr Soetomo. ”Diagnosa dokter, korban mengalami mati batang otak,” kata Barung.
Publik marah
Publik, sebagaimana tecermin dari ekspresi warganet, geram atas kasus tersebut. Meme tentang guru mesti ahli bela diri tersebut mewakili aspirasi kegeraman itu. Bagaimana tidak marah? Guru mengajari murid agar mengerti pengetahuan atau terampil melakukan sesuatu.
Sosok seperti itu selayaknya dihargai karena meningkatkan sumber daya manusia. Tak berlebihan jika kemudian populer jargon, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Namun, tidak hanya mengabaikan semangat tersebut, siswa berinisial MH di Sampang itu justru berlaku kebalikannya secara ekstrem. Dia menganiaya gurunya sendiri sehingga akhirnya meninggal. Publik yang marah lantas melontarkan meme bahwa guru juga mesti pintar bela diri. Dengan bekal itu, guru bakal siap membela diri jika ada murid bandel yang gemar main pukul.
Beragam reaksi serupa ditunjukkan warganet di media sosial. Maka, bersamaan dengan pemakanan Budi, Jumat (2/2/2018) siang-sore, time line (lini masa) media sosial, seperti Twitter, Facebook, atau Instagram, diwarnai hujatan terhadap siswa yang dinilai kurang ajar itu.
Di Twitter, misalnya, terdapat 770 kicauan (tweet) dan 77 kicau ulang (retweet) dengan kata kunci ”Guru Tewas Dianiaya”. Sebagian besar (67 persen) diunggah oleh warganet perempuan dan 33 persen laki-laki. Kicauan itu paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah.
Apa saja isi postingan itu? Dalam beragam kalimat atau gambar, semuanya mengutuk MH. Tak cukup begitu, warganet juga menyerang akun Instagram milik MH dengan berbagai ungkapan kemarahan, kecaman, dan kutukan. Foto-foto selfie di linimasa Instagram-nya dibanjiri komentar yang menyerang.
Simpati
Selain kemarahan, tragedi Budi juga memicu simpati luas. Setelah guru itu meninggal, akun @Kemdikbud_RI menyatakan dukacita menadalam. ”Kami turut berdukacita atas meninggalnya guru SMAN 1 Torjun, Ahmad Budi Cahyono. Semoga amal ibadah almarhum diterima sebagai amal jariyah di sisi-Nya.”
Itu ditegaskan lagi dengan mengutip Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, disertai gambar bunga ucapan bela sungkawa. ”Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan belasungkawa atas wafatnya guru SMPN 1 Torjun, Sampang, alm Ahmad Budi Cahyono.”
Simpati berdatangan dari publik. Akun @naufannoord mengunggah tiga poster #GuruBudi di Instagram. Catatnya, ”Guru Budi dihabisi karena mendidik. Jangan ada lagi pelajar rasa petinju tak ber-budi.”
Sekjen Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (PBNU) Ahmad Helmy Faishal Zaini, lewat akun @Helmy_Faishal_Z mengungkapkan, ”Duka yang mendalam untuk Guru Budi, Sampang Madura yg meninggal dianiaya oleh muridnya sendiri. Sebuah perilaku sangat keji dan tercela. Murid membunuh gurunga sendiri. Selamat jalan Guru Budi.. doa kami menyertaimu..”.
Di tengah duka itu, muncul rekaman Budi saat memainkan biola, sebagaimana diunggah di Instagram.
Hal serupa diposting Mohammad Mustaqim di Youtube.
Video ini juga beredar luas melalui aplikasi Wathsapp dan Facebook. Banyak orang membuat status, ”Duka Budi, duka guru kita,” katanya.
Tragedi Budi semakin miris lantaran almarhum diketahui meninggalkan seorang istri yang hamil empat bulan. Masyarakat mengkhawatirkan kondisi sang istri yang hamil muda dan bayi yang dikandungnya itu.
Pelajaran
Kepolisian bergerak cepat dengan menetapkan MH sebagai tersangka dan terancam hukuman 7 tahun penjara. Sebagaimana diberitakan Kompas, Selasa (6/2/2018), Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera di Surabaya, mengatakan, polisi berpegang dua alat bukti dalam kasus ini.
Ada hasil visum dari Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, dan keterangan saksi yang melihat kejadian penganiayaan tersebut. MH dijerat Pasal 351 Ayat 3 tentang tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Berita terkait: Penganiaya Jadi Tersangka:
https://kompas.id/baca/utama/2018/02/06/penganiaya-jadi-tersangka/
Publik sangat berharap, polisi menindak MH seadil-adilnya. Tersangka yang berusia 17 tahun masih di bawah umur sehingga mendapat pendampingan hukum dari sejumlah pihak, antara lain dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sampang.
Namun, hukuman tegas harus ditegakkan untuk memberi keadilan bagi korban dan keluarganya serta menjadi pelajaran bagi khalayak luas.
Harapan itu diungkap warganet. Salah satunya, akun @dewahoya di Twitter. Katanya, ”Semoga siswa pelaku yang telah menghilangkan nyawa Pak Guru Budi Cahyono bisa dihukum seadil-adilnya, ya.”
Di luar proses hukum, kasus Budi diharapkan menjadi pelajaran bagi dunia pendidikan di Indonesia, terutama dengan mencermati dan membedah kasus itu secara lebih rinci. Hasilnya diharapkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berikut ini.
Bagaimana sebaiknya seorang guru menangani siswa yang bandel di kelas, bahkan melawan saat diperingatkan? Apa yang mesti dilakukan sekolah untuk menjaga disiplin para siswanya? Kenapa ada siswa yang demikian marah kepada gurunya, kehilangan kontrol diri, sehingga memukuli gurunya sendiri? Jika ditemukan tanda-tanda kekerasan terhadap guru, bagaimana kita melindungi guru saat mengajar?
Jawabannya tentu tidak bisa instan. Kita menunggu penelitian lebih lanjut di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Torjun, Sampang, pendalaman atas pengakuan MH, kesaksian para siswa, juga keterangan dari para guru di sekolah tersebut. Kesaksian mereka akan bisa lebih memperjelas kondisi, penyebab, dan atmosfer sekolah yang memungkinkan tragedi itu bisa terjadi.
Secara umum, bisa diduga, tampaknya ada sesuatu yang kurang tepat dalam penanganan anak yang tidak disiplin di sekolah itu. Siswa itu tidak berpandangan bahwa guru adalah sosok yang sepatutnya dihormati karena mengajarkan ilmu dan keterampilan, semacam perwakilan orangtua saat di sekolah. Bagaimana MH bisa tumbuh dengan karakter demikian? Jawabnya barangkali tak sepenuhnya berasal dari lingkungan sekolah.
Perlu juga ditelisik lebih jauh kondisi keluarga dan lingkungan tempat siswa itu tumbuh. Barangkali saja dia berkembang dalam pengaruh nilai yang mengabaikan penghormatan pada guru. Banyak warganet mempertanyakan, apakah orangtua MH mendidik anaknya untuk menghargai guru yang mengajarnya?
Namun, bisa jadi ada faktor-faktor tambahan yang bakal terungkap kemudian. Kita juga bisa mempertanyakan pada diri sendiri, jangan-jangan MH menjadi beringas semacam itu gara-gara kerap terpapar kekerasan yang setiap hari memenuhi koran, televisi, atau media sosial?
Jangan-jangan perilaku MH adalah cerminan yang ekstrem dari kekerasan yang dipertontonkan sebagian orang dewasa? Lihat saja, dalam berbagai peristiwa krimimal, seseorang bisa nekat membentak, memukul, bahkan membunuh hanya dipicu hal-hal sepele. Pertanyaan serupa bisa diperpanjang sebagai refleksi, seberapa apik peradaban yang dibangun manusia dewasa bagi anak-anak.
Yang jelas, kita tidak ingin tragedi guru Budi terulang di mana pun juga. Cukuplah guru di Sampang itu menjadi martir bagi guru-guru yang kebetulan menghadapi masalah serupa di daerah lain. Kekerasan semacam itu harus dicegah dengan mendeteksi gejalanya dan menanganinya lebih dini.
Mengutip seritweet di Twitter oleh akun @Kemdikbud_RI, profesi guru jelas mendapat perlindungan. Salah satunya berdasarkan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017. Pendidik dan Tenaga Kependidikan mendapatkan perlindungan dalam menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas.
Perlindungan itu mencakup perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan, dan/atau hak atas kekayaan intelektual. Dalam perlindungan hukum, pendidik dan tenaga kependidikan mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan/atau perlakuan tidak adil.
Tak hanya mengungkapkan aturan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya serius mengawal kasus ini sampai ujungnya. Temukan fakta-fakta lapangan yang bisa menjawab banyak pertanyaan terkait tragedi itu dan tangani masalahnya sampai tuntas. Perlu juga menandai gejala-gejala sejenis yang mungkin saja terjadi di sekolah lain atau di daerah lain sehingga bisa diantisipasi lebih awal.
Tragedi Budi patut menjadi refleksi bagi kita semua. Kepala sekolah, guru, juga orangtua mesti bekerja sama untuk mendidik anak-anak. Mereka akan tumbuh sesuai dengan didikan di sekolah, keluarga, dan lingkungannya. Publik juga perlu turut bersama mengawasi praktik belajar-mengajar di sekolah di lingkungan masing-masing. Jika gerakan semacam itu tak dilakukan, barangkali saja tragedi serupa guru Budi bakal terulang, lalu meme bahwa guru mesti menguasai bela diri kembali ramai di media sosial.