Para Pemborong Partai Politik
Pemilihan kepala daerah serentak 2018 menyajikan fenomena penguasaan dukungan yang menarik, yaitu banyaknya calon yang berhasil mendapatkan dukungan mayoritas partai politik. Kaitan antara sejarah kemenangan sebelumnya, penguasaan arena politik calon, kekuatan klan, dan kultur sosial turut berperan dalam mengukuhkan jalan kekuasaan selanjutnya.
Sebanyak 46 pasang calon yang telah memenuhi syarat untuk bertarung dalam pilkada didukung oleh lebih dari enam partai politik, 34 terjadi pada pemilihan bupati, 2 pada pemilihan gubernur, dan 10 pada pemilihan wali kota. Bahkan, ada calon yang didukung oleh 11 dan 12 partai politik.
Provinsi Banten dan Sulawesi Barat menjadi wilayah pilkada yang paling banyak menyajikan fenomena koalisi besar. Di Banten, dari empat daerah pilkada yang total menyajikan enam pasangan, terdapat empat pasangan yang didukung 8-12 partai politik.
Di Sulawesi Barat, dari dua daerah (Polewali Mandar dan Mamasa) dan melaksanakan pilkada, tiga dari empat pasang calon memiliki koalisi besar. Bahkan, di Mamasa hanya ada calon tunggal yang didukung oleh 10 parpol.
Kasus Banten
Di Kabupaten Tangerang, calon bupati petahana Ahmed Zaki Iskandar yang berpasangan dengan Mad Romli didukung oleh 12 atau semua parpol nasional. Tiadanya calon dari jalur perseorangan yang mengajukan diri untuk melawannya membuat pasangan ini akan berhadapan dengan kotak kosong.
Pada pilkada 2012, Ahmed Zaki Iskandar yang berpasangan dengan Hermansyah memenangi Pilkada Kabupaten Tangerang dalam satu putaran. Dengan mendapatkan 55,46 persen suara, mereka unggul jauh atas tiga calon lainnya. Zaki adalah kader Partai Golkar yang merintis karier politik lewat jalur partai beringin itu hingga menjabat anggota Komisi I DPR, sekaligus Ketua DPD Golkar Kabupaten Tangerang.
Ia juga mewarisi takhta kekuasaan ayahnya, Ismet Iskandar, yang sebelumnya menjabat Bupati Tangerang. Pada pilkada lalu, ia didukung oleh Golkar, Hanura, Gerindra, PKS, PKB, PBR, dan PBB. Ia juga didukung oleh gubernur Banten saat itu, Atut Chosiyah.
Selain kekuatan klan, sejarah kariernya di parlemen, dan potensi besarnya pengaruh sebagai petahana, Zaki juga didukung oleh kekuatan pasangannya. Sekarang ia berpasangan dengan Mad Romli, Ketua DPRD Kabupaten Tangerang. Dengan posisi itu, lobi politik dengan partai-partai di parlemen sangat mungkin dilakukan. Pasangan calon ini pun melaju mulus didukung oleh Partai Golkar, PDI-P, Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, PPP, PAN, Nasdem, Hanura, PBB, dan PKPI.
Provinsi Banten menjadi fenomenal pada pilkada kali ini karena bukan hanya Kabupaten Tangerang yang calonnya memborong partai politik pendukung, gejala serupa juga terjadi di wilayah tetangganya, Kota Tangerang dan Kabupaten Lebak. Di Kota Tangerang, pasangan Arief Rachadiono Wismansyah dan Sachrudin didukung oleh 10 partai, yakni Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, dan Hanura. Di Kabupaten Lebak, 10 partai serupa juga mengusung pasangan Iti Octavia Jayabaya dan Ade Sumardi.
Arief Rachadiono Wismansyah merupakan petahana yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha, pemilik grup Rumah Sakit Sari Asih. Ia mengawali karier politiknya sebagai wakil wali kota sebelumnya, Wahidin Halim, pada pilkada 2008.
Dalam pilkada itu, pasangan Wahid-Arief yang didukung Partai Golkar dan delapan partai besar lainnya menang mutlak (87,9 persen). Arief pun dinobatkan sebagai wakil wali kota termuda (30 tahun) saat itu. Tahun 2013, ia berpasangan dengan Sachrudin memenangi pilkada dengan diusung Partai Demokrat, PKB, dan Gerindra.
Tahun ini ia kembali berpasangan dengan Sachrudin. Sama seperti di Kabupaten Tangerang, pasangan calon Arief-Sachrudin juga tidak memiliki lawan dalam pilkada karena tidak ada yang mendaftar dari jalur perseorangan.
Sementara itu, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang kembali maju sebagai calon dalam pilkada 2018 merupakan kader Partai Demokrat yang pernah menjadi anggota DPR. Iti Jayabaya adalah anak perempuan dari Bupati Lebak sebelumnya, Mulyadi Jayabaya. Pada pilkada 2013, ia berpasangan dengan Ade Sumardi (Ketua DPC PDI-P Lebak) dan diusung oleh Partai Demokrat, PDI-P, Hanura, Gerindra, PPP, PKS, dan PKNU meraih 62,37 persen suara.
Penguasa daerah sebelumnya
Para penguasa partai dalam pilkada 2018 adalah calon-calon yang saat ini memiliki latar belakang sebagai kepala daerah. Dari total 382 pola koalisi pengusung calon berlatar belakang bupati, sebanyak 50,3 persen merupakan koalisi besar yang didukung 7-10 partai. Untuk mereka yang berlatar belakang gubernur didukung oleh 37,5 persen dan wali kota 39,8 persen koalisi besar.
Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, penguasaan partai politik juga dilakukan oleh pasangan calon petahana Andi Fahsar Mahdin Padjalangi dan Ambo Dalle. Bupati dan wakilnya yang menang pada pilkada 2013 dengan diusung oleh Partai Golkar, PKS, PPP dan PKB itu sekarang diusung oleh 11 partai politik, yaitu Nasdem, PKB, PKS, PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, dan PBB. Meskipun karier politiknya diawali dengan menjadi Wakil Bupati Bone periode 2003-2008, sesungguhnya figurnya sudah matang di birokrasi daerah dan berbagai organisasi pemuda.
Strategi calon tampaknya menjadi penentu utama terbentuknya koalisi besar daripada strategi partai. Pada wilayah-wilayah dengan calon yang didukung oleh koalisi besar, partai-partai berhasil digiring ke dalam satu kubu tanpa oposisi. Sebaliknya, pada wilayah-wilayah dengan jumlah koalisi kecil-kecil, strategi partai lebih menentukan dalam pemilihan calon.
Inilah mengapa pada wilayah-wilayah dengan koalisi besar nyaris tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah koalisi satu partai dan partai lainnya karena hampir semua terlibat dalam pemusatan satu calon. Meskipun demikian, partai penguasa lebih diuntungkan karena posisinya sehingga paling banyak disertakan dalam koalisi, terutama pada level kabupaten.
PDI-P adalah partai yang lebih banyak terlibat dalam koalisi besar dibandingkan partai-partai papan menengah-atas lainnya dalam perebutan posisi bupati. PDI-P terlibat dalam 20 koalisi besar mendukung calon berlatar belakang bupati. Partai Demokrat 19, Golkar 18, dan Gerindra 18. Selain membentuk koalisi besar, PDI-P juga menjadi pengusung tunggal dari dua calon berlatar belakang bupati.
Situasi agak berbeda terlihat pada calon berlatar belakang wali kota, PDI-P hanya terlibat untuk koalisi besar pada lima pasang calon, sementara Golar dan Demokrat masing-masing 7, dan Gerindra 6pasang calon. Meski demikian, PDI-P menjadi pengusung tunggal untuk satu pasang calon berlatar belakang wali kota pada Kota Tegal.
Untuk tingkat provinsi, PDI-P tidak terlibat dalam koalisi besar mengusung calon berlatar belakang gubernur, tetapi lebih memilih sebagai pengusung tunggal atau koalisi terbatas. Sebaliknya, Golkar dan Demokrat masing-masing terlibat pada koalisi besar mendukung satu pasang calon, yakni di Provinsi Papua.
Oligarki politik, yang tecermin dalam pola koalisi besar untuk mendukung satu calon tampaknya menjadi gejala yang tak mudah direduksi. Sistem pemilihan langsung pun tak mampu membendung kabut demokrasi yang menebal ini. Diperlukan cara lain untuk memberikan marwah keadilan pada tiang demokrasi, tentunya. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)