Musim semi survei sudah tiba. Belakangan ini, dalam waktu tidak berselang jauh, survei-survei politik berbasis opini publik kembali bermunculan. Dengan persoalan sama yang dibahas: popularitas dan elektabilitas sosok calon pemimpin, hasil survei politik tampil tidak hanya sebagai ”potret opini” yang bersifat evaluatif, tetapi menawarkan kekuatan prediktifnya. Bahkan, tidak jarang hasil survei yang kental sisi rekomendasinya pun dimunculkan. Bagaimana publik mengantisipasi serbuan survei-survei politik?
Pada level survei nasional, lembaga survei Indo Barometer, Lingkaran Survei Indonesia, misalnya, baru saja merilis hasil survei terkait Pemilu Presiden 2019. Hasilnya sebenarnya tidak mengejutkan lantaran tidak banyak perbedaan dengan survei-survei sejenis. Hasil survei menempatkan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai dua sosok yang paling tinggi keterpilihannya, sementara sosok-sosok seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, dan beberapa tokoh lain juga menjadi alternatif pilihan publik yang terpaut jauh keterpilihannya bukan temuan baru. Informasi temuan survei yang menguak sosok-sosok politik dengan besaran potensi keterpilihannya sebelum itu juga ditampilkan oleh lembaga-lembaga survei lainnya, seperti Lembaga Survei Indonesia, CSIS, Populi, ataupun Litbang Kompas.
Pada level survei daerah, ajang pilkada 2018 di 171 daerah membuat survei politik semakin gencar dilakukan. Di Jawa Barat, misalnya, beberapa survei sudah menampilkan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dalam posisi teratas yang dibayangi pesaingnya, Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Begitu pula di Sumatera Utara, pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah sementara mengungguli pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Dalam waktu dekat, dipastikan puluhan survei lagi bermunculan. Publik pun dibanjiri informasi tingkat keterpilihan tiap-tiap sosok calon pemimpin.
Mengkaji hasil-hasil survei opini publik, sosok-sosok calon pemimpin yang dimunculkan merupakan rujukan publik yang dipandang layak sebagai pemimpin negeri ataupun daerah. Survei sebagaimana fungsinya dapat dipandang sebagai suatu potret agregasi opini responden. Ia menjadi instrumen dalam mengevaluasi keterkenalan (popularitas), kesukaan (preferensi), ayaupun keterpilihan (elektabilitas) tiap-tiap sosok. Berdasarkan potret tersebut, siapa pun, baik sosok-sosok calon pemimpin, partai politik calon pengusung, bahkan masyarakat calon pemilihnya, bersama-sama mendapatkan manfaat.
Akan tetapi, patut disadari pula, survei semacam ini tidak terbebaskan dari sejumlah keterbatasan. Sayang, belakangan ini keterbatasan survei cenderung diperlakukan hanya sebatas syarat pengakuan para penyelenggara survei ataupun media massa yang memublikasikan. Keterbatasan survei cenderung terlupakan saat interpretasi dilakukan.
Pertama, keterbatasan pada aspek metodologi, misalnya. Paling mencolok dalam upaya menginterpretasikan prediksi sampel terhadap populasi. Apabila prosedur sampling yang dilakukan tepat, prediksi populasi sangat layak dilakukan. Akan tetapi, prosedur sampling tetap memiliki keterbatasan (sampling error) yang berimplikasi terhadap ketepatan prediksi populasi yang disasar.
Persoalannya, kendati tiap-tiap hasil survei yang dipublikasikan menampilkan besaran sampling error, sebagai bukti pengakuan penyelenggara survei terhadap adanya potensi keterbatasan dan ketidakakuratan surveinya, keterbatasan tersebut menguap tatkala interpretasi temuan dilakukan.
Bukti konkret, perankingan urutan tiap-tiap sosok calon pemimpin dalam survei pemilu presiden. Hasil survei, misalnya, dengan pertanyaan bersifat terbuka (jawaban diserahkan sepenuhnya kepada responden), sosok Joko Widodo menempati urutan pertama dan Prabowo Subianto urutan kedua. Oleh karena keterbatasan prosedur sampel yang dilakukan, hasil survei sepatutnya tidak lagi mampu mengidentifikasikan urutan elektabilitas dari sosok-sosok di luar Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Semua sosok yang muncul tidak signifikan besaran hasil yang diraih.
Akan tetapi, bagaimana mungkin Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono diinterpretasikan ataupun terpublikasikan media sebagai sosok empat besar teratas? Padahal, jika dikaji dari besaran proporsi yang diraih kedua sosok tersebut, tidak signifikan jumlahnya.
Hal yang sama dalam menginterpretasikan simulasi kombinasi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hasil survei menampilkan simulasi kombinasi Joko Widodo dengan sekitar 11 sosok lain yang berlatar belakang militer dan politisi. Diinterpretasikan, Joko Widodo lebih tinggi elektabilitasnya jika dipasangkan dengan calon militer. Di antara calon wakil presiden elektabilitas tertinggi bersama Agus Harimurti Yudhoyono. Survei menunjukkan, elektabilitas pasangan Joko Widodo-Agus Harimurti Yudhoyono 38,6 persen, Joko Widodo-Gatot Nurmantyo 38,4 persen, Joko Widodo-Ridwan Kamil 37,5 persen, dan beberapa kombinasi nama lainnya, hingga terakhir, Joko Widodo-Airlangga Hartarto 33,4 persen. Dengan menggunakan keterbatasan yang mengacu pada besaran sampling error survei (+/- 2,8 persen), sepatutnya semua kombinasi pasangan masih tergolong sama besar peluangnya.
Kedua, keterbatasan dalam sisi pembentukan opini (formation of opinion). Berbagai kajian ilmiah membuahkan teori-teori yang berkaitan dengan pembentukan opini. Di satu sisi, opini individu yang terbentuk tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal, baik bersifat sosiologis, politik, ekonomi, maupun budaya. Pemberitaan media massa, misalnya, diyakini berpengaruh besar terhadap opini yang ditampilkan tiap-tiap individu. Begitu pula keberadaan keluarga, kelompok, identitas diyakini ikut mewarnai opini seseorang. Kajian lainnya juga menunjukkan, faktor internal individu yang lebih bersifat psikologis pun diyakini turut mewarnai proses pembentukan opini.
Kompleksitas faktor eksternal ataupun internal yang turut membentuk opini pada akhirnya harus berhadapan dengan faktor teknikal survei yang justru cenderung membatasi proses terbentuknya opini. Dalam hal ini, bagaimana mungkin tiap-tiap individu dapat dengan leluasa dicermati dan dihimpun opini secara lengkap dan utuh jika instrumen yang digunakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan didesain ringkas?
Pertanyaan-pertanyaan bersifat terbuka yang ditampilkan guna menghimpun nama-nama sosok yang dikenal, disukai, ataupun dipilih tiap-tiap responden, misalnya, terbatas hanya mengakomodasi satu atau sedikit sosok yang paling melekat dalam benak responden saat itu. Dengan format semacam ini, hasil survei secara nasional pada akhirnya hanya memunculkan sekitar 30 tokoh referensi responden. Dari jumlah tersebut, distribusi pilihan hanya tertuju pada tokoh-tokoh nasional sebagaimana yang ditampilkan setiap survei sejenis selama ini.
Menjadi persoalan, di manakah sosok 34 gubernur, sekitar 500 kepala daerah tingkat dua, puluhan menteri atau mantan menteri, pemimpin partai, pemimpin militer, pengusaha, pemimpin agama, ataupun ratusan tokoh lain yang potensial menjadi pemimpin negeri? Semua menguap lantaran kombinasi persoalan dari keterbatasan dalam pembentukan opini individu dan desain survei yang cenderung menyimplifikasi.
Sisi lain yang tidak kurang mengkhawatirkan, hasil survei dengan segenap keterbatasannya itu difungsikan lebih dari batasan yang ditanggungnya. Survei didayagunakan lebih dari sekadar mengevaluasi elektabiltas, tetapi menjadi instrumen dalam merekomendasikan calon-calon presiden ataupun pasangan wakilnya.
Contoh konkret, upaya setiap lembaga survei dalam membuat model-model simulasi yang didasarkan pada elektabilitas sosok. Model-model simulasi jelas bukan lagi idealisasi survei opini publik. Pada model semacam ini, opini publik lebih banyak digunakan sebagai obyek dalam melegitimasikan sosok yang sudah ditentukan oleh penyelenggara survei. Model simulasi pemimpin, bagi calon-calon pemimpin yang dikait-kaitkan, hasilnya jelas dapat memandu. Akan tetapi, jika disampaikan kepada publik, model survei semacam ini cenderung beraroma politik yang meneror. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.