Alternatif Penyelamatan Jurnalisme 2.0
Menarik mencermati pandangan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam pidato Hari Pers Nasional, 9 Februari 2018, di Kota Padang. Ia tidak percaya terhadap prediksi keruntuhan media massa mainstream yang digeser oleh media sosial. Ia justru percaya, di tengah era melimpahnya informasi, pers justru semakin dibutuhkan untuk menjadi penegak penyampaian kebenaran, sebagai pilar penegak fakta, sebagai pilar penegak aspirasi masyarakat.
Secara substansial, pandangan Presiden Jokowi adalah bentuk dukungan terhadap pelaku jurnalisme di negeri ini. Bagaimana tidak, sudah dua dekade terakhir kehidupan jurnalistik dan sistem media di negeri ini diterjang badai krisis. Mari kita telisik apa yang terjadi.
Bermula dari suatu kebahagiaan. Revolusi Mei 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru berhasil mewujudkan regulasi dan praktik kebebasan pers yang sebelumnya diidam-idamkan. Mengapa menjadi kerinduan? Pada era Orde Baru, jurnalisme dan segenap sistem media yang menaunginya tersentral pada kekuasaan negara. Memahami kondisi pers saat itu, Dhakidae (1991) menggambarkannya sebagai hubungan triangular antara negara, kapital, dan jurnalisme. Negara sebagai pusat dari kapital ataupun akumulasi kapital yang dengan kebijakannya mengendalikan jurnalisme dan sistem media di negeri ini.
Dalam praktiknya, negara bertindak dualistik. Di satu sisi, memberikan kemudahan dan proteksi ekonomi kepada pers. Di sisi lain, secara politik negara menjadi patron. Hasilnya, secara ekonomi pers Indonesia menjadi suatu industri, tumbuh secara signifikan, bahkan mewujud dalam bentuk konglomerasi. Namun, secara politik, terjadi dekapasitasi fungsi dan peran pers. Idealisasi fungsi dan peran politik pers tenggelam. ”The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism”, judul karya Dhakidae yang menggambarkan secara akurat kehidupan jurnalisme era Orde Baru.
Kabar baik Revolusi Mei 1998 berupa lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Produk perundangan tersebut berubah drastis dibandingkan dengan UU No 21 Tahun 1982 yang digantikannya. Terjadi perubahan paradigmatik dengan menempatkan media sebagai institusi yang memiliki kadar independensi yang besar, baik dari sisi tugas, hak, wewenang, fungsi pers, dari sisi kehidupan pekerja pers, maupun dari sisi institusi kelembagaan pers dalam menjalankan kehidupan bisnis industrialnya. Inilah fase liberalisasi media.
Dampaknya, entry barriers perizinan dalam media cetak runtuh. Dalam catatan Departemen Penerangan (1998), jika pada tahun 1997 hanya terdapat 289 media cetak, 379 penyiaran radio, dan 5 stasiun televisi, satu dasawarsa kemudian menjadi 851 media cetak, 1.022 media radio, dan 10 media televisi. Catatan terakhir Dewan Pers (2015), setidaknya terdapat 320 media cetak, 674 media radio, dan 523 stasiun televisi nasional, lokal, ataupun jaringan.
Catatan data media menunjukkan liberalisasi mendorong kehadiran pelaku-pelaku baru dalam industri media. Sayangnya, grafik pertumbuhan tidak meningkat linear. Pada media cetak, khususnya, justru pertumbuhan negatif yang kini dihadapi. Penurunan jumlah terbitan berpangkal pada susutnya jumlah pembaca media. Survey Audience Readership yang dilakukan secara periodik oleh Nielsen Media membuktikannya.
Semenjak tahun 2008 hingga 2015, secara konsisten pembaca surat kabar di delapan kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Denpasar, rata-rata sudah menyusut hingga 40 persen. Jika pada tahun 2008 terdapat sekitar 10,5 juta pembaca, tahun 2014 tinggal 6,2 juta. Dengan sumber data yang sama, dapat diprediksi tahun ini jumlah pembaca pada kisaran 4 juta.
Itulah mengapa dapat dipahami bahwa para pelaku utama pasar media cetak di sejumlah daerah yang sebelumnya ”berjaya” kini beranjak pupus. Kisah Pikiran Rakyat yang identik dengan Jawa Barat, Suara Merdeka dengan Jawa Tengah, Kedaulatan Rakyat dengan Yogyakarta, Waspada dengan Sumatera Utara, dan beberapa pelaku industri surat kabar daerah mulai redup.
Selanjutnya, pelaku industri bersifat nasional yang menghadirkan dua raksasa media cetak, Grup Jawa Pos dan Kompas Gramedia, ikut terpengaruh. Semua fakta demikian semakin sejalan dengan prediksi Philip Mayer dalam bukunya The Vanishing Newspaper (2004) yang menyatakan edisi akhir surat kabar diperkirakan pada tahun 2043.
Siapa pun akan sepakat, penyusutan drastis terbitan dan jumlah pembaca adalah persoalan medium. Artinya, teknologi dan khususnya perubahan teknologi komunikasi dan informasi menjadi determinan keruntuhan. Teknologi mengubah medium, dan selanjutnya medium mengubah perilaku dalam memproduksi dan mengonsumsi karya jurnalistik. Jadi, bertahan dalam medium konvensional adalah melawan perubahan, yang parahnya melawan suatu keniscayaan.
Idealnya, tranformasi medium terjadi. Roger Fidler (1997) mengenalkan istilah ”mediamorfosis” yang merujuk pada perubahan bentuk media sebagai bagian dari proses adaptasi. Bentuk adaptasinya berupa suatu transformasi dari suatu bentuk medium ke bentuk lain yang berkelanjutan (koevolusi) tanpa menegasikan eksistensi dari bentuk sebelumnya (koeksistensi). Dengan demikian, model transformasi yang terbentuk menjadi suatu entitas baru yang tunggal (konvergensi).
Namun, adaptasi medium tampaknya bukan jawaban tunggal. Dapat dipastikan, hampir tiap-tiap pelaku industri media berorientasi pada model transformasi semacam ini. Bahkan, perubahan medium diikuti pula oleh model-model pengintegrasian organisasi dalam format konvergensi media. Akan tetapi, dampak yang menyertai pola transformasi medium tidak juga mampu menjawab keresahan tiap-tiap pelaku industri.
Parahnya, apabila pada masa awal liberalisasi ekonomi dan politik pers, krisis yang berlangsung sebatas pada perubahan keseimbangan supply and demand pada pasar informasi dan selanjutnya memengaruhi struktur industri media yang melandasinya. Saat ini yang terjadi lebih jauh lagi, hingga memorakporandakan lini eksistensial jurnalisme.
Perubahan teknologi jauh sekadar perubahan medium. Teknologi (digitalisasi media) mengubah esensi karya jurnalistik yang tidak lagi sepenuhnya menjadi domain organisasi pers ataupun perusahaan pers. Teknologi mengaburkan batasan institusi dan individu, sekaligus menghancurleburkan konsepsi produsen ataupun konsumen informasi. Siapa pun, hingga pada level individu sekalipun, dalam konsepsi digital media menjadi produsen sekaligus konsumen informasi, termasuk karya jurnalistik. Kehadiran media internet, yang diperkirakan oleh Dewan Pers (2017) mencapai 43.000 portal online dan 40 persen penduduk negeri ini pengguna media sosial adalah indikasi bagaimana ekosistem informasi (termasuk karya jurnalistik) sudah semakin padat.
Porak porandanya sisi eksistensial jurnalisme berlangsung pada setiap aspek. Dari sisi ideal-fungsional, terlalu tinggi ekspektasi terhadap jurnalisme sebagai penyampai kebenaran (yang terverifikasi), sebagai pilar penegak fakta, dan juga sebagai pilar penegak aspirasi masyarakat. Kebenaran menjadi semakin relatif, fakta menjadi semakin kabur, dan penegak aspirasi masyarakat menjadi semakin condong pada pemenuhan aspirasi kelompok. Pada level praktik-institusional pun, jurnalisme menjadi semakin tegas sisi keindustriannya, yang menempatkan kapital media sebagai sarana bagi penciptaan surplus nilai berkelanjutan.
Dalam kondisi semacam ini, editorial firewall yang memisahkan independensi sisi editorial dan bisnis secara tegas tidak lagi tampak. Media cetak menjadi semakin tidak berbeda dengan leaflet produk ataupun informasi pemilik media. Itulah mengapa jika kekinian produk jurnalistik yang dihasilkan cenderung tidak lagi tampak pembedanya antara produk-produk jurnalistik media mainstream dan kreasi media sosial.
Jika Presiden Jokowi tidak percaya keruntuhan media mainstream dalam kepungan media sosial semacam ini dan masih memercayai pers sebagai penegak kepentingan masyarakat, dapatkah dikatakan suatu utopia?
Persoalan media di negeri ini tidak sendirian memang. Belahan global juga diterjang kondisi yang lebih kurang sama. Malah, Amerika Serikat yang kerap menjadi rujukan jurnalisme dan kehidupan ekonomi politik industri media pun lebih dahulu limbung. Hampir mendekati satu generasi sudah mereka menghadapinya. Satu dekade terakhir, kondisi menjadi semakin runyam. Krisis ekonomi AS tahun 2007 dan tekanan-tekanan ekonomi global tahun-tahun selanjutnya semakin memperparah jurnalisme dan ekonomi industri media.
Badai jurnalisme yang terjadi, oleh Robert W McChesney, pakar ekonomi politik komunikasi University of Illinois, dalam bukunya yang banyak menjadi rujukan: The Political Economy of Media: Enduring Issues, Emerging Dilemmas (2008) menyebut sebagai ”critical juncture”. Suatu momen kritikal, di mana sistem media yang ada (konvensional) beranjak kolaps dan tergantikan oleh yang baru.
Kondisi demikian dianggap rawan. Terlebih jika dikaitkan dengan ancaman terhadap nilai-nilai esensial jurnalisme. Itulah mengapa, tahun 2007, muncul sebuah artikel, ”The Uncle Sam Solution”, dalam Columbia Journalism Review yang ditulis Bree Nordenson, menjadi pemantik alarm bagi kehidupan media. Sedemikian parahnya ancaman, Nordenson dalam artikel tersebut beranggapan, sudah saatnya pemerintah ikut berperan dalam memperbaiki kondisi keterpurukan.
Sekalipun banyak penentangan, menganggap bahwa bantuan pemerintah dalam kehidupan pers bukan gaya Amerika dan upaya tersebut tidak lebih sebagai suatu undangan terhadap tirani, di antara para pakar pun mulai melirik perlunya ruang di mana pemerintah ikut terlibat membantu penyelematan jurnalisme dan sistem media. Bahkan, tahun-tahun belakangan ini, perdebatan campur tangan pemerintah dalam penyelematan jurnalisme tidak lagi pada persoalan perlu atau tidak kehadiran pemerintah, tetapi cenderung pada peran atau bantuan apa yang patut diberikan.
Menariknya, dalam buku Will the Last Reporter Please Turn out The Lights: The Collapse of Journalism and What Can Be Done to Fix it (2011), McChesney dan Pickard juga menyampaikan bagaimana kalangan pemikir ”free market” di Washington pun mulai menyarankan pemerintah untuk memperlunak standar antitrust, memainkan instrumen penurunan pajak korporasi, mengizinkan komersialisasi dan konsentrasi pasar, sesuatu yang ditentangnya.
Dalam konteks demikian, di negeri ini penyelamatan jurnalisme bukan hanya persoalan besarnya keyakinan akan tetap berperannya media mainstream. Dukungan nyata dalam berbagai instrumen yang menjadi wewenang pemerintah diperlukan dalam memperingan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi media. Namun, tidak berarti pula membuka ruang kehadiran negara layaknya era jurnalisme sebagaimana yang digambarkan Dhakidae era Orde Baru.
Kehadiran negara paling utama terkait dalam kehidupan ekonomi industri media. Instrumen perpajakan, misalnya, apakah patut menjadi sama pembebanan bagi produk-produk ataupun jasa yang berbasis pada pengetahuan menyandang beban sebagai penegak kebenaran, fakta, dan aspirasi masyarakat dengan produk barang dan jasa lainnya. Begitu pula, sekalipun dipersamakan, apakah suatu keadilan jika kehadiran media berbasis teknologi digital global lebih leluasa mendapat ruang tanpa pembebanan kewajiban perpajakan yang setimpal.
Di balik perlunya dukungan konkret pemerintah, tetap saja jurnalisme adalah domain jurnalis, media, dan segenap stakeholder-nya. Penyelamatan jurnalisme dalam tekanan digital adalah penyelamatan diri. Persoalannya, apa yang patut dilakukan?
Sejarah menjadi catatan menarik dalam menuntun langkah. Periode 1920-1925, Walter Lippmann memublikasikan tiga buku yang menginvestigasi hubungan teoretik antara demokrasi dan pers. Dalam karyanya itu, Lippmann mengangkat status jurnalis yang lebih tinggi sebagai profesi yang signifikan perannya dalam kehidupan berdemokrasi. Tidak cukup sampai di situ, dalam salah satu bukunya yang terkenal, Public Opinion, ia menawarkan kreasi pemikiran bagaimana tiap-tiap warga dapat mengakses tiap-tiap informasi yang dibutuhkan guna penilaian terhadap berbagai aksi kebijakan pemerintah pada masyarakat. Intinya, tiap-tiap warga harus punya kesempatan yang sama dalam menyatakan penilaian ataupun opini terhadap pemerintah. Di kemudian hari, model opini publik Lippmann menjadi salah satu dasar bagi keberadaan survei opini publik di berbagai pemberitaan media.
Model opini publik Lippmann mendapat sanggahan John Dewey pada tahun 1927 dalam bukunya The Public and Its Problems. Dewey beranggapan, opini publik Lippmann layaknya sebuah poll, tidak lebih sebagai penjumlahan opini dari setiap warga. Sebagai solusinya, Dewey menempatkan opini publik layaknya sebagai suatu grup diskusi yang lebih mengakomodasi sisi kolaborasi dan percakapan.
Eric Alterman, profesor jurnalisme di Brooklyn College yang juga kolumnis berbagai media di AS, menggunakan dua model teoretik opini publik Lippmann dan Dewey sebagai gambaran ketegangan yang kini terjadi antara media mainstream dan penantangnya, media-media berbasis teknologi digital. Di jurnalisme konvensional, yang mengusung konsepsi media massa, layaknya model opini publik Lippmann, agregasi fakta menjadi jalinan informasi yang terpublikasikan.
Dalam model agregasi semacam itu, informasi berjalanan searah dan cenderung monolog. Audiens diposisikan pasif. Sementara jurnalis, dalam sistem media massa, sebagai sosok yang paling berperan dalam merangkai fakta. Sayangnya, di saat teknologi digital memungkinkan setiap pihak memproduksi informasi, saat itu pula media massa dalam ancaman.
Sebaliknya, Dewey menawarkan model penciptaan opini publik yang kental unsur dialognya. Kolaborasi menjadi titik kunci dalam informasi yang terwujud. Bentuk-bentuk media digital setidaknya mengadopsi model kerja demikian. Akan tetapi, sebagaimana yang tampak, model demikian cenderung tergiring menjadi chaotik. Media sosial dan model-model platform jurnalisme warga dalam banyak kasus merupakan contoh-contoh dari kesimpangsiuran.
Di antara dua model yang terpilah itulah, dimungkinkan kehadiran ruang intermediasi baru. Dalam hal ini, jurnalisme tidak semata-mata menjadi suatu kegiatan penciptaan informasi yang ditopang oleh prinsip-prinsip kebenaran fakta dan verifikasi berulang, tetapi menjadi medium kolaborasi yang menyatukan percakapan tiap-tiap pihak yang dilibatkan. Dalam model semacam ini, jurnalis tidak lagi hanya menjadi aktor yang mengonstruksikan fakta ke dalam bentuk informasi terpublikasikan, tetapi juga sebagai moderator informasi. Inilah format Jurnalisme 2.0. yang menjadi koreksi terhadap model praktik jurnalisme konvensional. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)