Memahami Besarnya Daya Tarik Jabodetabek (1)
Joni Fitrianto (19) dari Purworejo, Jawa Tengah, dan Yana Sutisna (44) dari Padalarang, Jawa Barat, rela meninggalkan keluarganya untuk mengadu nasib mencari nafkah di Jakarta.
Namun, nasib malang menimpa mereka. Minggu (4/2), keduanya harus meregang nyawa karena tertimpa alat berat peluncur gelagar kota di Proyek Rel Dwiganda, Jatinegara, Jakarta Timur.
Keduanya merupakan potret urban yang tertarik bermigrasi dari daerah asalnya ke Jakarta untuk meningkatkan perekonomian. Yana, misalnya, sebelum bekerja di proyek rel dwiganda, ia bekerja di percetakan batako di kampungnya. Namun karena upah yang diterima lebih kecil dari UMR Kabupaten Bandung Barat, bapak satu anak tersebut memilih bekerja di Jakarta sebagai buruh proyek.
Hal yang sama juga dilakukan Joni. Iming-iming mendapatkan upah yang tinggi, dia rela menjalani pekerjaan sebagai buruh setelah lulus dari SMK. Harapan Joni, upahnya sebagai pekerja di proyek tersebut bisa dikirimkan ke desa untuk membantu orangtuanya yang kurang mampu.
Tak hanya Joni dan Yana yang terhipnotis oleh manisnya perekonomian Jakarta. Masih ada 65.000 orang yang datang ke Jakarta setelah Lebaran 2017. Mereka beranggapan masih bisa mendapatkan uang meski bekerja serabutan. Berbeda dengan di desa, Joni dan Yana akan sulit mendapatkan pekerjaan ataupun jika berhasil mendapatkan, upahnya tidak setinggi upah di Jakarta.
Sebagai gambaran, upah harian tukang biasa di Jakarta sekitar Rp 130.000. Hal itu berarti selama lima hari kerja akan mendapat Rp 650.000. Bandingkan dengan upah harian di daerah yang berkisar Rp 45.000 hingga 50.000. Iming-iming itulah yang membuat warga desa berbondong-bondong ke Jakarta meski upah yang didapatkan tak selamanya bisa menutup kebutuhan hidup di Jakarta.
Upah yang lebih tinggi menjadi salah satu penarik pendatang untuk hijrah ke Jakarta. Selain itu, penarik lainnya adalah keterbatasan lapangan kerja di daerah. Meski pada 2017 tingkat pengangguran di Jakarta lebih tinggi (7,17 persen) dibandingkan dengan di Jawa Tengah yang hanya 4,57 persen, Jakarta menjanjikan lapangan kerja yang lebih baik.
Penduduk Jakarta banyak terserap di sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (33,7 persen). Adapun penduduk Jawa Tengah lebih banyak terserap ke sektor pertanian (25,16 persen).
Iming-iming sektor industri ataupun perdagangan memang lebih menarik dibandingkan dengan sektor pertanian. Namun menurut Al Muizzuddin (2017), dalam penelitian ”Urbanisasi, Industrialisasi, Pendapatan, dan Pendidikan di Indonesia”, urbanisasi tidak disebabkan oleh industrialisasi.
Urbanisasi terjadi karena sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menjadi tumpuan hidup masyarakat di perdesaan. Nilai tukar petani Jawa Tengah, misalnya, pada Januari 2018 turun 0,47 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Selain itu, lahan pertanian di Jawa Tengah juga kian menyusut.
Pada 2012 masih ada sekitar 1,1 juta hektar lahan pertanian. Namun, tahun 2015 menurun menjadi 915 juta hektar. Lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian, seperti industri, properti, ataupun kawasan perdagangan dan jasa. Tak heran, pendatang seperti Joni selepas SMK pun memilih bekerja di Jakarta ketimbang bekerja di Purworejo.
Tak hanya itu, ketersediaan sarana prasarana yang lengkap pun bisa didapat dan dinikmati di Jakarta. Misal ketersediaan sarana pendidikan di Jakarta yang jauh lebih lengkap ketimbang di Kabupaten Purworejo.
Tahun 2016, jumlah SD-SMA/SMK di Jakarta ada 6.873 unit untuk jumlah penduduk usia sekolah sekitar 1,6 juta jiwa. Adapun di Purworejo, hanya ada 642 sekolah yang menampung sekitar 76.760 penduduk usia sekolah.
Kebijakan penanganan urbanisasi
Pemerintah Jakarta sejak dulu hingga sekarang tak berdiam diri dengan masalah urbanisasi ini. Berbagai upaya telah dilakukan dari upaya mencegah kedatangan pendatang, program transmigrasi, memulangkan pendatang, hingga membuka bagi kedatangan pendatang asal mempunyai keahlian dan pekerjaan tetap. Namun, tetap saja Jakarta masih dibanjiri pendatang..
Gubernur Ali Sadikin pada 1970 mempunyai kebijakan yang menuai kontroversi, yakni menetapkan Jakarta sebagai kota tertutup melalui Kebijakan Pemprov No 14 Tahun 1970. Pada 1971, Ali Sadikin menerapkan syarat ketat bagi pendatang, di antaranya surat pindah dari tempat asal, surat bebas PKI, jaminan ada tempat tinggal di Jakarta dan jaminan pekerjaan.
Bahkan sampai pendatang harus menyerahkan uang jaminan sebanyak dua kali ongkos perjalanan. Kebijakan ”menutup kota Jakarta” tercatat gagal. Data BPS menunjukkan, selama 1971-1980, laju migrasi masuk ke Ibu Kota masih tercatat hampir 50 persen laju rata-rata per tahun.
Selepas itu, arus urbanisasi tetap berjalan. Gubernur Tjokropranolo menyarankan meningkatkan transmigrasi di daerah asal. Periode kepemimpinan berikutnya, Soeprapto, mengadakan pembicaraan intensif dengan pemerintah Bogor-Tangerang-Bekasi untuk menyelaraskan rencana penyebaran penduduk, lapangan kerja dan investasi besar. Apakah kebijakan dua gubernur ini berhasil? Nyatanya, berhasil sedikit ”mengerem” laju migrasi masuk menjadi 18,5 persen.
Empat periode kepemimpinan berikutnya, mulai menerapkan aturan pendataan bagi pendatang yang disebut dengan Operasi Yustisi Kependudukan. Syarat pemberian KTP bagi pendatang diperketat. Bahkan pendatang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dipulangkan. Tak hanya itu, pada era Sutiyoso, pendatang diharuskan mempunyai pekerjaan dan mengurus surat pindah dari daerah asal.
Pelanggar akan dikenai sanksi 3 bulan kurungan atau denda maksimal Rp 5 juta. Cara Sutiyoso yang keras tersebut signifikan menurunkan laju migrasi masuk (2000-2005) menjadi minus 5,8 persen. Baru pada era Gubernur Joko Widodo, kebijakan mengenai pendatang diperlunak.
Pendatang tetap didata Dinas Kependudukan melalui Operasi Bina Kependudukan. Namun di sisi lain, Jokowi juga mendorong pemodal berinvestasi di daerah untuk mengurangi arus urbanisasi ke Jakarta.
Saat Gubernur Ahok memimpin, dia membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi para pendatang yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Syaratnya, pendatang mempunyai keterampilan/keahlian, pekerjaan tetap, dan mempunyai uang. Ahok yakin beberapa sektor perdagangan dan jasa di Jakarta membutuhkan banyak tenaga kerja baru dari luar Jakarta.
Langkah Ahok tersebut diteruskan oleh penerusnya, yaitu Gubernur Djarot Saiful Hidayat. Selama sekitar 8 bulan memerintah Jakarta, Djarot melaksanakan Operasi Bina Kependudukan setelah Lebaran. Pendatang harus membawa dokumen kependudukan lengkap. Jika pendatang tidak jelas, akan dipulangkan ke kampung halaman.
Urbanisasi menurun?
Setelah 2010, perlahan arus urbanisasi ke Jakarta menurun. Data migrasi masuk pada 2010 masih 4,07 juta. Namun, pada 2015 menurun menjadi 3,6 juta orang. Angka tersebut sejalan dengan data laju pertumbuhan penduduk pada periode yang sama yang turun menjadi 1,07 persen. Bandingkan dengan data periode 2000-2010, yang lajunya pernah mencapai 1,41 persen.
Namun, penurunan angka migrasi tersebut berbeda dengan catatan pendatang dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta (2010-2017) yang cenderung fluktuatif.
Selama 2010-2012, pendatang setelah Lebaran yang dicatat di ”pintu masuk” Jakarta memang menurun sekitar 20 persen. Akan tetapi, pada 2013-2015, pendatang yang tercatat kian naik. Bahkan pada 2013-2014 meningkat 34 persen. Baru 2015-2017, catatan pendatang kembali menurun.
Penurunan pendatang bisa jadi terkait dengan Operasi Yustisi masa Gubernur Sutiyoso. Kala itu pendatang yang menyalahi aturan dikenai denda Rp 5 juta atau pidana kurungan 3 bulan. Selanjutnya, 2013-2015, jumlah pendatang kembali meningkat. Gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menghapus Operasi Yustisi bersanksi berat itu dengan Operasi Bina Kependudukan yang lebih longgar bagi pendatang.
Mengapa arus migrasi masuk dan laju pertumbuhan penduduk menurun, tapi jumlah pendatang yang masuk ke Jakarta, angkanya naik turun? Angka migrasi masuk tersebut menggambarkan penduduk yang bermigrasi dari daerah asal ke Jakarta untuk selanjutnya menetap di Jakarta. Oleh sebab itu, angkanya sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang menurun.
Adapun angka pendatang merupakan angka perkiraan dari jumlah pemudik saat arus balik Lebaran yang dicatat Disdukcapil dari stasiun, terminal, pelabuhan, ataupun bandara. Bisa jadi pendatang tersebut masuk melalui Jakarta, tapi tidak menetap di Jakarta.
Kota-kota penyangga di Bodetabek menjadi tujuan pendatang 10 tahun terakhir ini. Hal itu terlihat dari Susenas BPS 2011, 2013, dan 2015, tujuan migrasi risen warga pendatang ke wilayah Bodetabek.
Pada 2011, mayoritas (13,8 persen) kaum urban menuju Kota Bekasi. Disusul tujuan berikutnya Kota Depok (10,9 persen) dan Kabupaten Bekasi (9,15 persen). Berlanjut ke 2013, Kota Depok berubah menjadi tujuan favorit kaum urban, diikuti Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Tahun 2015, kembali Depok menjadi tempat favorit pendatang.
Kedatangan kaum urban ke wilayah Bodetabek signifikan dengan peningkatan jumlah penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di beberapa wilayah tujuan favorit juga cenderung positif selama 2012-2016.
Kota Bekasi, misalnya, jumlah penduduk pada periode yang sama terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,6 persen per tahun. Juga dengan Kota Depok yang pertumbuhan penduduknya cenderung positif meski pada 2014-2015 sempat menurun 0,9 persen. Pertumbuhan penduduk 2015-2016 mencapai 8,1 persen, tertinggi di wilayah Bodetabek.
Mengapa pendatang tersebut akhirnya memilih Bodetabek? Wilayah Bodetabek akhirnya ikut mendapat imbas dari urbanisasi yang deras di Jakarta sejak 1971. Kepadatan ruang di Jakarta mengakibatkan sebagian kaum urban memilih tinggal di wilayah pinggiran Jakarta untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak dan luas.
Selain itu, industri yang menjamur di daerah pinggiran Jakarta juga banyak menarik tenaga kerja secara khusus dan penduduk secara umum untuk bermigrasi di wilayah tersebut.
Proses suburbanisasi ke pinggiran Jakarta pada 1976 sengaja diciptakan pemerintah untuk mengurangi beban Jakarta. Tiap wilayah penyangga mempunyai peran tersendiri. Wilayah Bekasi, misalnya, diarahkan jadi kawasan industri, Depok sebagai penyangga penyedia permukiman serta Tangerang yang berperan campuran sebagai kawasan industri dan permukiman. Munculnya pusat pertumbuhan baru di pinggiran Jakarta tersebutlah yang mulai menjadi magnet penarik kedua setelah Jakarta.
Kekuatan magnet ekonomi Jakarta dan wilayah penyangganya tidak akan habis. Perputaran ekonomi dan pusat segala fasilitas di Jabodetabek akan menjadi daya tarik sempurna bagi kaum urban. Arus migrasi tidak akan dapat ditahan dengan berbagai kebijakan.
Sebaliknya, daerah penerima kaum urbanlah yang memutar otak memanfaatkan arus urbanisasi yang ada. Daerah asal juga harus membuat berbagai kebijakan untuk menyejahterakan penduduk sehingga menahan arus urbanisasi ke Ibu Kota. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)